Pendahuluan
Akhir-akhir
ini, Universitas Indonesia sempat sedikit dihebohkan dengan wacana tuntutan
penghapusan sistem kenggotaan aktif dan biasa IKM UI oleh seorang mahasiswa Fasilkom, Hidayatul
Fikri (Fasilkom UI 2017) atau yang akrab disapa Datul. Datul tidak sendiri,
wacana ini diangkatnya bersama Zico, salah seorang mahasiswa FH UI yang sempat
meramaikan jagat media nasional berkat peranannya mengajukan Judicial Review UU
MD3 melalui surat permohonan kepada kongres mahasiswa UI. Melalui tagar
#SemuaBerhakSama, Datul dan Zico mendorong mahasiswa UI secara luas untuk
mengkritisi kejanggalan-kejanggalan dalam UUD IKM UI khususnya terkait dengan status
keanggotaan IKM UI yang dianggap tidak memberikan perlakuan yang sama di
hadapan hukum,memiliki prejudice dalam mekansimenya, dan menciptakan tindakan
diskriminatif baik disadari maupun tidak, dan oleh karenanya konstitusional.
Sebelum Datul
melayangkan surat permohonan tersebut, penulis sempat berdiskusi melalui
platform media sosial tentang wacana ini. Hadirnya wacana ini menurut penulis
merupakan suatu kemajuan yang luar biasa. Active Citizen kini mulai bergerak
dan turut ambil bagian dalam proses demokrasi Universitas Indonesia. Sehingga,
demokrasi tidak hanya berhenti pada tataran elektoral-formal dalam pemilihan tahunan elit kampus, yang
bahkan semakin minim atensi. Penulis dan Datul memiliki kesamaan pandangan
mengenai relevansi status keanggotaan IKM yang perlu ditinjau kembali. Sebelumnya,
penulis sempat menyinggung permasalahan ini dalam kajian “Ospek dan Pedagogi
Kritis” (bit.ly/KAJIANPSAK).
Permasalahan
mengenai status keanggotaan IKM aktif dan biasa bukanlah persoalan baru.
Resistensi terhadapnya pun bukan pula hal baru. Bahkan permasalahan ini sempat
bertahun-tahun tidak pernah menjadi concern atau bahkan diabaikan oleh
mahasiswa FISIP selama bertahun-tahun. Menurut hemat penulis, terdapat dua hal
yang dapat menjadi penyebab terabaikannya status keanggotaan IKM FISIP
tersebut. Pertama, dugaan bahwa masyarakat FISIP yang sudah berpikir lebih maju.
Kedua, ketidaksiapan pelaksanaan atas sistem yang dibangun, dalam ini PDDK
FISIP UI (Konstitusi Kemahasiswaan FISIP sebelum UUD KM FISIP UI). Kedua sebab
tersebut memang jelas berbeda. Namun hasilnya adalah fenomena yang sama,
pengabaian status keanggotaan IKM FISIP UI.
Dalam sebuah
forum diskusi pengurus lembaga kampus lintas generasi, penulis pernah
menyampaikan sebuah pertanyaan fundamental, “Mengapa mahasiswa FISIP harus berstatus
IKM aktif?”. Pada saat itu penulis merasa belum mendapatkan jawaban yang
memuaskan kecuali sebuah asumsi lama dan patut dipertanyakan kembali
penalarannya. Mahasiswa yang masuk dianggap sebagai mahasiswa yang belum
memenuhi standard KM FISIP UI. Oleh sebab itu mahasiswa baru diharuskan melalui
program pembinaan baik di tingkat fakultas maupun di tingkat jurusan. Setelah
mengikuti program tersebut, mahasiswa kemudian dinyatakan lulus dan memenuhi
standard KM FISIP UI. Tentu saja jawaban tersebut tidak dapat penulis terima
bulat-bulat. Penulis merasa banyak sekali ruang asumtif yang terlalu menganggap
remeh status quo dari masing-masing individu. Lagipula, perspektif tersebut
merupakan perspektif elit yang bisa dibilang sangat lembaga-sentris seiring
dengan dibentuknya UUD KM FISIP UI pada tahun 2016.
Barangkali ini
adalah salah satu masalah yang ditimbulkan sebab pembentukan UUD KM FISIP UI yang
cukup cepat dan tidak melibatkan publik secara luas. Perspektif yang terbangun
cukup lembaga-sentris dan tidak didasari oleh riset yang melibatkan publik
secara luas. Penulis cukup memahami kondisi pada saat itu yang serba terbatas
untuk membuat ini-itu. Namun, mempertahankan situasi tanpa memperbaiki apapun
juga bukan sebuah kemajuan. Tahun 2017 penulis rasa cukup menjadi masa
percobaan dijalankan UUD KM FISIP UI. Apa yang dapat dipertahankan dan bagus
untuk dijalankan sangat relevan untuk terus didukung. Namun yang tidak semestinya
terbuka untuk dibenahi. Kemudian, apa dan bagaimana yang harus dibenahi?
Meninjau Kembali Landasan Hukum
Jika kita
mengacu kepada lanadasan konstitusional Indonesia, dalam Undang-Undang Dasar
1945 pasal 28 E ayat 3, dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Landasan ini memberikan
sebuah acuan yang jelas bahwa kebebasan individu untuk berserikat , berkumpul
dan mengeluarkan pendapat adalah sesuatu yang dijamin dan tidak dapat
didiskriminasi. Sementara itu, dalam pasal 28 I ayat 2 disebutkan bahwa “Setiap
orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.”Hal ini tentunya menjadi landasan yang jelas dan tegas untuk diturunkan
kepada berbagai aturan hukum yang berlaku di berbagai tingkatan di bawahnya
bahwa kebebasan untuk berorganisasi tidak dapat didiskriminasi dan negara
menjamin perlindungan terhadap diskriminasi itu.
Dalam
peraturan yang mewadahi dilaksanakannya pendidikan tinggi, kita perlu mengacu
kepada Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Dalam
UU Dikti pasal 14 ayat 1 disebutkan bahwa “Mahasiswa mengembangkan bakat,
minat, dan kemampuan dirinya melalui kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler
sebagai bagian dari proses Pendidikan.” Hal ini menunjukkan bahwa di luar
kegiatan kurikuler, setiap mahasiswa berhak untuk mengakses kegiatan
kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagai bagian dari proses kegiatan pendidikan
yang dapat berupa organisasi kemahasiswaan (berdasarkan ayat berikutnya dari
pasal yang sama). Ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini diturunkan dalam
statuta universitas. Dalam konteks Universitas Indonesia, statuta diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2013.
Statuta Universitas
Indonesia merupakan landasan konstitusional yang berlaku di Universita
Indonesia. Seperti halnya UUD 1945 sebagai landasan konstitusional berjalannya
suatu negara, Statuta UI yang dikukuhkan dalam PP 68 Tahun 2013 menjadi pedoman
kehidupan tata kelola Universitas Indonesia. Dalam statuta UI, hak
berorganisasi mahasiswa diatur dalam pasal 48 ayat 1 poin c yaitu “membentuk
organisasi kemahasiswaan dan mendapatkan dukungan sarana dan prasarana serta
dana untuk mendukung kegiatan organisasi kemahasiswaan tersebut.” Pedoman ini
kemudian diturunkan dalam beberapa peraturan seperti Peraturan Majelis Wali
Amanat Universitas Indonesia Nomor 004/Peraturan/MWA-UI/2015 tentang Anggaran
Rumah Tangga Universitas Indonesia. Mengacu kepada peraturan tersebut, pada pasal
84 ayat 1, hak mahasiswa disebutkan “membentuk dan ikut serta dalam kegiatan
organisasi kemahasiswaan.” Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan atau
keikutsertaan setiap mahasiswa dalam sebuah organisasi adalah menjadi suatu hak
yang dapat mereka terima.
Pada
tataran berikutnya, kegiatan kemahasiswaan diatur dalam Keputusan Rektor
Universitas Indonesia No. 1952/SK/R/UI/2014 tentang perbaikan keputusan rektor
Universitas Indonesia No. 1465/SK/R/UI/2008 tentang Organisasi dan Tata Laksana
Kemahasiswaan Universitas Indonesia. Dalam peraturan tersebut, khususnya pada
pasal 6 disebutkan bahwa “Kaderisasi dan pembinaan di tiap-tiap organisasi
kemahasiswaan yang berada di Universitas Indonesia merupakan tanggung jawab
setiap organisasi tersebut.” Artinya, terdapat ruang yang cukup kosong untuk
diinterpretasikan oleh elit lembaga kampus dengan memberlakukan sistem ikm
aktif dan ikm biasa. Padahal, jika mengacu kepada peraturan-peraturan di
atasnya, keikutsertaan setiap mahasiswa dalam lembaga-lembaga yang bernaung di
dalam IKM UI maupun IKM FISIP UI adalah sebuah hak yang melekat di setiap
mahasiswa. Sehingga, aturan atau birokrasi mengenai sistem yang membedakan
status tersebut dikarenakan keikutsertaan dan penilaiannya dalam kegiatan
pembinaan adalah sebuah penggunaan kekuasaan yang keliru.
Berdasarkan
UUD KM FISIP UI, kegiatan pembinaan memiliki empat tujuan, yaitu : (1)
memperkenalkan mahasiswa baru mengenai KM FISIP UI , (2) memberikan pemahaman
bagi mahasiwa baru mengenai UUD KM FISIP UI dan peraturan-peraturan lainnya,
(3) membantu mahasiswa baru untuk beradaptasi dengan lingkungan kampus FISIP
UI, dan (4) mengembangkan potensi-potensi yang terdapat pada mahasiswa baru.
Akan tetapi, dengan tujuan-tujuan itu kemudian mengapa harus melahirkan
konsekuensi berupa stratifikasi dalam bentuk anggota aktif dan anggota biasa KM
FISIP UI. Dalam peraturan ini, pembedaan anggota aktif dan anggota biasa terletak
pada hak-haknya yang diatur dalam pasal 11 UUD KM FISIP UI yaitu Hak anggota
biasa KM FISIP UI sama dengan anggota aktif kecuali : (1) Hak untuk dipilih
dalam Pemira FISIP UI dan (2) Hak berpartisipasi sebagai pengurus BEM FISIP
UI, BPM FISIP UI, HMD, dan UKMF BO. Hal ini tentunya secara mendasar
bertentangan dengan azas-azas Hak Asasi Manusia mengenai Hak untuk berserikat.
Selain itu hal ini juga terlihat bertentangan dengan tujuan dari pembinaan itu
sendiri, yaitu mengembangkan potensi potensi yang terdapat pada mahasiswa baru
sebagaimana disebutkan pada pasal 76 ayat 4 UUD KM FISIP UI.
Praksis
Membahas UUD
KM FISIP UI disertai dengan konteks pembentukannya yang menggunakan perspektif
lembaga-sentris bagaimanapun menuai berbagai reaksi. Tak terkecuali sikap abai
atau bahkan menentang. Saya mengajak kita untuk berandai-andai, Bagaimana kalau mahasiswa baru membuat sebuah konsensus
untuk memilih berstatus IKM tidak aktif? Dalam tataran kongkretnya bisa saja
mereka tidak mengikuti kegiatan-kegiatan pengenalan kehidupan kampus seperti
PSAK FISIP UI maupun Orientasi Jurusan dengan mengambil jalan boikot.
Konsekuensi dari boikot tersebut dalam
tataran kemahasiswaan, jika mengacu kepada UUD KM FISIP UI berarti hilangnya
status IKM aktif bagi mahasiswa tersebut. Dalam jumlah banyak melalui boikot
yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut tentunya akan membuat para elit lembaga
menjadi pening. Kebijakan yang disusunnya ternyata menjadi backfire yang bedampak pada krisis sumber daya organisasi internal
kampus.
Pembacaan
terhadap masalah ini tentunya perlu membaca dengan cermat perubahan situasi
kemahasiswaan saat ini. Para elit kampus perlu mempertimbangkan alternatif
kegiatan di luar kampus yang begitu mudah diakses pada saat ini seperti AISEC,
FPCI, dan berbagai jenis kegiatan volunteer lainnya, serta kegiatan magang yang
dinilai lebih menjanjikan bagi perkembangan karir di dunia professional.
Situasi ini menuntut para elit kampus mempertimbangkan efektifitas sistem yang
dibangunnya dengan membaca pola perilaku mahasiswa pada saat ini. Secara
sederhana, pesan ini dapat diterjemahkan ke dalam kalimat, “Jangan terlalu jual
mahal lah, nanti ngga laku.”
Jika pola
pikir skeptis terhadap pilihan terhadap lembaga intra kampus semakin kuat,
sejalan dengan hal tersebut, pola pikir terhadap status aktif IKM sebagai
“barang jualan” panitia penyelenggara agar acaranya diikuti oleh mahasiswa baru
juga semakin tidak relevan. Pola pikir skeptis tersebut menuntut panitia
penyelenggara untuk terus-menerus berinovasi agar kegiatan pengenalan mahasiswa
baru memang menjadi kegiatan yang mereka butuhkan.
Skeptisme ini
semakin diperkuat dengan adanya pemikiran-pemikiran yang mempertanyakan jaminan
manfaat apa yang akan didapatkan oleh setiap mahasiswa yang mengikuti kegiatan
mahasiswa baru. Tidak semua mahasiswa yang mengikuti kegiatan pengenalan
kehidupan kampus akan menjadi mahasiswa yang aktif di kemudian hari. Hal
tersebut nyata terjadi dalam kasus L (22 tahun) dan R (22 tahun). R mengikuti
kegiatan orientasi mahasiswa baru. Namun di kemudian hari, hingga 4 tahun
kemudian, R jarang sekali terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus.
Sedangkan L yang tidak mengikuti kegiatan orientasi mahasiswa yang berarti
tidak berstatus IKM aktif bahkan hingga kini sangat aktif berkontribusi dalam
berbagai kegiatan kemahasiswaan di kampus. Kasus ini menjadi contoh bahwa
kegiatan pengenalan kehidupan kampus tidak semata-mata memberikan jaminan, yang
juga berarti tidak memiliki legitimasi yang cukup kuat untuk melarang
kontribusi setiap orang yang tidak mengikuti kegiatan pengenalan kehidupan
kampus di kemudian hari melalui birokrasi status IKM aktif dan IKM biasa.
Kesimpulan
Analisis yang
telah dijabarkan di atas mengindikasikan potensi munculnya berbagai masalah
baik dari aspek filosofis legal-formal maupun pada tataran praksis. Secara
aspek filosofis legal-formal, birokrasi dan aturan, dalam konteks ini UUD KM
FISIP UI berpotensi menciderai hak-hak mahasiswa yang merupakan turunan dari
hak azasi manusia berupa hak untuk berserikat. UUD KM FISIP UI berpotensi
bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku di atasnya seperti
Keputusan Rektor, Peraturan MWA, Statuta UI, UU Dikti, hingga UUD 1945.
Sedangkan dari
segi praksis, UUD KM FISIP UI memiliki potensi timbulnya masalah berupa backfire bagi setiap lembaga yang
bernaung di dalam KM FISIP UI. Hal tersebut dikarenakan hak berpartisipasi
sebagai pengurus BEM FISIP UI, BPM FISIP UI, HMD, dan UKMF BO seorang mahasiswa dengan status IKM biasa
dicabut. Dalam konteks saat ini, fenomena backfire tersebut secara
kongkret memang belum terjadi. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan hal
tersebut akan terjadi seiring dengan cepatnya perkembangan akses informasi dan
alternatif kegiatan di luar organisasi intra kampus.
Menganggapi
permasalahan tersebut, diperlukan penyelesaian masalah yang tidak hanya sekedar
mekanisme penyelamatan jangka pendek atau memadamkan kebakaran. Akan tetapi
dibutuhkan suatu upaya antisipasi munculnya potensi masalah dengan membangun
sistem baru melalui revisi undang-undang dasar KM FISIP UI. Revisi UUD KM FISIP
UI mengenai sistem keanggotaan IKM bukanlah suatu sikap tidak terhormat
terhadap KM FISIP UI maupun UUD KM FISIP UI. Inisiasi revisi UUD KM FISIP UI
justru merupakan suatu sikap menghormati landasan konstitusional yang relevan
dengan perkembangan dan dinamika manusia yang hidup di dalamnya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar