Senin, 19 November 2018

MELEPASKAN DIRI DARI KETERGANTUNGAN



“FISIP selalu terbaik
Makara Jingga Juara
Dulu kini dan selamanya
FISIP UI juara”

Potongan lirik ini merupakan salah satu lagu supporteran Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI (FISIP UI) yang menggambarkan semangat dan gairah luar biasa mahasiswa FISIP UI atas prestasi kolektif mereka di kampus. Bagaimanapun, prestasi sepuluh kali juara Olimpiade UI, dua kali treble winner pada tahun 2015 dan 2009 (masih bernama ASTEROID), hingga empat kali juara UI Art War berturut-turut adalah sebuah pencapaian yang belum bisa disamai oleh fakultas manapun. Jargon-jargon pun bermunculan seolah menempatkan FISIP UI sebagai fakultas yang paling layak untuk sombong. Bagaimanapun tidak bisa disalahkan, karena sejarah berkata demikian. Akan tetapi, perlukah kita pertanyakan mengapa FISIP UI harus terus-menerus mengikuti Olimpiade UI, OIM UI, dan UI AW?
Pertanyaan ini muncul dari benak penulis sebab pada faktanya mempersiapkan ketiga kompetisi tersebut bukanlah perkara mudah dan murah. Puluhan juta rupiah keluar sebagai biaya yang harus disiapkan untuk berbagai kebutuhan. Di sebagian kalangan grassroot, menjadi kontingen untuk ketiga kompetisi ini menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Padahal, jika ditelisik dari aspek materil sebagai kontraprestasi dari pencapaian yang diraih, bisa dibilang tidak terlalu membanggakan. Hadiah yang segitu-segitu saja, hingga iming-iming sarana kaderisasi berjenjang yang tak kunjung terealisasi secara optimal kiranya perlu menjadi catatan tersendiri untuk dikritisi. Puluhan hingga lebih dari seratus juta digelontorkan, namun yang didapat secara materil tak lebih dari hadiah jutaan rupiah yang kiranya kurang sepadan. Padahal, masing-masing kompetisi pun mensyaratkan jutaan rupiah untuk dapat mengikuti kompetisi tersebut. Lantas, apa yang membuat kita tetap mengikuti ketiga kompetisi tersebut?
Penulis berspekulasi, bahwa kita mengidap gejala ilusi identitas cukup akut. Tak peduli analisis cost and benefit, yang jelas kalau tidak ikut ketiga kompetisi tersebut seakan-akan mencoreng persatuan, tidak solid, tidak suportif, atau sekumpulan narasi nalar pincang lainnya. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh panitia, maupun BEM UI sebagai penyelenggara program untuk terus-menerus membawa ketiga program kerja ini. Disadari atau tidak, pada kenyataannya historis UI yang bermula dari sebuah fakultas, disertai dengan kondisi geografis UI yang begitu luas, membuat massa terpusat di masing-masing fakultas (paling tinggi di tingkat rumpun). Jika dipertanyakan, berapa massa pasti BEM UI, tentunya mereka perlu berpikir beberapa kali untuk menjawabnya, karena 30 ribu mahasiswa UI tentunya bukan jawaban yang tepat. Untuk tetap menghimpun massanya agar tetap engaged, saya yakin BEM UI tetap mempertahankan pola ini dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Fakultas-fakultas pun seakan mengalami ketergantungan untuk tetap mengikutinya. Bisa jadi, ini merupakan tuntutan masing-masing konstituen. Seakan-akan ingin merasakan yang orang-orang rasakan. Dan saya yakin, jika bukan karena pride masing-masing massa fakultas atas fakultasnya, siapalah yang mau mengikuti ketiga kompetisi ini.
Mempertahankan pola seperti demikian dapat berdampak pada kejumudan atau stagnansi sistem. Seolah-olah, program-program ini adalah sebuah obat paling manjur dari semua penyakit pengembangan minat bakat di UI. Dan disadari atau tidak, konstruksi ini memengaruhi cara berpikir setiap fakultas di UI untuk membentuk hal-hal serupa, dalam cakupan yang lebih kecil. Situasi ini membentuk suatu kondisi nyaman dan seakan-akan menjadi rutinitas tahunan yang tak boleh dilewatkan. Padahal, rutinitas tahunan melalui ketiga kompetisi ini memiliki resiko berupa stagnansi sistem pengembangan minat dan bakat di Universitas Indonesia. Bukankah pendekatan yang itu-itu saja akan menghasilkan hasil yang itu-itu saja?
Penulis berasumsi bahwa tidak ada rencana jangka panjang yang betul-betul menjadi roadmap jangka panjang pengembangan minat dan bakat yang diinisiasi oleh BEM  atau Lembaga-lembaga tinggi lainnya di UI. Sehingga, setiap zaman hanyalah melihat program-program kerja semacam Olim, OIM, dan UIAW sebagai program kerja tahunan yang harus selalu dipertahankan. Alasan mempertahankan atensi konstituen penulis kira menjadi prioritas, di samping kemalasan untuk merumuskan ulang untuk suatu pengembangan yang bertahan dalam jangka panjang.
Penulis pernah berpikir, apakah FISIP UI sebagai salah satu peserta tahunan dari ketiga kompetisi tersebut tidak pernah merasa bosan untuk terus mengikutinya? Beragam prestasi dalam tiga kompetisi tersebut, yang saya yakin dalam 10 tahun ke depan belum bisa disamai oleh fakultas manapun kiranya memunculkan sebuah pertanyaan sinis, “mau apa lagi sih?”. Bagi penulis, hal tersebut tidak dimaksudkan sebagai sebuah ekspresi kesombongan. Melainkan sebuah dorongan untuk berpikir lebih jauh, keluar dari stagnansi sistem yang diambang kejumudan ini. FISIP punya sumber daya yang cukup potensial untuk berkarya lebih dari sekedar kompetisi mahasiswa di dalam kampus yang nyatanya memiliki ongkos mahal tersebut. Harga yang harus dibayar adalah gengsi untuk tidak berhadapan dan merasakan apa yang fakultas-fakultas lain rasakan. Namun, hal tersebut bukan sesuatu yang negatif dan menjadi worthed ketika alternatif kegiatan yang dihasilkan memiliki gengsi yang lebih tinggi sesuai dengan keinginan mahasiswa FISIP sendiri.
Penulis menilai, pemikiran untuk tetap mempertahankan, terus-menerus menjuarai ketiga kompetisi tersebut adalah masalah yang perlu dituntaskan. Stagnansi situasi eksternal UI dalam mengembangkan minat dan bakat dengan bentuk kongkret ketiga kompetisi tersebut perlu ditangani dengan tidak ikut-ikutan berpikir stagnan. FISIP perlu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pihak eksternal melalui hadirnya ketiga kompetisi tersebut. Keberanian ini memang menjadi suatu langkah penting, meskipun berhadapan dengan ekspektasi publik yang pastinya belum tentu mau mengerti. Kiranya dibutuhkan keberanian dari pengambil kebijakan untuk melawan ekspektasi publik dan memunculkan ekspektasi publik yang baru. Daripada puluhan hingga ratusan juta digelontorkan untuk memeriahkan acara orang, lebih baik untuk acara kita sendiri. Kira-kira demikian logika sederhananya.
Penulis yakin, di antara para pembaca pasti ada yang bertanya, jika memang penulis mendorong FISIP untuk melepaskan diri dari ketiga kompetisi tersebut, lantas mengapa masih mengikuti ketiga kompetisi tersebut pada saat masa kepemimpinan penulis? Jawabannya sederhana, karena penulis belum mampu menghadirkan alternatif ketiga kompetisi tersebut dalam waktu dekat. Tujuan penulis untuk tetap mengikuti ketiga kompetisi tersebut adalah membuka ruang pengembangan minat dan bakat mahasiswa FISIP UI. Namun, bukan berarti penulis tidak memikirkan alternatifnya. Penulis menyarankan untuk dibentuknya sebuah roadmap pembangunan, khususnya di bidang kesenian bagi mahasiswa FISIP. Roadmap tersebut sudah mulai dilaksanakan pada tahun 2017, melalui program-program kerja BEM FISIP UI yang mengacu kepada roadmap pembangunan jangka panjang tersebut. Penulis mencoba untuk mengajak pihak-pihak terkait (Departemen Seni Budaya BEM FISIP UI 2017) untuk berimajinasi bahwa suatu saat nanti FISIP akan melepaskan diri dari UI AW dan menggantikannya dengan membuat sebuah rangkaian acara yang tertulis dalam rancangan besar Ali-Bob bernama pagelaran Seni #SATUFISIP. Penulis meyakini untuk mewujudkan hal tersebut tidak cukup dalam jangka waktu 1-2 tahun. Oleh karenanya, dibentuk sebuah roadmap yang mempersiapkan segala kebutuhan terkait realisasi acara tersebut. Segala kebutuhan tersebut bukan hanya bersifat teknis, melainkan pola pikir, ide, serta stakeholders.
Melalui tulisan ini, penulis hanya ingin menyampaikan keresahan untuk segera melepaskan diri dari ketergantungan dan situasi stagnan pengembangan minat dan bakat mahasiswa UI. Bagi penulis, pencapaian FISIP yang sungguh luar biasa adalah sebuah bukti bahwa FISIP mampu melampauinya dengan membuat alternatif masing-masing kompetisi dalam mewadahi minat dan bakat mahasiswa FISIP UI. Namun, perubahan cepat juga bukan opsi bijak karena ekses negatifnya penulis yakin cukup besar. Oleh karena itu, melepaskan diri dari ketergantungan ini perlu dilakukan secara bertahap namun tidak keluar dari jalur pembangunan tersebut. Sehingga dulu kini dan selamanya FISIP UI juara bukan hanya sebatas tentang ketiga kompetisi tersebut, melainkan juara yang didefinisikan oleh mahasiswa FISIP itu sendiri.

Senin, 29 Oktober 2018

STATUS IKM AKTIF FISIP UI : MASIHKAH RELEVAN?


Pendahuluan

Akhir-akhir ini, Universitas Indonesia sempat sedikit dihebohkan dengan wacana tuntutan penghapusan sistem kenggotaan aktif dan biasa IKM UI  oleh seorang mahasiswa Fasilkom, Hidayatul Fikri (Fasilkom UI 2017) atau yang akrab disapa Datul. Datul tidak sendiri, wacana ini diangkatnya bersama Zico, salah seorang mahasiswa FH UI yang sempat meramaikan jagat media nasional berkat peranannya mengajukan Judicial Review UU MD3 melalui surat permohonan kepada kongres mahasiswa UI. Melalui tagar #SemuaBerhakSama, Datul dan Zico mendorong mahasiswa UI secara luas untuk mengkritisi kejanggalan-kejanggalan dalam UUD IKM UI khususnya terkait dengan status keanggotaan IKM UI yang dianggap tidak memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum,memiliki prejudice dalam mekansimenya, dan menciptakan tindakan diskriminatif baik disadari maupun tidak, dan oleh karenanya konstitusional.
Sebelum Datul melayangkan surat permohonan tersebut, penulis sempat berdiskusi melalui platform media sosial tentang wacana ini. Hadirnya wacana ini menurut penulis merupakan suatu kemajuan yang luar biasa. Active Citizen kini mulai bergerak dan turut ambil bagian dalam proses demokrasi Universitas Indonesia. Sehingga, demokrasi tidak hanya berhenti pada tataran elektoral-formal  dalam pemilihan tahunan elit kampus, yang bahkan semakin minim atensi. Penulis dan Datul memiliki kesamaan pandangan mengenai relevansi status keanggotaan IKM yang perlu ditinjau kembali. Sebelumnya, penulis sempat menyinggung permasalahan ini dalam kajian “Ospek dan Pedagogi Kritis” (bit.ly/KAJIANPSAK).
Permasalahan mengenai status keanggotaan IKM aktif dan biasa bukanlah persoalan baru. Resistensi terhadapnya pun bukan pula hal baru. Bahkan permasalahan ini sempat bertahun-tahun tidak pernah menjadi concern atau bahkan diabaikan oleh mahasiswa FISIP selama bertahun-tahun. Menurut hemat penulis, terdapat dua hal yang dapat menjadi penyebab terabaikannya status keanggotaan IKM FISIP tersebut. Pertama, dugaan bahwa masyarakat FISIP yang sudah berpikir lebih maju. Kedua, ketidaksiapan pelaksanaan atas sistem yang dibangun, dalam ini PDDK FISIP UI (Konstitusi Kemahasiswaan FISIP sebelum UUD KM FISIP UI). Kedua sebab tersebut memang jelas berbeda. Namun hasilnya adalah fenomena yang sama, pengabaian status keanggotaan IKM FISIP UI.
Dalam sebuah forum diskusi pengurus lembaga kampus lintas generasi, penulis pernah menyampaikan sebuah pertanyaan fundamental, “Mengapa mahasiswa FISIP harus berstatus IKM aktif?”. Pada saat itu penulis merasa belum mendapatkan jawaban yang memuaskan kecuali sebuah asumsi lama dan patut dipertanyakan kembali penalarannya. Mahasiswa yang masuk dianggap sebagai mahasiswa yang belum memenuhi standard KM FISIP UI. Oleh sebab itu mahasiswa baru diharuskan melalui program pembinaan baik di tingkat fakultas maupun di tingkat jurusan. Setelah mengikuti program tersebut, mahasiswa kemudian dinyatakan lulus dan memenuhi standard KM FISIP UI. Tentu saja jawaban tersebut tidak dapat penulis terima bulat-bulat. Penulis merasa banyak sekali ruang asumtif yang terlalu menganggap remeh status quo dari masing-masing individu. Lagipula, perspektif tersebut merupakan perspektif elit yang bisa dibilang sangat lembaga-sentris seiring dengan dibentuknya UUD KM FISIP UI pada tahun 2016.
Barangkali ini adalah salah satu masalah yang ditimbulkan sebab pembentukan UUD KM FISIP UI yang cukup cepat dan tidak melibatkan publik secara luas. Perspektif yang terbangun cukup lembaga-sentris dan tidak didasari oleh riset yang melibatkan publik secara luas. Penulis cukup memahami kondisi pada saat itu yang serba terbatas untuk membuat ini-itu. Namun, mempertahankan situasi tanpa memperbaiki apapun juga bukan sebuah kemajuan. Tahun 2017 penulis rasa cukup menjadi masa percobaan dijalankan UUD KM FISIP UI. Apa yang dapat dipertahankan dan bagus untuk dijalankan sangat relevan untuk terus didukung. Namun yang tidak semestinya terbuka untuk dibenahi. Kemudian, apa dan bagaimana yang harus dibenahi?

Meninjau Kembali Landasan Hukum

Jika kita mengacu kepada lanadasan konstitusional Indonesia, dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 E ayat 3, dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Landasan ini memberikan sebuah acuan yang jelas bahwa kebebasan individu untuk berserikat , berkumpul dan mengeluarkan pendapat adalah sesuatu yang dijamin dan tidak dapat didiskriminasi. Sementara itu, dalam pasal 28 I ayat 2 disebutkan bahwa “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”Hal ini tentunya menjadi landasan yang jelas dan tegas untuk diturunkan kepada berbagai aturan hukum yang berlaku di berbagai tingkatan di bawahnya bahwa kebebasan untuk berorganisasi tidak dapat didiskriminasi dan negara menjamin perlindungan terhadap diskriminasi itu.
Dalam peraturan yang mewadahi dilaksanakannya pendidikan tinggi, kita perlu mengacu kepada Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Dalam UU Dikti pasal 14 ayat 1 disebutkan bahwa “Mahasiswa mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan dirinya melalui kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagai bagian dari proses Pendidikan.” Hal ini menunjukkan bahwa di luar kegiatan kurikuler, setiap mahasiswa berhak untuk mengakses kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagai bagian dari proses kegiatan pendidikan yang dapat berupa organisasi kemahasiswaan (berdasarkan ayat berikutnya dari pasal yang sama). Ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini diturunkan dalam statuta universitas. Dalam konteks Universitas Indonesia, statuta diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2013.
Statuta Universitas Indonesia merupakan landasan konstitusional yang berlaku di Universita Indonesia. Seperti halnya UUD 1945 sebagai landasan konstitusional berjalannya suatu negara, Statuta UI yang dikukuhkan dalam PP 68 Tahun 2013 menjadi pedoman kehidupan tata kelola Universitas Indonesia. Dalam statuta UI, hak berorganisasi mahasiswa diatur dalam pasal 48 ayat 1 poin c yaitu “membentuk organisasi kemahasiswaan dan mendapatkan dukungan sarana dan prasarana serta dana untuk mendukung kegiatan organisasi kemahasiswaan tersebut.” Pedoman ini kemudian diturunkan dalam beberapa peraturan seperti Peraturan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Nomor 004/Peraturan/MWA-UI/2015 tentang Anggaran Rumah Tangga Universitas Indonesia. Mengacu kepada peraturan tersebut, pada pasal 84 ayat 1, hak mahasiswa disebutkan “membentuk dan ikut serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan.” Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan atau keikutsertaan setiap mahasiswa dalam sebuah organisasi adalah menjadi suatu hak yang dapat mereka terima.
                Pada tataran berikutnya, kegiatan kemahasiswaan diatur dalam Keputusan Rektor Universitas Indonesia No. 1952/SK/R/UI/2014 tentang perbaikan keputusan rektor Universitas Indonesia No. 1465/SK/R/UI/2008 tentang Organisasi dan Tata Laksana Kemahasiswaan Universitas Indonesia. Dalam peraturan tersebut, khususnya pada pasal 6 disebutkan bahwa “Kaderisasi dan pembinaan di tiap-tiap organisasi kemahasiswaan yang berada di Universitas Indonesia merupakan tanggung jawab setiap organisasi tersebut.” Artinya, terdapat ruang yang cukup kosong untuk diinterpretasikan oleh elit lembaga kampus dengan memberlakukan sistem ikm aktif dan ikm biasa. Padahal, jika mengacu kepada peraturan-peraturan di atasnya, keikutsertaan setiap mahasiswa dalam lembaga-lembaga yang bernaung di dalam IKM UI maupun IKM FISIP UI adalah sebuah hak yang melekat di setiap mahasiswa. Sehingga, aturan atau birokrasi mengenai sistem yang membedakan status tersebut dikarenakan keikutsertaan dan penilaiannya dalam kegiatan pembinaan adalah sebuah penggunaan kekuasaan yang keliru.
Berdasarkan UUD KM FISIP UI, kegiatan pembinaan memiliki empat tujuan, yaitu : (1) memperkenalkan mahasiswa baru mengenai KM FISIP UI , (2) memberikan pemahaman bagi mahasiwa baru mengenai UUD KM FISIP UI dan peraturan-peraturan lainnya, (3) membantu mahasiswa baru untuk beradaptasi dengan lingkungan kampus FISIP UI, dan (4) mengembangkan potensi-potensi yang terdapat pada mahasiswa baru. Akan tetapi, dengan tujuan-tujuan itu kemudian mengapa harus melahirkan konsekuensi berupa stratifikasi dalam bentuk anggota aktif dan anggota biasa KM FISIP UI. Dalam peraturan ini, pembedaan anggota aktif dan anggota biasa terletak pada hak-haknya yang diatur dalam pasal 11 UUD KM FISIP UI yaitu Hak anggota biasa KM FISIP UI sama dengan anggota aktif kecuali : (1) Hak untuk dipilih dalam Pemira FISIP UI dan (2) Hak berpartisipasi sebagai pengurus BEM FISIP UI, BPM FISIP UI, HMD, dan UKMF BO. Hal ini tentunya secara mendasar bertentangan dengan azas-azas Hak Asasi Manusia mengenai Hak untuk berserikat. Selain itu hal ini juga terlihat bertentangan dengan tujuan dari pembinaan itu sendiri, yaitu mengembangkan potensi potensi yang terdapat pada mahasiswa baru sebagaimana disebutkan pada pasal 76 ayat 4 UUD KM FISIP UI.

Praksis

Membahas UUD KM FISIP UI disertai dengan konteks pembentukannya yang menggunakan perspektif lembaga-sentris bagaimanapun menuai berbagai reaksi. Tak terkecuali sikap abai atau bahkan menentang. Saya mengajak kita untuk berandai-andai,  Bagaimana kalau mahasiswa baru membuat sebuah konsensus untuk memilih berstatus IKM tidak aktif? Dalam tataran kongkretnya bisa saja mereka tidak mengikuti kegiatan-kegiatan pengenalan kehidupan kampus seperti PSAK FISIP UI maupun Orientasi Jurusan dengan mengambil jalan boikot. Konsekuensi dari boikot  tersebut dalam tataran kemahasiswaan, jika mengacu kepada UUD KM FISIP UI berarti hilangnya status IKM aktif bagi mahasiswa tersebut. Dalam jumlah banyak melalui boikot yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut tentunya akan membuat para elit lembaga menjadi pening. Kebijakan yang disusunnya ternyata menjadi backfire yang bedampak pada krisis sumber daya organisasi internal kampus.
Pembacaan terhadap masalah ini tentunya perlu membaca dengan cermat perubahan situasi kemahasiswaan saat ini. Para elit kampus perlu mempertimbangkan alternatif kegiatan di luar kampus yang begitu mudah diakses pada saat ini seperti AISEC, FPCI, dan berbagai jenis kegiatan volunteer lainnya, serta kegiatan magang yang dinilai lebih menjanjikan bagi perkembangan karir di dunia professional. Situasi ini menuntut para elit kampus mempertimbangkan efektifitas sistem yang dibangunnya dengan membaca pola perilaku mahasiswa pada saat ini. Secara sederhana, pesan ini dapat diterjemahkan ke dalam kalimat, “Jangan terlalu jual mahal lah, nanti ngga laku.”
Jika pola pikir skeptis terhadap pilihan terhadap lembaga intra kampus semakin kuat, sejalan dengan hal tersebut, pola pikir terhadap status aktif IKM sebagai “barang jualan” panitia penyelenggara agar acaranya diikuti oleh mahasiswa baru juga semakin tidak relevan. Pola pikir skeptis tersebut menuntut panitia penyelenggara untuk terus-menerus berinovasi agar kegiatan pengenalan mahasiswa baru memang menjadi kegiatan yang mereka butuhkan.
Skeptisme ini semakin diperkuat dengan adanya pemikiran-pemikiran yang mempertanyakan jaminan manfaat apa yang akan didapatkan oleh setiap mahasiswa yang mengikuti kegiatan mahasiswa baru. Tidak semua mahasiswa yang mengikuti kegiatan pengenalan kehidupan kampus akan menjadi mahasiswa yang aktif di kemudian hari. Hal tersebut nyata terjadi dalam kasus L (22 tahun) dan R (22 tahun). R mengikuti kegiatan orientasi mahasiswa baru. Namun di kemudian hari, hingga 4 tahun kemudian, R jarang sekali terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus. Sedangkan L yang tidak mengikuti kegiatan orientasi mahasiswa yang berarti tidak berstatus IKM aktif bahkan hingga kini sangat aktif berkontribusi dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan di kampus. Kasus ini menjadi contoh bahwa kegiatan pengenalan kehidupan kampus tidak semata-mata memberikan jaminan, yang juga berarti tidak memiliki legitimasi yang cukup kuat untuk melarang kontribusi setiap orang yang tidak mengikuti kegiatan pengenalan kehidupan kampus di kemudian hari melalui birokrasi status IKM aktif dan IKM biasa.

Kesimpulan

Analisis yang telah dijabarkan di atas mengindikasikan potensi munculnya berbagai masalah baik dari aspek filosofis legal-formal maupun pada tataran praksis. Secara aspek filosofis legal-formal, birokrasi dan aturan, dalam konteks ini UUD KM FISIP UI berpotensi menciderai hak-hak mahasiswa yang merupakan turunan dari hak azasi manusia berupa hak untuk berserikat. UUD KM FISIP UI berpotensi bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku di atasnya seperti Keputusan Rektor, Peraturan MWA, Statuta UI, UU Dikti, hingga UUD 1945.
Sedangkan dari segi praksis, UUD KM FISIP UI memiliki potensi timbulnya masalah berupa backfire bagi setiap lembaga yang bernaung di dalam KM FISIP UI. Hal tersebut dikarenakan hak berpartisipasi sebagai pengurus BEM FISIP UI, BPM FISIP UI, HMD, dan UKMF BO seorang mahasiswa dengan status IKM biasa dicabut. Dalam konteks saat ini, fenomena backfire tersebut secara kongkret memang belum terjadi. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan terjadi seiring dengan cepatnya perkembangan akses informasi dan alternatif kegiatan di luar organisasi intra kampus.
                Menganggapi permasalahan tersebut, diperlukan penyelesaian masalah yang tidak hanya sekedar mekanisme penyelamatan jangka pendek atau memadamkan kebakaran. Akan tetapi dibutuhkan suatu upaya antisipasi munculnya potensi masalah dengan membangun sistem baru melalui revisi undang-undang dasar KM FISIP UI. Revisi UUD KM FISIP UI mengenai sistem keanggotaan IKM bukanlah suatu sikap tidak terhormat terhadap KM FISIP UI maupun UUD KM FISIP UI. Inisiasi revisi UUD KM FISIP UI justru merupakan suatu sikap menghormati landasan konstitusional yang relevan dengan perkembangan dan dinamika manusia yang hidup di dalamnya.

Minggu, 16 September 2018

OSPEK DAN PEDAGOGI KRITIS (KAJIAN TERHADAP PELAKSANAAN PSAK FISIP UI)



KATA PENGANTAR

Memanusiakan manusia, menjadi terminologi yang cukup meluas dipergunakan oleh banyak kalangan dalam rangka mencapai cita-cita besar, kemanusiaan yang adil dan beradab. Di balik terminologi tersebut tersirat makna berbentuk upaya-upaya melepaskan situasi yang tidak manusiawi. Meskipun hingga titik ini, saya yakin kita belum memiliki big deal kemanusiaan macam apa yang dimaksud dan sampai batas mana kemanusiaan itu dilanggar. Divergensi pemaknaan tersebut tentunya perlu dijawab dengan mengetuk nurani kita masing-masing, apakah layak untuk dilakukan atau tidak.

Secara wajar, anda berhak bertanya, melalui motivasi apa  saya di tengah dinamika tugas akhir berupaya untuk menyelesaikan kajian ini? Jawabannya adalah motivasi internal yang didasari oleh penyesalan pernah menjadi pelaksana Pekan Taaruf Siswa(PTS) MAN Insan Cendekia Serpong, yang meskipun dalam konteks berbeda, tetapi menerapkan metode yang serupa. Saya pernah menjadi anggota bidang tata tertib dan juga penanggung jawab acara pekan pengenalan tersebut yang pernah melakukan normalisasi kekerasan dengan memberlakukan push up dan bentuk-bentuk kekerasan verbal atau simbolik lainnya. Saya mencoba mempertanyakan kepada pihak-pihak terkait yang mendefinisikan tupoksi saya pada saat itu. Akan tetapi, alasan-alasan dan argumen yang dikemukakan hingga saat ini belum bisa diterima oleh nalar saya. Kepada orang-orang yang barangkali pernah merasa kekerasan dilakukan oleh saya, saya memohon maaf atas kesalahan saya.

Dalam kehidupan kampus, saya juga melihat adanya kekerasan meskipun dalam konteks ini tidak berarti pukulan atau tendangan dalam pelaksanaan Pengenalan Kehidupan Kampus, dalam konteks ini PSAK FISIP UI. Wacana yang memperdebatkan masalah ini sempat mencuat ke permukaan pada tahun 2017, dan salah satu aktor yang melawan bentuk-bentuk kekerasan dalam PSAK adalah kawan saya sendiri, Dhuha Ramadhani (Kriminologi 2013). Penulis pernah mengatakan sama sekali tidak menolak idenya, namun saya merasa ada cara-cara yang lebih baik, dengan tidak menyerah untuk tetap memperjuangkan ini di dalam struktur. Meskipun pada akhirnya saya menyadari dengan kapasitas saya pada saat itu, saya pun tidak mampu menghapuskan praktek-praktek yang menjadi keresahan Dhuha Ramadhani.

Namun, sebagai sebuah pertanggungjawaban saya sebagai manusia, saya memilih untuk tidak bungkam dan membiarkan hal tersebut terus-menerus terjadi. Saya berusaha, dengan kapasitas saya saat ini untuk mencegah perilaku-perilaku tidak manusiawi dalam pengenalan kehidupan kampus. Bagi saya, ini adalah tugas kemanusiaan, dengan memanusiakan manusia, menuju kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kepada siapapun yang membaca kajian ini, saya memohon maaf atas kelemahan-kelemahan penalaran saya dalam memahami masalah, baik secara teknis, teoritis maupun praksis.  Saya juga ingin menyatakan meskipun unit analisis pada kajian ini adalah PSAK FISIP UI, bukan berarti kritik ini tidak saya tujukan kepada seluruh program pengenalan kehidupan kampus baik di tingkat jurusan, fakultas lain, maupun UI bahkan perguruan tinggi lain. Praktek-praktek kekerasan dalam bentuk serupa dengan bahasan pada kajian ini adalah bentuk-bentuk kekerasan yang saya lawan. Dan dalam menanggapi hal ini, saya bersedia untuk diajak berdiskusi dan sama-sama mencari solusi dari permasalahan ini baik dalam wicara maupun aksara.

Terakhir, saya ingin bertanya kepada kita semua dengan mengutip sajak WS Rendra:

Kita disini dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu yang diajarkan disini akan menjadi
Alat pembebasan ataukah alat penindasan?
(WS Rendra)


KAJIAN INI DAPAT DIAKSES MELALUI :

bit.ly/KAJIANPSAK

UUD KM FISIP UI : Cukupkah Terlegitimasi?


Akhir bulan Desember 2016 menjadi suatu pencapaian tersendiri bagi Forbama(Forum Lembaga Mahasiswa) FISIP UI tahun itu untuk menghasilkan sebuah landasan konstitusional bagi kehidupan kemahasiswaan FISIP UI. Pasalnya, sudah cukup lama (dalam hitungan tahun) kegiatan kemahasiswaan FISIP UI berjalan tanpa landasan konstitusional (pada waktu itu bernama PDKK) yang jelas. Sekilas memang tidak nampak permasalahan yang begitu berarti. Kegiatan kemahasiswaan tetap berjalan seperti biasanya. FISIP tetap berprestasi, bahkan treble winner(Olim UI, OIM UI, UI AW) pada tahun 2015. Komunitas-komunitas tetap berkegiatan dan berkarya. Anak-anak Takor pun masih tetap nongkrong hingga larut malam.
Masalah-masalah tidak nampak signifikan di permukaan. Namun barangkali tidak demikian di mata elit lembaga mahasiswa. Di balik berjalannya kegiatan kemahasiswaan yang sedemikian rupa itu tentunya ada fungsi-fungsi yang tidak berjalan dengan baik akibat tidak ampuhnya PDKK sebagai landasan konstitusional kegiatan kemahasiswaan FISIP UI. Salah satu masalah yang cukup mencolok adalah tentang distribusi anggaran yang tidak jelas kriteria mana yang dapat menerima dan mana yang tidak. Kalau dikatakan sebagai komunitas, ada yang sama-sama berstatus komunitas, namun mengapa komunitas A bisa dapat sementara komunitas B tidak. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakjelasan sistem kemahasiswaan.
Dampak lainnya yang penulis rasakan pada waktu itu, kiranya penulis merasa FISIP seperti menggunakan sistem presidensil-absolute dimana tidak terlihat jelas peranan lembaga legislatif yang merangkap fungsi yudikatif, yaitu BPM. Rasa-rasanya BEM sangat terlihat one man show sebagai lembaga superpower. Jangankan bicara tentang produktivitas legislasi, fungsi check and balances melalui mekanisme pemaparan laporan pertanggungjawaban pun tidak berjalan dengan baik. Kondisi demikian tentunya merupakan kondisi yang tidak sehat bagi iklim demokrasi kemahasiswaan FISIP. Seperti bom waktu yang siap meledak di kemudian hari.
Kembali pada bahasan mengenai UUD KM FISIP UI yang disahkan pada akhir Desember 2016. Penulis masih mengingat betul hari itu pengesahan dilaksanakan di Gedung F Ruang 201. Para ketua lembaga hadir mengikuti pembahasan UUD KM FISIP UI yang dilaksanakan melalui mekanisme persidangan. Hari itu penulis diajak untuk hadir oleh Ahmad (Ketua BEM FISIP UI 2016) pasca pengumuman hasil penghitungan suara yang menjadikan penulis sebagai Ketua BEM FISIP UI 2017 terpilih. Penulis hadir sebagai perwakilan lembaga mahasiswa yang akan datang bersama dengan beberapa ketua lembaga lainnya yang telah terpilih juga. Tak sampai lima puluh orang yang hadir, dan tidak satupun di antara mereka kecuali berstatus ketua lembaga, baik yang sedang menjabat maupun yang akan menjabat.
Pada waktu itu penulis berpikir bahwa proses yang dilakukan untuk merumuskan UUD KM FISIP UI begitu cepat. Penulis tidak melihat banyaknya woro-woro yang menunjukkan proses perumusan ini sedang berlangsung. Pada waktu penulis sempat berbicara dengan Ahmad, argumentasi yang tidak dapat penulis salahkan adalah “Yang penting ada dulu”. Memang benar demikian adanya. Sekarang, atau proses yang lama lagi. Mau tidak mau proses harus tetap berjalan meskipun masih terdapat banyak kekurangan. Meskipun masih ada banyak proses yang sayangnya belum dijalankan, namun penulis tetap mengapresiasi hasil kerja Forbama 2016. Bagaimanapun, proses yang cukup cepat tersebut menghasilkan sebuah landasan konstitusional yang setidaknya “ada dulu” untuk digunakan.
Pada tataran ideal yang penulis bayangkan, pada saat itu semestinya perumusan UUD KM FISIP UI dapat dilaksankan dengan melibatkan lebih banyak aspirasi publik. Meskipun bukan berarti tidak sama sekali, karena sejatinya Forbama yang berisikan ketua-ketua lembaga yang ada di FISIP merupakan perwakilan dari masing-masing basis massa, dalam konteks ini jurusan maupun lembaga keagamaan. Dalam demokrasi elektoral, pelibatan publik secara formal dikatakan sudah cukup memenuhi syarat. Akan tetapi, ketika kita meninjau ulang, apakah suara dan pemikiran ketua-ketua lembaga sudah cukup representatif? Padahal, dampak dari pelaksanaan UUD KM FISIP UI ini bukan hanya kepada lembaga-lembaga terkait tetapi juga publik secara keseluruhan, khususnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mahasiwa dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, tetap dibutuhkan suatu mekanisme pelibatan publik secara luas seperti riset maupun diskusi atau uji publik.
Dalam Etika Politik terdapat kriteria-kriteria legitimasi yang perlu diperhatikan. Menurut Suseno (2016) ada tiga kemungkinan kriteria legitimasi : legitimasi sosiologis, legalitas, dan legitimasi etis. Dalam legitimasi sosiologis, perlu dipertanyakan mekanisme motivatif apa yang membuat masyarakat mau menerima wewenang penguasa. Dalam konteks ini berarti perlu dapat dipertanyakan motivasi apa yang mendorong publik FISIP untuk menerima wewenang KM FISIP UI. Legalitas adalah kesesuaian dengan hukum yang berlaku. Dalam konteks ini perlu dilihat apakah kebijakan-kebijakan yang diberlakukan sudah sesuai dengan hukum yang berlaku. Kriteria terakhir yaitu etis, artinya dalam konteks ini segala kebijakan yang diberlakukan oleh KM FISIP UI perlu dipertanyakan secara etis apakah baik atau buruk.
Tahun 2017 bisa dikatakan sebagai tahun percobaan pelaksanaan UUD KM FISIP UI.  Dari awal kepengurusan, KM FISIP UI 2017 kerapkali mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membahas keberlangsungan kelembagaan di FISIP UI. Dengan adanya UUD KM FISIP UI ini memang sangat terasa berbeda. Lembaga-lembaga mulai bergerak sesuai dengan amanah UUD KM FISIP UI berikut produk hukum turunannya. Sebuah kemajuan yang sangat perlu untuk diapresiasi dan diketahui oleh publik FISIP.
Dari pelaksanaan UUD KM FISIP UI pada tahun 2017, tentunya terdapat catatan-catatan yang pernah penulis diskusikan bersama Ismail (Ketua BPM FISIP UI 2017). Misalnya, terdapat beberapa hal yang terlalu teknis untuk dimasukkan ke dalam UUD yang sebetulnya bisa dimasukkan dalam peraturan turunan dari UUD tersebut seperti dalam UU atau TAP. Contoh lainnya yang perlu menjadi catatan dalam UUD KM FISIP UI adalah ketidaksinkronan sistem keuangan yang  diatur dalam UUD KM FISIP UI dengan sistem yang ditetapkan oleh pihak PAF atau dekanat. Hal ini tentunya perlu kembali dikaji ulang terkait dengan relevansi aturan dengan realita yang terjadi. Selain itu masalah seperti status IKM aktif sebagaimana menjadi catatan yang cukup panjang untuk didiskusikan pada tahun 2017 adalah masalah yang cukup perlu untuk dilihat kembali relevansinya dengan mengacu kepada konteks mahasiswa saat ini. Dari masalah-masalah tersebut, penulis ingin mengajukan pertanyaan apakah UUD KM FISIP UI sudah cukup terlegitimasi berdasarkan kriteria legitimasi tersebut?
Mengacu kepada kriteria legitimasi yang seperti yang dijelaskan di atas, pertanyaan tentang cukupkah legitimasi UUD KM FISIP UI sebagai landasan kegiatan kemahasiswaan FISIP UI perlu dijawab dengan penyelesaian masalah-masalah yang menjadi catatan di atas. Permasalahan-permasalahan tersebut adalah pekerjaan rumah yang perlu dibereskan. Mungkin dampak permsalahan ini belum terlihat demikian signifikan pada saat ini. Namun, menunda penyelesaian masalah ini sama dengan mengaktifkan kembali bom waktu yang bisa jadi menimbulkan berbagai masalah di kemudian hari. Hal ini ditujukan untuk memperkuat legitimasi UUD KM FISIP UI dalam mengatur kehidupan kemahasiswaan FISIP UI secara holistik.

