Senin, 19 November 2018

MELEPASKAN DIRI DARI KETERGANTUNGAN



“FISIP selalu terbaik
Makara Jingga Juara
Dulu kini dan selamanya
FISIP UI juara”

Potongan lirik ini merupakan salah satu lagu supporteran Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI (FISIP UI) yang menggambarkan semangat dan gairah luar biasa mahasiswa FISIP UI atas prestasi kolektif mereka di kampus. Bagaimanapun, prestasi sepuluh kali juara Olimpiade UI, dua kali treble winner pada tahun 2015 dan 2009 (masih bernama ASTEROID), hingga empat kali juara UI Art War berturut-turut adalah sebuah pencapaian yang belum bisa disamai oleh fakultas manapun. Jargon-jargon pun bermunculan seolah menempatkan FISIP UI sebagai fakultas yang paling layak untuk sombong. Bagaimanapun tidak bisa disalahkan, karena sejarah berkata demikian. Akan tetapi, perlukah kita pertanyakan mengapa FISIP UI harus terus-menerus mengikuti Olimpiade UI, OIM UI, dan UI AW?
Pertanyaan ini muncul dari benak penulis sebab pada faktanya mempersiapkan ketiga kompetisi tersebut bukanlah perkara mudah dan murah. Puluhan juta rupiah keluar sebagai biaya yang harus disiapkan untuk berbagai kebutuhan. Di sebagian kalangan grassroot, menjadi kontingen untuk ketiga kompetisi ini menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Padahal, jika ditelisik dari aspek materil sebagai kontraprestasi dari pencapaian yang diraih, bisa dibilang tidak terlalu membanggakan. Hadiah yang segitu-segitu saja, hingga iming-iming sarana kaderisasi berjenjang yang tak kunjung terealisasi secara optimal kiranya perlu menjadi catatan tersendiri untuk dikritisi. Puluhan hingga lebih dari seratus juta digelontorkan, namun yang didapat secara materil tak lebih dari hadiah jutaan rupiah yang kiranya kurang sepadan. Padahal, masing-masing kompetisi pun mensyaratkan jutaan rupiah untuk dapat mengikuti kompetisi tersebut. Lantas, apa yang membuat kita tetap mengikuti ketiga kompetisi tersebut?
Penulis berspekulasi, bahwa kita mengidap gejala ilusi identitas cukup akut. Tak peduli analisis cost and benefit, yang jelas kalau tidak ikut ketiga kompetisi tersebut seakan-akan mencoreng persatuan, tidak solid, tidak suportif, atau sekumpulan narasi nalar pincang lainnya. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh panitia, maupun BEM UI sebagai penyelenggara program untuk terus-menerus membawa ketiga program kerja ini. Disadari atau tidak, pada kenyataannya historis UI yang bermula dari sebuah fakultas, disertai dengan kondisi geografis UI yang begitu luas, membuat massa terpusat di masing-masing fakultas (paling tinggi di tingkat rumpun). Jika dipertanyakan, berapa massa pasti BEM UI, tentunya mereka perlu berpikir beberapa kali untuk menjawabnya, karena 30 ribu mahasiswa UI tentunya bukan jawaban yang tepat. Untuk tetap menghimpun massanya agar tetap engaged, saya yakin BEM UI tetap mempertahankan pola ini dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Fakultas-fakultas pun seakan mengalami ketergantungan untuk tetap mengikutinya. Bisa jadi, ini merupakan tuntutan masing-masing konstituen. Seakan-akan ingin merasakan yang orang-orang rasakan. Dan saya yakin, jika bukan karena pride masing-masing massa fakultas atas fakultasnya, siapalah yang mau mengikuti ketiga kompetisi ini.
Mempertahankan pola seperti demikian dapat berdampak pada kejumudan atau stagnansi sistem. Seolah-olah, program-program ini adalah sebuah obat paling manjur dari semua penyakit pengembangan minat bakat di UI. Dan disadari atau tidak, konstruksi ini memengaruhi cara berpikir setiap fakultas di UI untuk membentuk hal-hal serupa, dalam cakupan yang lebih kecil. Situasi ini membentuk suatu kondisi nyaman dan seakan-akan menjadi rutinitas tahunan yang tak boleh dilewatkan. Padahal, rutinitas tahunan melalui ketiga kompetisi ini memiliki resiko berupa stagnansi sistem pengembangan minat dan bakat di Universitas Indonesia. Bukankah pendekatan yang itu-itu saja akan menghasilkan hasil yang itu-itu saja?
Penulis berasumsi bahwa tidak ada rencana jangka panjang yang betul-betul menjadi roadmap jangka panjang pengembangan minat dan bakat yang diinisiasi oleh BEM  atau Lembaga-lembaga tinggi lainnya di UI. Sehingga, setiap zaman hanyalah melihat program-program kerja semacam Olim, OIM, dan UIAW sebagai program kerja tahunan yang harus selalu dipertahankan. Alasan mempertahankan atensi konstituen penulis kira menjadi prioritas, di samping kemalasan untuk merumuskan ulang untuk suatu pengembangan yang bertahan dalam jangka panjang.
