“FISIP selalu terbaik
Makara Jingga Juara
Dulu kini dan selamanya
FISIP UI juara”
Potongan lirik
ini merupakan salah satu lagu supporteran Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UI (FISIP UI) yang menggambarkan semangat dan gairah luar biasa mahasiswa FISIP
UI atas prestasi kolektif mereka di kampus. Bagaimanapun, prestasi sepuluh kali
juara Olimpiade UI, dua kali treble winner pada tahun 2015 dan 2009 (masih
bernama ASTEROID), hingga empat kali juara UI Art War berturut-turut adalah
sebuah pencapaian yang belum bisa disamai oleh fakultas manapun. Jargon-jargon
pun bermunculan seolah menempatkan FISIP UI sebagai fakultas yang paling layak
untuk sombong. Bagaimanapun tidak bisa disalahkan, karena sejarah berkata
demikian. Akan tetapi, perlukah kita pertanyakan mengapa FISIP UI harus
terus-menerus mengikuti Olimpiade UI, OIM UI, dan UI AW?
Pertanyaan ini
muncul dari benak penulis sebab pada faktanya mempersiapkan ketiga kompetisi
tersebut bukanlah perkara mudah dan murah. Puluhan juta rupiah keluar sebagai
biaya yang harus disiapkan untuk berbagai kebutuhan. Di sebagian kalangan grassroot, menjadi kontingen untuk
ketiga kompetisi ini menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Padahal, jika
ditelisik dari aspek materil sebagai kontraprestasi dari pencapaian yang
diraih, bisa dibilang tidak terlalu membanggakan. Hadiah yang segitu-segitu
saja, hingga iming-iming sarana kaderisasi berjenjang yang tak kunjung
terealisasi secara optimal kiranya perlu menjadi catatan tersendiri untuk
dikritisi. Puluhan hingga lebih dari seratus juta digelontorkan, namun yang
didapat secara materil tak lebih dari hadiah jutaan rupiah yang kiranya kurang
sepadan. Padahal, masing-masing kompetisi pun mensyaratkan jutaan rupiah untuk
dapat mengikuti kompetisi tersebut. Lantas, apa yang membuat kita tetap
mengikuti ketiga kompetisi tersebut?
Penulis berspekulasi, bahwa kita mengidap gejala ilusi identitas cukup akut. Tak peduli
analisis cost and benefit, yang jelas
kalau tidak ikut ketiga kompetisi tersebut seakan-akan mencoreng persatuan,
tidak solid, tidak suportif, atau sekumpulan narasi nalar pincang lainnya. Hal
inilah yang dimanfaatkan oleh panitia, maupun BEM UI sebagai penyelenggara
program untuk terus-menerus membawa ketiga program kerja ini. Disadari atau
tidak, pada kenyataannya historis UI yang bermula dari sebuah fakultas,
disertai dengan kondisi geografis UI yang begitu luas, membuat massa terpusat
di masing-masing fakultas (paling tinggi di tingkat rumpun). Jika
dipertanyakan, berapa massa pasti BEM UI, tentunya mereka perlu berpikir
beberapa kali untuk menjawabnya, karena 30 ribu mahasiswa UI tentunya bukan
jawaban yang tepat. Untuk tetap menghimpun massanya agar tetap engaged, saya yakin BEM UI tetap
mempertahankan pola ini dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.
Fakultas-fakultas pun seakan mengalami ketergantungan untuk tetap mengikutinya.
Bisa jadi, ini merupakan tuntutan masing-masing konstituen. Seakan-akan ingin
merasakan yang orang-orang rasakan. Dan saya yakin, jika bukan karena pride masing-masing massa fakultas atas
fakultasnya, siapalah yang mau mengikuti ketiga kompetisi ini.
Mempertahankan
pola seperti demikian dapat berdampak pada kejumudan atau stagnansi sistem.
Seolah-olah, program-program ini adalah sebuah obat paling manjur dari semua
penyakit pengembangan minat bakat di UI. Dan disadari atau tidak, konstruksi
ini memengaruhi cara berpikir setiap fakultas di UI untuk membentuk hal-hal
serupa, dalam cakupan yang lebih kecil. Situasi ini membentuk suatu kondisi
nyaman dan seakan-akan menjadi rutinitas tahunan yang tak boleh dilewatkan.
Padahal, rutinitas tahunan melalui ketiga kompetisi ini memiliki resiko berupa
stagnansi sistem pengembangan minat dan bakat di Universitas Indonesia. Bukankah
pendekatan yang itu-itu saja akan menghasilkan hasil yang itu-itu saja?
Penulis berasumsi
bahwa tidak ada rencana jangka panjang yang betul-betul menjadi roadmap jangka
panjang pengembangan minat dan bakat yang diinisiasi oleh BEM atau Lembaga-lembaga tinggi lainnya di UI.
Sehingga, setiap zaman hanyalah melihat program-program kerja semacam Olim,
OIM, dan UIAW sebagai program kerja tahunan yang harus selalu dipertahankan.
Alasan mempertahankan atensi konstituen penulis kira menjadi prioritas, di samping
kemalasan untuk merumuskan ulang untuk suatu pengembangan yang bertahan dalam
jangka panjang.
Penulis pernah
berpikir, apakah FISIP UI sebagai salah satu peserta tahunan dari ketiga kompetisi
tersebut tidak pernah merasa bosan untuk terus mengikutinya? Beragam prestasi dalam
tiga kompetisi tersebut, yang saya yakin dalam 10 tahun ke depan belum bisa disamai
oleh fakultas manapun kiranya memunculkan sebuah pertanyaan sinis, “mau apa
lagi sih?”. Bagi penulis, hal tersebut tidak dimaksudkan sebagai sebuah
ekspresi kesombongan. Melainkan sebuah dorongan untuk berpikir lebih jauh,
keluar dari stagnansi sistem yang diambang kejumudan ini. FISIP punya sumber daya
yang cukup potensial untuk berkarya lebih dari sekedar kompetisi mahasiswa di
dalam kampus yang nyatanya memiliki ongkos mahal tersebut. Harga yang harus
dibayar adalah gengsi untuk tidak berhadapan dan merasakan apa yang
fakultas-fakultas lain rasakan. Namun, hal tersebut bukan sesuatu yang negatif dan
menjadi worthed ketika alternatif
kegiatan yang dihasilkan memiliki gengsi yang lebih tinggi sesuai dengan
keinginan mahasiswa FISIP sendiri.
Penulis
menilai, pemikiran untuk tetap mempertahankan, terus-menerus menjuarai ketiga
kompetisi tersebut adalah masalah yang perlu dituntaskan. Stagnansi situasi
eksternal UI dalam mengembangkan minat dan bakat dengan bentuk kongkret ketiga
kompetisi tersebut perlu ditangani dengan tidak ikut-ikutan berpikir stagnan.
FISIP perlu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pihak eksternal
melalui hadirnya ketiga kompetisi tersebut. Keberanian ini memang menjadi suatu
langkah penting, meskipun berhadapan dengan ekspektasi publik yang pastinya
belum tentu mau mengerti. Kiranya dibutuhkan keberanian dari pengambil
kebijakan untuk melawan ekspektasi publik dan memunculkan ekspektasi publik yang
baru. Daripada puluhan hingga ratusan juta digelontorkan untuk memeriahkan
acara orang, lebih baik untuk acara kita sendiri. Kira-kira demikian logika
sederhananya.
Penulis yakin,
di antara para pembaca pasti ada yang bertanya, jika memang penulis mendorong
FISIP untuk melepaskan diri dari ketiga kompetisi tersebut, lantas mengapa
masih mengikuti ketiga kompetisi tersebut pada saat masa kepemimpinan penulis? Jawabannya
sederhana, karena penulis belum mampu menghadirkan alternatif ketiga kompetisi
tersebut dalam waktu dekat. Tujuan penulis untuk tetap mengikuti ketiga
kompetisi tersebut adalah membuka ruang pengembangan minat dan bakat mahasiswa
FISIP UI. Namun, bukan berarti penulis tidak memikirkan alternatifnya. Penulis
menyarankan untuk dibentuknya sebuah roadmap pembangunan, khususnya di bidang
kesenian bagi mahasiswa FISIP. Roadmap tersebut sudah mulai dilaksanakan pada
tahun 2017, melalui program-program kerja BEM FISIP UI yang mengacu kepada
roadmap pembangunan jangka panjang tersebut. Penulis mencoba untuk mengajak
pihak-pihak terkait (Departemen Seni Budaya BEM FISIP UI 2017) untuk
berimajinasi bahwa suatu saat nanti FISIP akan melepaskan diri dari UI AW dan
menggantikannya dengan membuat sebuah rangkaian acara yang tertulis dalam
rancangan besar Ali-Bob bernama pagelaran Seni #SATUFISIP. Penulis meyakini
untuk mewujudkan hal tersebut tidak cukup dalam jangka waktu 1-2 tahun. Oleh
karenanya, dibentuk sebuah roadmap yang mempersiapkan segala kebutuhan terkait realisasi
acara tersebut. Segala kebutuhan tersebut bukan hanya bersifat teknis, melainkan
pola pikir, ide, serta stakeholders.
Melalui
tulisan ini, penulis hanya ingin menyampaikan keresahan untuk segera melepaskan
diri dari ketergantungan dan situasi stagnan pengembangan minat dan bakat
mahasiswa UI. Bagi penulis, pencapaian FISIP yang sungguh luar biasa adalah
sebuah bukti bahwa FISIP mampu melampauinya dengan membuat alternatif masing-masing
kompetisi dalam mewadahi minat dan bakat mahasiswa FISIP UI. Namun, perubahan
cepat juga bukan opsi bijak karena ekses negatifnya penulis yakin cukup besar.
Oleh karena itu, melepaskan diri dari ketergantungan ini perlu dilakukan secara
bertahap namun tidak keluar dari jalur pembangunan tersebut. Sehingga dulu kini
dan selamanya FISIP UI juara bukan hanya sebatas tentang ketiga kompetisi
tersebut, melainkan juara yang didefinisikan oleh mahasiswa FISIP itu sendiri.