Jumat, 30 Maret 2018

FISIP SERIES : SEBUAH PENGANTAR

Keresahan dan mungkin kecintaan saya terhadap FISIP menjadi sebuah motivasi untuk turut ambil bagian, bergerak dan berkontribusi dan mengabdikan diri saya. Kira-kira pada akhir tahun 2016, saya mengajak kawan saya Bob Aditya Hidayat untuk mengikuti sebuah proses politik untuk menjadi ketua BEM FISIP UI 2017. Berproses, berjuang dan tertatih-tatih. Kadang lelah, namun tak boleh ada kata menyerah. Proses tersebut memberikan arti besar bagi hidup saya. Sebuah fase yang mengakselerasi perubahan cara berpikir, pengetahuan, dan berbagai hal lainnya.

Kita perlu berangkat dari pengandaian bahwa manusia adalah individu sebagai individu secara hakiki bersifat sosial. Sebagai individu, manusia bermasyarakat (Marx dan Engels dalam Suseno, 1987 ). Individualitasnya dihayati dalam tindakannya yang sadar dan disengaja. Manusia adalah bebas sejauh ia sendiri dapat mengembangkan pikiran tentang tujuan-tujuan dan sarana-sarana kehidupannya dan sejauh ia dapat mencoba untuk bertindak sesuai dengannya, ia adalah bebas karena ia mampu untuk melihat ruang gerak dengan berbagai kemungkinan untuk bertindak yang sudah tersedia atau diciptakannya sendri dan darinya ia dapat memilih salah satu (Hoffe, 1981 dalam Suseno, 1987). Akan tetapi kemampuan tersebut hanya dimiliki oleh manusia karena dan sejauh ia merupakan bagian dari masyarakat. Perihal kesosialan ini bukan hanya sekedar tambahan situasi dari luar individualitas manusia, melainkan secara hakiki dalam individualitas dan kepribadiannya yang khas. Manusia dapat hidup dan berkembang karena orang lain.

Saya kira pembacaan saya terhadap buku Etika Politik karya Romo Magniz memberikan saya pijakan bahwasanya sebagai manusia, di balik dimensi individualitas yang saya miliki, saya memiliki pertanggungjawaban secara sosial karena perihal kesosialan ini secara hakiki dalam individualitas kepribadian saya sebagai manusia, yang khas. Pemahaman ini semakin mendorong saya untuk tidak melupakan salah satu masyarakat tempat saya tumbuh dan berkembang, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Dengan kapasitas saya sebagai insan akademis dan pernah menjadi pemangku kepentingan mahasiswa, saya merasa memiliki pertanggungjawaban untuk tetap melestarikan gagasan-gagasan yang mungkin pernah terpikirkan namun belum tersampaikan atau terealisasikan. Kiranya motivasi untuk menuliskan gagasan-gagasan untuk FISIP UI ini diperkuat setelah saya membaca kutipan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Dalam membaca kutipan Pram di atas, secara personal saya tidak berharap untuk dikenang dalam sejarah. Namun, saya berharap agar gagasan-gagasan serta kritik yang pernah saya tulis dapat menjadi acuan pada suatu saat nanti ketika orang-orang di FISIP mempermasalahkan hal ini dan itu. Karena saya merasa bahwa regenerasi ide adalah salah satu hal yang penting dilakukan demi menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Kritik-kritik terhadap stagnansi ide yang seakan-akan membuat kita berjalan di tempat dan melaksanakan rutinitas tahunan sebagaimana yang kerapkali saya dengar perlu diupayakan untuk dicari jawabannya. Mungkin sebagian dari anda akan berpikir, sebagaimana yang pernah saya pertimbangkan, bahwa saya sedang mengidap gejala post power syndrome. Saya tidak ingin mengelak dengan argumentasi apapun, namun pembacaan konteksnya saya fokuskan pada motivasi konstruktif untuk membangun FISIP UI. Kiranya ada hal-hal yang mungkin pernah terpikirkan, dan mungkin saya sesali untuk tidak dilakukan sebab keterbatasan dalam berbagai aspek bagi saya masih menyisakan rasa tanggung jawab untuk berbagi gagasan kepada generasi ke depan.

Saya menulis menggunakan perspektif civil society, sebagai bagian dari masyarakat FISIP UI. Saya berusaha memaparkan pembacaan saya terhadap hal-hal yang mungkin pernah memenuhi fragmen-fragmen pemikiran saya selama saya menjalani kuliah di sini sekaligus berusaha menghadirkan berbagai imajinasi yang mungkin terjadi pada suatu hari nanti. Jika ada pihak-pihak yang merasa tidak berkenan, saya memohon maaf. Namun, dengan kapasitas saya sebagai civil society, saya berusaha mengoptimalkan hak asasi saya sebagai individu merdeka untuk menyatakan pendapat di muka umum, meskipun itu di laman saya pribadi. Kiranya kita punya visi yang sama, demi kebaikan FISIP dan kebermanfaatan seluas-luasnya, mari duduk bersama, berdialektika dalam wicara maupun aksara, atas nama kecintaan kita terhadap makara jingga!

Fisip Series,
Merawat Ingatan, Berpikir ke Depan!

Salam
Lakon Hidup

Selasa, 14 Maret 2017

Aku terkesima

Aku terkesima olehmu pada keluhuran cita-cita

Yang begitu sederhana namun sarat akan makna

Yang tak sekedar berpegang pada dunia hampa

Tak berbatas pada kasat mata
Bukan juga semu, namun nyata merasuk sukma

Aku terkesima olehmu pada kejujuran atas kebenaran

Yang tak perlu kau tutupi dengan berhelai-helai kain tenunan

Yang tak perlu kau sembunyikan di balik siapapun yang menujamkan pandangan

Tak ada banyak  gelagat maupun aksara yang kau sembunyikan dalam kepalsuan

Aku mencintaimu, dengan kesederhanaan menuju keabadian
Semoga kita suatu saat akan dipertemukan

-Lakon Hidup

Jumat, 10 Maret 2017

MEMBANGUN KEMBALI GERAKAN MAHASISWA




Saya memulai tulisan ini dengan sebuah pertanyaan, “Apa kabar gerakan mahasiswa hari ini?”. Pertanyaan yang cukup sulit dijawab dan hanya berujung pada kesimpulan seolah-olah gerakan mahasiswa sudah mengalami titik jenuh pasca peristiwa reformasi 98 yang dianggap sebagai titik puncak eksistensi gerakan mahasiswa. Eksistensi tersebut tentunya membentuk obligasi moral kepada para aktivis senior untuk terus mengkader adik-adik mereka di kampus dengan mereproduksi jargon-jargon romantisme gerakan mahasiswa seperti agent of change, moral force, social control, dan iron stock.

Dalam membaca gerakan mahasiswa hari ini kita perlu sedikit lebih kritis dan reflektif. Kita perlu mempertanyakan relevansi gerakan mahasiswa seperti yang telah didengung-dengungkan oleh para aktivis senior dengan basis realitas gerakan mahasiswa hari ini. Dan tentunya kita juga perlu meninjau ulang untuk merumuskan gerakan seperti apa yang kita anggap ideal untuk dilakukan oleh mahasiswa pada saat ini.  Berkaitan dengan hal tersebut kita perlu membedah terlebih dahulu permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan gerakan mahasiswa hari ini.

Pada saat ini kita seringkali menemui gerakan-gerakan mahasiswa yang sangat reaktif, spontan, responsif. Dalam berbagai wacana populer, kita sering menemukan aksi-aksi mahasiswa yang sangat spontan dan reaktif namun kerapkali tak menyasar pada substansi permasalahan yang hendak diselesaikan. Gerakan-gerakan tersebut terbentuk karena mentalitas heroik yang kerapkali membuat mahasiswa merasa paling memahami masyarakat dan mencoba merumuskan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat dengan solusi yang justru seringkali tidak solutif. Kerapkali kita temukan lembaga-lembaga eksekutif mahasiswa bergerak dengan mengambil isu-isu besar dan populis yang dikomodifikasi sebagai barang dagangan mereka hanya dengan mengandalkan momentum. Padahal, jika tidak ada momentum gerakan tersebut bisa jadi tidak masuk dalam prioritas masalah untuk diperjuangkan. Sehingga dapat dikatakan mahasiswa berpikir pragmatis, memperjuangkan suatu permasalahan hanya untuk mendongkrak eksistensi mereka sebagai lembaga.

Dalam rangka memahami gerakan mahasiswa tentunya kita tidak terlepas dari konstruksi ilmu pengetahuan dan kerangka akademik. Gerakan mahasiswa dikategorikan sebagai bagian dari gerakan sosial. Charles Tilly mendefinisikan gerakan sosial dengan sustained series of interactions between power holders and persons successfully claiming to speak on behalf of a constituency lacking formal representation, in the course of which those persons make publicly visible demands for changes in the distribution or exercise of power, and back those demands with public demonstrations of support.[1]Melalui definisi ini, kita dapat membaca secara umum Tilly berpandangan bahwa gerakan sosial merupakan sesuatu yang terorganisir, berkelanjutan, menolak self-consiusness, dan terdapat kesamaan identitas. Sebagai sebuah gerakan sosial tentunya gerakan mahasiswa seharusnya memiliki sebuah bentuk yang tegas sebagaimana yang digambarkan oleh Tilly. Gerakan mahasiswa perlu dilakukan secara terorganisir, berkelanjutan, dan menolak self-consiusness, dengan kesadaran akan kesamaan identitas sebagai bagian dari rakyat.

Membaca Kembali Sejarah dan Dekonstruksi Gerakan Mahasiswa

Kondisi dan pandangan terhadap gerakan mahasiswa hari ini tentunya terjadi secara historis. Artinya, wujud dan kondisi gerakan mahasiswa tidak serta-merta terbentuk begitu saja melainkan melalui proses menyejarah yang sangat panjang. Dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia, tentunya kita tidak bisa melepaskan momentum-momentum bersejarah yang dikenang hingga kini. Peristiwa-peristiwa bersejarah seperti penggulingan rezim orde lama yang terjadi pada tahun 1966, Malari pada tahun 1974, NKK-BKK pada tahun 1978 dan reformasi pada tahun 1998 merupakan peristiwa-peristiwa yang kerapkali digaungkan sebagai bukti eksistensi peran dan kekuatan mahasiswa dalam proses perubahan bangsa. Peristiwa-peristiwa tersebut memang kerapkali dikenang sebagai peristiwa heroik mahasiswa. Akan tetapi, seringkali dilupakan peristiwa malari 1974 dan NKK-BKK merupakan pukulan besar bagi gerakan mahasiswa yang berdampak besar hingga hari ini.  Dalam studinya yang berjudul Kisah yang Tak Terungkap : Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998, Rosidi Rizkiandi menggambarkan perjalanan gerakan mahasiswa Indonesia secara detail melalui peristiwa-peristiwa yang disebutkan di atas.

Akan tetapi, peristiwa-peristiwa bersejarah tersebut sayangnya tidak dipelajari secara cermat oleh mahasiswa pada hari ini. Alih-alih mempelajari konteks permasalahan dan situasi sosial-politik yang terjadi secara holistik dan mengkontekstualisasikannya dengan realitas hari ini, yang terjadi justru hanyalah mitosisasi gerakan mahasiswa dengan mengagung-agungkan sejarah tersebut secara heroik. Sehingga, yang terjadi  hanyalah terjebak pada simbol-simbol romantisme jargonistik seperti agent of change, moral force, social control, dan iron stock. Pengagungan secara heroik tersebut tentunya seringkali membuat mahasiswa terjebak pada pemahaman bahwasanya mahasiswa adalah satu-satunya motor penggerak perubahan sosial. Bukan bermaksud untuk mengkerdilkan eksistensi gerakan mahasiswa. Akan tetapi apabila kita terus-menerus membiarkan mainset seperti itu terus-menerus direproduksi, yang terjadi hanyalah membuat mahasiswa terjebak pada kebangaan semu dan mitos-mitos yang ada dan justru mirisnya seringkali tidak merubah keadaan apapun.

Dalam mencermati permasalahan di atas, kita dapat belajar dari Jacques Derrida dengan menggunakan metode dekonstruksi. Dalam konteks ini, jika Derrida melakukan dekonstruksi oposisi terhadap filsafat barat, kita mendekonstruksi mitos-mitos dan romantisme gerakan mahasiswa tersebut.  Dekonstruksi bisa dilakukan sebagai upaya pembongkaran, namun bukanlah pembongkaran atau penghancuran yang berakhir dengan pandangan monisme atau bahkan kekosongan.[2] Akan tetapi, dekonstruksi menjadi sebuah upaya mencari pemikiran alternatif di tengah-tengah nilai yang sudah ada. Artinya, dari pemahaman yang terjebak romantisme heroik tentang mitos-mitos mahasiswa sebagai agent of change, moral force, social control, dan iron stock perlu didekonstruksi dan dikontekstualisasikan dengan kondisi hari ini.

            Dekonstruksi pemahaman atas mitos-mitos tersebut bisa dipahami dengan membaca ulang konteks sejarah eksisnya gerakan mahasiswa. Pasca pemberangusan PKI pada peristiwa Gestok 1965, konsentrasi gerakan-gerakan rakyat seperti buruh dan petani semakin melemah. PKI yang lekat dengan palu-arit sebagai simbol gerakan buruh dan petani seketika menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat sehingga layak untuk diberangus. Bahkan kekerasan terhadap setiap anggota maupun simpatisan PKI menjadi satu hal yang lumrah.[3] Kondisi tersebut membuat gerakan-gerakan buruh dan petani meredup atau bahkan mati suri. Akibatnya, masyarakat tidak lagi terlalu ideologis, kehidupan politik diarahkan agar terjadi konsensus, aktivitas partai politik dibatasi tidak boleh sampai ke desa-desa, dan kepengurusan organisasi sosial politik hanya terbatas sampai tingkat kabupaten atau kotamadya.[4]Mahasiswa sebagai salah satu pendorong bergulingnya rezim mendapatkan tempat khusus pada masa Orde Baru. Pemerintah Orde Baru mengakui pentingnya peran mahasiswa sebagai calon intelektual atau lapisan terdidik yang dibutuhkan untuk mengisi jaringan teknostruktur. Aksi-aksi protes mahasiswa memang tidak disukai pemerintah karena dapat menimbulkan ‘aib’, tapi juga tidak sepenuhnya dilarang. Mahasiswa boleh menyampaikan kritik dan protes, tapi tetap dalam batas-batas stabilitas keamanan dan pembangunan nasional.[5] Kondisi tersebutlah yang membuat mahasiswa terlalu cepat mengambil sebuah kesimpulan keliru bahwasanya gerakan mahasiswa adalah satu-satunya gerakan yang mampu menjadi oposisi pemerintah. Sehingga, pada akhirnya mahasiswa terjebak pada romantisme heroik tentang mitos-mitos mahasiswa sebagai agent of change, moral force, social control, dan iron stock.

Memposisikan Kembali Gerakan Mahasiswa

Dalam catatan hariannya yang kemudian dibukukan dan diberi judul Catatan Seorang Demonstran,  Soe Hok Gie pernah menulis “Tugas Seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa lepas dari arus masyarakat yang kacau, tapi mereka tidak bisa lepas dari fungsi sosialnya, yakni bertindak jika keadaan mulai mendesak. Kaum intelelektual yang diam disaat keadaan mulai mendesak, telah melunturkan nilai kemanusiaaan”. Dalam membaca kutipan tersebut, penulis merasa bahwasanya secara tidak langsung kaum intelektual merupakan sebuah entitas yang terpisah dari rakyat dan baru akan bertindak ketika keadaan sudah mendesak.

Kutipan tersebut menjadi sangat selaras apabila kita analogikan mahasiswa dengan koboy. Mahasiswa dapat dianalogikan sebagai koboy yang akan datang ke suatu daerah yang dikuasai oleh bandit. Koboy yang dapat mengalahkan bandit tersebut kemudian diminta oleh masyarakat untuk menetap di wilayah tersebut dan hendak diangkat menjadi sherif. Kemudian ia menolak dan lebih memilih untuk pergi dan melanjutkan perjalanannya. Analogi ini menegaskan bahwa mahasiswa apabila sudah turun menyelesaikan permasalahan Rakyat, maka harus kembali lagi ke tempatnya berasal, yaitu kampus.[6]

Analogi mahasiswa sebagai koboy ternyata bukan menjadi satu-satunya analogi menarik yang menggambarkan kondisi mahasiswa saat ini. Dalam tulisannya yang berjudul Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru, Suryadi Rajab menganalogikan mahasiswa sebagai resi dalam pertapaan di gunung-gunung. Sang resi baru akan mau turun gunung ketika terjadi ketidakberesan di masyarakat dengan berbagai kritiknya kepada penguasa. Kemudian sang resi akan kembali lagi ke pertapaannya jika ketidakberesan tersebut usai. Mahasiswa diibaratkan sebagai resi, agent of social change, kelompok intelektual pembaruan, dan sebagainya dianggap sebagai kelompok yang harus bebas dari kepentingan politik sehingga memunculkan pewacanaan gerakan mahasiswa haruslah menjadi gerakan moral, bukan gerakan politik. Sebab, kita perlu melihat kembali sejarah dan mengkritisi apakah gerakan moral benar-benar menyelesaikan masalah bangsa. Jika kita membaca situasi reformasi 1998, kejatuhan Soeharto tidak serta-merta terjadi begitu saja. Reformasi 1998 didukung oleh faktor krisis ekonomi yang hebat dan gerakan rakyat yang kuat dan dipupuk sejak lama. Begitupun dengan peristiwa pergantian rezim orde lama ke orde baru. Tumbangnya rezim Soekarno dilatarbelakangi oleh subversi kalangan militer dan intelektual yang mencoba untuk merebut rezim. Sedangkan mahasiswa bisa jadi hanya menjadi faktor pendukung yang melahirkan tritura dan sebagainya.

Perdebatan mengenai gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral atau gerakan politik merupakan sebuah wacana yang tak pernah usai sepanjang pusaran sejarah. Akan tetapi, fenomena yang dapat kita lihat saat ini yang muncul ke permukaan sebagai wacana dominan justru gerakan moral sebagai landasan gerakan mahasiswa. Bahkan, Hariman Siregar dalam bukunya yang berjudul Gerakan Mahasiswa Indonesia Pilar Kelima Demokrasi menyebutkan Gerakan moral selalu membawakan perasaan orang banyak, dan ia akan memperoleh dukungan yang luas dari masyarakat. Beda dengan gerakan politik, lebih mementingkan pilihan tertentu yang sesuai dengan kepentingan politik tertentu.[7]
Pemahaman Hariman Siregar tersebut yang direproduksi terus-menerus turut semakin menjadikannya wacana dominan di kalangan mahasiswa. Padahal, jika dikritisi, kita dapat melihat Hariman Siregar gagal mendefinisikan gerakan politik itu sendiri sehingga hanya terjebak pada pengertian yang berorientasi kekuasaan. Padahal, gerakan mahasiswa selalu bersinggungan dengan politik sepanjang ia mengangkat isu-isu kenegaraan, mengorganisir massa, berorientasi untuk mempengaruhi kebijakan publik, atau menyoal keberlangsungan demokrasi. Artinya, makna ‘politik’ tidak sesempit pada pengertian berorientasi pada kekuasaan. Sederhananya, sejauh isu yang diangkat menyangkut hajat hidup orang banyak—misalnya keberlangsungan demokrasi—maka ia menjadi ‘politis’.[8] Jika gerakan mahasiswa diposisikan hanya sebagai gerakan moral, maka hal tersebut sesungguhnya hanyalah mereduksi signifikansi gerakan mahasiswa itu sendiri. Oleh karena itu, untuk dapat membuktikan gerakan mahasiswa memiliki signifikansi politik, maka gerakan mahasiswa perlu dipandang sebagai gerakan politik meskipun tidak secara langsung berorientasi kekuasaan dan kepentingan politik praktis. Mahasiswa perlu membangun gerakan yang juga berbasis ideologis, dalam artian memiliki cita-cita politik untuk mewujudkan sebuah transformasi sosial. Hal tersebut dilakukan sebagai kritik atas gerakan moral yang cenderung bersifat reaksioner.

Dalam upaya membangun kembali gerakan mahasiswa, tentunya kita tidak bisa melepaskan mahasiswa dari kondisi objektifnya sebagai kaum intelektual dan akademisi yang mencerminkan lekatnya teori. Selain itu, kondisi objektif lainnya yang perlu kita sadari adalah mahasiswa juga merupakan bagian dari masyarakat yang mensyaratkan adanya praksis. Seringkali kita mendengar perdebatan dalam gerakan yang mengutamakan aksi atau teori. Di satu pihak dinyatakan bahwa yang penting aksi. Di lain pihak, dinyatakan bahwa sebelum melakukan aksi kita perlu memahami teori dan mengetahui apa yang akan dikerjakan. Padahal keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan  berhasil  melakukan perubahan yang mendasar, tidak dapat  membebaskan manusia tanpa sadar. Di pihak lain, teori tanpa aksi tidak akan  mendapat watak ilmiah yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk mengu­ji teori kecuali melalui aksi.[9] Oleh karena itu , dalam bergerak diperlukan adanya kesatuan antara teori dan praksis.

Gagasan untuk menyatukan antara  teori dan praksis dimulai dari pendapat para filsuf seperti Babeuf, Hegel hingga Marx. Kesatuan antara teori dan praksis ini dapat diartikan dalam  upaya pembebasan manusia dari cengkraman kapitalisme, maka harus dilakukan secara sadar. Implikasi hal tersebut terletak pada kesadaran mahasiswa terhadap kondisi objektif realitas ekonomi, sosial, dan politik untuk dapat mendefinisikan subjek yang menjadi lawannya. Sehingga mahasiswa mengetahui dengan benar siapa yang menjadi lawan sesungguhnya dan mengetahui akan kemana arah gerakan tersebut dibawa.

Sebagai mahasiswa perlu diingat bahwasanya yang dilakukan oleh mahasiswa juga dalam kerangka belajar. Mahasiswa perlu rendah hati untuk belajar bersama dan kepada masyarakat. Mahasiswa tidak perlu memposisikan diri sebagai agent of change. Akan tetapi mahasiswa perlu berpandangan sebagai kontributor yang bergerak bersama masyarakat sekaligus sebagai akademisi dan intelektual seperti konsep intelektual organik yang digambarkan  oleh Gramsci. Kesatuan teori dan praksis dibutuhkan untuk menjadikan mahasiswa sebagai intelektual organik yang dengan sadar dan mampu menghubungkan teori dan realitas sosial yang ada, dan ia bergabung dengan kelompok-kelompok revolusioner untuk men-support dan meng-counter hegemoni pada sebuah transformasi yang direncanakan.[10]

Pada akhirnya, dalam upaya membangun kembali gerakan mahasiswa kita perlu mengawalinya dengan mempelajari sejarah gerakan mahasiswa ke belakang secara cermat. Kemudian, kita perlu melihat dan mengkritisi wacana-wacana dominan yang kita rasa janggal untuk dipertahankan. Setelah itu kita dekonstruksi wacana-wacana janggal tersebut dan konstruksikan kembali menjadi sebuah wacana yang matang. Kemudian, kita perlu memposisikan kembali gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik dan mendasarkan gerakan pada kesatuan antara teori dan praksis. Gerakan mahasiswa perlu meninggalkan cara pandang lama sebagai gerakan moral yang bersifat reaksioner. Gerakan mahasiswa perlu dilakukan secara terorganisir, berkelanjutan, dan menolak self-consiusness, dengan kesadaran akan kesamaan identitas sebagai bagian dari rakyat. Gerakan mahasiswa perlu dibangun sebagai gerakan transformatif untuk mencapai sebuah cita-cita tertentu, dalam artian sebuah transformasi yang direncanakan. Oleh karena itu, sangat penting bagi mahasiswa untuk memiliki sebuah ideologi tertentu sebagai landasan trasnformasi masyarakat yang hendak diwujudkan.





[1] Tilly, Charles “Social Movement and National Politics” dalam Charles Bright and Sandra Harding (Eds), State-Making and Social Movements: Essays in History and Theory (Ann-Arbor Michigan: University of Michigan Press), hal. 306.
[2] Santoso, Listiyono, dkk. 2015. Epistemologi Kiri. Yogyakarta : Penerbit Ar-Ruzz Media
[3] Herlambang, Wijaya. 2013.Kekerasan Budaya Pasca 1965. Jakarta : Marjin Kiri
[4] Rizkiandi, Rosidi. 2016.Mahasiswa Dalam Pusaran Reformasi :Kisah yang Tak Terungkap. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
[5] Orasi Hendardi pada acara “Ziarah Gerakan Mahasiswa”, Goethe Institute, Jakarta, 26 Agustus 2009 pada http://indoprogress.com/2009/09/meletakkan-kembali-gerakan-mahasiswa-ke-jalur-strategis/ (diakses pada 25 Februari 2017 pukul 04.07 WIB)
[7] Siregar, Hariman. 2013. Gerakan Mahasiswa Indonesia Pilar Kelima Demokrasi. Jakarta : TePLOK PRESS
[9] Pidato Ernest Mendel dalam Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa https://www.marxists.org/indonesia/archive/mandel/001.htm ( diakses pada 25 Februari 2017 pukul )6.20 WIB)
[10] Haraman ,Abd. Malik, dkk. 2001. Pemikiran-pemikiran Revolusioner. Yogyakarta: Averroes

Minggu, 12 Februari 2017

PEDAGOGY OF THE OPRESSED : Melihat Pendidikan Sebagai Upaya Pembebasan


Pedagogy of The Opressed merupakan sebuah karya berpengaruh dari seorang filsuf kelahiran Brazil, Paulo Freire. Bagi sebagian orang nama Paulo Freire mungkin sudah tidak asing lagi. Dia lahir pada tanggal 19 September 1921 di wilayah miskin di Kota Pelabuhan Recife, Brazil. Latar belakang keluarga dan lingkungan sosialnya yang cukup memprihatinkan membentuk daya refleksinya yang kuat terhadap realitas. Dengan kondisi apa adanya, Freire melanjutkan studinya di Universitas Recife dengan mengambil studi hukum.

Pada tahun 1944 Freire menikah dengan Elza Maia Costa, soerang guru sekolah dasar di Recife. Sejak saat itu perhatiannya terhadap teori-teori pendidikan mulai tumbuh. Bahkan Dia lebih banyak membaca tentang pendidikan ketimbang ilmu hukum yang baginya hanya membuatnya menjadi mahasiswa rata-rata saja. Pasca kelulusan studinya menjadi sarjana hukum, Dia justru menjadi Direktur Bagian Pendidikan dan Kebudayaan SESI (Pelayan Sosial) di negara bagaian Pernambuco. Pengalaman tersebut membawa Freire kontak langsung dengan masyarakat miskin kota yang sangat memengaruhi penelitian-penelitiannya dalam menngembangkan metode dialogik dalam pendidikan.

Pada bagian pertama buku ini, Freire mencoba membahas pentingnya pendidikan bagi kaum tertindas. Kaum tertindas selama ini mengalami proses dehumanisasi yang begitu panjang sehingga membentuk mental tertindas dan takut akan kebebasan. Untuk mengatasi situasi penindasan, manusia pertama kali harus secara kritis mengenali sumber penyebab penindasan tersebut. Kemudian mereka harus melakukan perubahan dimana mereka menciptakan situasi baru yang memungkinkan terciptanya manusia yang lebih utuh. Dengan adanya pendidikan bagi kaum tertindas, diharapkan kaum tertindas dapat mengetahui situasi yang mereka hadapi sekarang. Akan tetapi yang perlu menjadi catatan di sini pendidikan bagi kaum tertindas sebagai sebuah upaya humanisasi haruslah dilaksanakan secara humanis.

 Pendidikan kaum tertindas, sebagai pendidikan para humanis terdiri dari dua tahap. Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng.[1] Dari penyataan tersebut dapat disimpulkan bahwasanya prinsip mendasar dari Pendidikan Kaum Tertindas ialah humanisme, keadilan, dan kasih sayang.

Pada bagian kedua, Freire mengkritisi sistem pendidikan yang selama ratusan tahun digunakan oleh umat manusia. Dia menyebut sistem pendidikan tersebut sebagai sistem pendidikan gaya bank. Freire menyatakan, “pendidikan yang dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini tak ubahnya seperti pendidikan dengan “sistem bank”. Dalam pendidikan “sistem bank”, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencacat, dan menyimpan.[2] Dalam sistem pendidikan gaya bank, murid dan guru memiliki kedudukan yang berbeda. Guru berperan sebagai subjek yang menarasikan realitas kepada murid sebagai objek. Padahal, bagi Freire seharusnya sistem pendidikan tidaklah demikian. Dalam “Metode pendidikan hadap masalah” Freire, guru dan murid seharusnya sama-sama menjadi subjek. Sedangkan realitas atau permasalahan merupakan objek yang dipelajari untuk ditindaklanjuti. Pada sistem pendidikan seperti demikian terjadi proses dialogis antara guru dan murid. Keduanya dapat saling belajar dan mengkritisi secara dua arah untuk menghasilkan sintesis kesimpulan yang tajam. Tidak seperti pada pendidikan gaya bank yang bersifat satu arah.

Pada bagian ketiga dan keempat,  Ferire mempertegas kembali konsepsi dialogika dan antidialogika. Dalam dialogika yang harus pertama kali dilakukan adalah menghilangkan dikotomi antara verbalisme dan aktivisme, antara teori dan praksis. Dikotomi yang manapun menciptakan keberadaan dan bentuk pemikiran yang tidak otentik. Manusia tidak diciptakan dalam kebisuan, tetapi dalam kata, dalam karya, dalam tindakan refleksi. Dialog merupakan bentuk perjumpaan di antara sesama manusia, dengan perantara dunia, dalam rangka menamai dunia. Oleh karena itu dialog merupakan sebuah kebutuhan eksistensial. Dengan adanya dialog diharapkan tidak ada lagi keadaan dimana  satu orang aktif  menabungkan gagasannya kepada orang lain, sementara yang lain cuma pasif menerima apa yang diberikan orang lain kepada dirinya. Sementara itu sebagai lawan dari dialogika, yaitu antidialogika, dijelaskan sebagai sebuah model pendidikan yang selalu berupaya menguasai manusia lainnya. Hal tersebut bersebrangan dengan pendidikan dialogis yang bersifat kooperatif.
                Pendidikan hadap masalah yang dicetuskan oleh Freire bagaimanapun juga banyak memengaruhi perkembangan teori dan praktik pendidikan di dunia khususnya di Amerika Latin. Pendidikan alternatif tersebut dapat dikontekstualisasikan kepada banyak masyarakat khususnya masyarakat marjinal di negara-negara dunia ketiga, tak terkecuali di Indonesia. Sistem pendidikan alternatif yang dicetuskan oleh Freire pada suatu saat nanti bisa jadi menggantikan sistem pendidikan nasional yang bersifat top-down dan kurang membangun kearifan lokal dalam kurikulum yang diajarkan di sekolah. Pada praktiknya, sebagai sebuah contoh, seolah-olah dari Sabang sampai Merauke, baik di wilayah perkotaan maupun desa pedalaman mengetahui benda-benda berteknologi canggih yang mungkin hanya diakses oleh anak-anak di wilayah perkotaan. Padahal memasukkan imajinasi tentang sebuah benda berteknologi  yang tidak aksesibel bagi anak-anak di wilayah pedalaman merupakan sebuah bentuk potensi kekerasan dalam kurikulum. Mereka tidak diarahkan untuk mendeskripsikan dan mengkritisi realitas yang ada di sekitar mereka. Akan tetapi justru diarahkan untuk membayangkan konsepsi-konsepsi besar yang tidak lekat dengan keseharian mereka.

Sumber : Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia


[1] Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 27-28
[2] Ibid, 52
© BUKAMATA
Maira Gall