Penulis pernah berpikir, apakah FISIP UI sebagai salah satu peserta tahunan dari ketiga kompetisi tersebut tidak pernah merasa bosan untuk terus mengikutinya? Beragam prestasi dalam tiga kompetisi tersebut, yang saya yakin dalam 10 tahun ke depan belum bisa disamai oleh fakultas manapun kiranya memunculkan sebuah pertanyaan sinis, “mau apa lagi sih?”. Bagi penulis, hal tersebut tidak dimaksudkan sebagai sebuah ekspresi kesombongan. Melainkan sebuah dorongan untuk berpikir lebih jauh, keluar dari stagnansi sistem yang diambang kejumudan ini. FISIP punya sumber daya yang cukup potensial untuk berkarya lebih dari sekedar kompetisi mahasiswa di dalam kampus yang nyatanya memiliki ongkos mahal tersebut. Harga yang harus dibayar adalah gengsi untuk tidak berhadapan dan merasakan apa yang fakultas-fakultas lain rasakan. Namun, hal tersebut bukan sesuatu yang negatif dan menjadi worthed ketika alternatif kegiatan yang dihasilkan memiliki gengsi yang lebih tinggi sesuai dengan keinginan mahasiswa FISIP sendiri.
Penulis menilai, pemikiran untuk tetap mempertahankan, terus-menerus menjuarai ketiga kompetisi tersebut adalah masalah yang perlu dituntaskan. Stagnansi situasi eksternal UI dalam mengembangkan minat dan bakat dengan bentuk kongkret ketiga kompetisi tersebut perlu ditangani dengan tidak ikut-ikutan berpikir stagnan. FISIP perlu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pihak eksternal melalui hadirnya ketiga kompetisi tersebut. Keberanian ini memang menjadi suatu langkah penting, meskipun berhadapan dengan ekspektasi publik yang pastinya belum tentu mau mengerti. Kiranya dibutuhkan keberanian dari pengambil kebijakan untuk melawan ekspektasi publik dan memunculkan ekspektasi publik yang baru. Daripada puluhan hingga ratusan juta digelontorkan untuk memeriahkan acara orang, lebih baik untuk acara kita sendiri. Kira-kira demikian logika sederhananya.
Penulis yakin, di antara para pembaca pasti ada yang bertanya, jika memang penulis mendorong FISIP untuk melepaskan diri dari ketiga kompetisi tersebut, lantas mengapa masih mengikuti ketiga kompetisi tersebut pada saat masa kepemimpinan penulis? Jawabannya sederhana, karena penulis belum mampu menghadirkan alternatif ketiga kompetisi tersebut dalam waktu dekat. Tujuan penulis untuk tetap mengikuti ketiga kompetisi tersebut adalah membuka ruang pengembangan minat dan bakat mahasiswa FISIP UI. Namun, bukan berarti penulis tidak memikirkan alternatifnya. Penulis menyarankan untuk dibentuknya sebuah roadmap pembangunan, khususnya di bidang kesenian bagi mahasiswa FISIP. Roadmap tersebut sudah mulai dilaksanakan pada tahun 2017, melalui program-program kerja BEM FISIP UI yang mengacu kepada roadmap pembangunan jangka panjang tersebut. Penulis mencoba untuk mengajak pihak-pihak terkait (Departemen Seni Budaya BEM FISIP UI 2017) untuk berimajinasi bahwa suatu saat nanti FISIP akan melepaskan diri dari UI AW dan menggantikannya dengan membuat sebuah rangkaian acara yang tertulis dalam rancangan besar Ali-Bob bernama pagelaran Seni #SATUFISIP. Penulis meyakini untuk mewujudkan hal tersebut tidak cukup dalam jangka waktu 1-2 tahun. Oleh karenanya, dibentuk sebuah roadmap yang mempersiapkan segala kebutuhan terkait realisasi acara tersebut. Segala kebutuhan tersebut bukan hanya bersifat teknis, melainkan pola pikir, ide, serta stakeholders.
Melalui tulisan ini, penulis hanya ingin menyampaikan keresahan untuk segera melepaskan diri dari ketergantungan dan situasi stagnan pengembangan minat dan bakat mahasiswa UI. Bagi penulis, pencapaian FISIP yang sungguh luar biasa adalah sebuah bukti bahwa FISIP mampu melampauinya dengan membuat alternatif masing-masing kompetisi dalam mewadahi minat dan bakat mahasiswa FISIP UI. Namun, perubahan cepat juga bukan opsi bijak karena ekses negatifnya penulis yakin cukup besar. Oleh karena itu, melepaskan diri dari ketergantungan ini perlu dilakukan secara bertahap namun tidak keluar dari jalur pembangunan tersebut. Sehingga dulu kini dan selamanya FISIP UI juara bukan hanya sebatas tentang ketiga kompetisi tersebut, melainkan juara yang didefinisikan oleh mahasiswa FISIP itu sendiri.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall