Senin, 29 Oktober 2018

STATUS IKM AKTIF FISIP UI : MASIHKAH RELEVAN?


Pendahuluan

Akhir-akhir ini, Universitas Indonesia sempat sedikit dihebohkan dengan wacana tuntutan penghapusan sistem kenggotaan aktif dan biasa IKM UI  oleh seorang mahasiswa Fasilkom, Hidayatul Fikri (Fasilkom UI 2017) atau yang akrab disapa Datul. Datul tidak sendiri, wacana ini diangkatnya bersama Zico, salah seorang mahasiswa FH UI yang sempat meramaikan jagat media nasional berkat peranannya mengajukan Judicial Review UU MD3 melalui surat permohonan kepada kongres mahasiswa UI. Melalui tagar #SemuaBerhakSama, Datul dan Zico mendorong mahasiswa UI secara luas untuk mengkritisi kejanggalan-kejanggalan dalam UUD IKM UI khususnya terkait dengan status keanggotaan IKM UI yang dianggap tidak memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum,memiliki prejudice dalam mekansimenya, dan menciptakan tindakan diskriminatif baik disadari maupun tidak, dan oleh karenanya konstitusional.
Sebelum Datul melayangkan surat permohonan tersebut, penulis sempat berdiskusi melalui platform media sosial tentang wacana ini. Hadirnya wacana ini menurut penulis merupakan suatu kemajuan yang luar biasa. Active Citizen kini mulai bergerak dan turut ambil bagian dalam proses demokrasi Universitas Indonesia. Sehingga, demokrasi tidak hanya berhenti pada tataran elektoral-formal  dalam pemilihan tahunan elit kampus, yang bahkan semakin minim atensi. Penulis dan Datul memiliki kesamaan pandangan mengenai relevansi status keanggotaan IKM yang perlu ditinjau kembali. Sebelumnya, penulis sempat menyinggung permasalahan ini dalam kajian “Ospek dan Pedagogi Kritis” (bit.ly/KAJIANPSAK).
Permasalahan mengenai status keanggotaan IKM aktif dan biasa bukanlah persoalan baru. Resistensi terhadapnya pun bukan pula hal baru. Bahkan permasalahan ini sempat bertahun-tahun tidak pernah menjadi concern atau bahkan diabaikan oleh mahasiswa FISIP selama bertahun-tahun. Menurut hemat penulis, terdapat dua hal yang dapat menjadi penyebab terabaikannya status keanggotaan IKM FISIP tersebut. Pertama, dugaan bahwa masyarakat FISIP yang sudah berpikir lebih maju. Kedua, ketidaksiapan pelaksanaan atas sistem yang dibangun, dalam ini PDDK FISIP UI (Konstitusi Kemahasiswaan FISIP sebelum UUD KM FISIP UI). Kedua sebab tersebut memang jelas berbeda. Namun hasilnya adalah fenomena yang sama, pengabaian status keanggotaan IKM FISIP UI.
Dalam sebuah forum diskusi pengurus lembaga kampus lintas generasi, penulis pernah menyampaikan sebuah pertanyaan fundamental, “Mengapa mahasiswa FISIP harus berstatus IKM aktif?”. Pada saat itu penulis merasa belum mendapatkan jawaban yang memuaskan kecuali sebuah asumsi lama dan patut dipertanyakan kembali penalarannya. Mahasiswa yang masuk dianggap sebagai mahasiswa yang belum memenuhi standard KM FISIP UI. Oleh sebab itu mahasiswa baru diharuskan melalui program pembinaan baik di tingkat fakultas maupun di tingkat jurusan. Setelah mengikuti program tersebut, mahasiswa kemudian dinyatakan lulus dan memenuhi standard KM FISIP UI. Tentu saja jawaban tersebut tidak dapat penulis terima bulat-bulat. Penulis merasa banyak sekali ruang asumtif yang terlalu menganggap remeh status quo dari masing-masing individu. Lagipula, perspektif tersebut merupakan perspektif elit yang bisa dibilang sangat lembaga-sentris seiring dengan dibentuknya UUD KM FISIP UI pada tahun 2016.
Barangkali ini adalah salah satu masalah yang ditimbulkan sebab pembentukan UUD KM FISIP UI yang cukup cepat dan tidak melibatkan publik secara luas. Perspektif yang terbangun cukup lembaga-sentris dan tidak didasari oleh riset yang melibatkan publik secara luas. Penulis cukup memahami kondisi pada saat itu yang serba terbatas untuk membuat ini-itu. Namun, mempertahankan situasi tanpa memperbaiki apapun juga bukan sebuah kemajuan. Tahun 2017 penulis rasa cukup menjadi masa percobaan dijalankan UUD KM FISIP UI. Apa yang dapat dipertahankan dan bagus untuk dijalankan sangat relevan untuk terus didukung. Namun yang tidak semestinya terbuka untuk dibenahi. Kemudian, apa dan bagaimana yang harus dibenahi?

Meninjau Kembali Landasan Hukum

Jika kita mengacu kepada lanadasan konstitusional Indonesia, dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 E ayat 3, dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Landasan ini memberikan sebuah acuan yang jelas bahwa kebebasan individu untuk berserikat , berkumpul dan mengeluarkan pendapat adalah sesuatu yang dijamin dan tidak dapat didiskriminasi. Sementara itu, dalam pasal 28 I ayat 2 disebutkan bahwa “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”Hal ini tentunya menjadi landasan yang jelas dan tegas untuk diturunkan kepada berbagai aturan hukum yang berlaku di berbagai tingkatan di bawahnya bahwa kebebasan untuk berorganisasi tidak dapat didiskriminasi dan negara menjamin perlindungan terhadap diskriminasi itu.
Dalam peraturan yang mewadahi dilaksanakannya pendidikan tinggi, kita perlu mengacu kepada Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Dalam UU Dikti pasal 14 ayat 1 disebutkan bahwa “Mahasiswa mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan dirinya melalui kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagai bagian dari proses Pendidikan.” Hal ini menunjukkan bahwa di luar kegiatan kurikuler, setiap mahasiswa berhak untuk mengakses kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagai bagian dari proses kegiatan pendidikan yang dapat berupa organisasi kemahasiswaan (berdasarkan ayat berikutnya dari pasal yang sama). Ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini diturunkan dalam statuta universitas. Dalam konteks Universitas Indonesia, statuta diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2013.
Statuta Universitas Indonesia merupakan landasan konstitusional yang berlaku di Universita Indonesia. Seperti halnya UUD 1945 sebagai landasan konstitusional berjalannya suatu negara, Statuta UI yang dikukuhkan dalam PP 68 Tahun 2013 menjadi pedoman kehidupan tata kelola Universitas Indonesia. Dalam statuta UI, hak berorganisasi mahasiswa diatur dalam pasal 48 ayat 1 poin c yaitu “membentuk organisasi kemahasiswaan dan mendapatkan dukungan sarana dan prasarana serta dana untuk mendukung kegiatan organisasi kemahasiswaan tersebut.” Pedoman ini kemudian diturunkan dalam beberapa peraturan seperti Peraturan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Nomor 004/Peraturan/MWA-UI/2015 tentang Anggaran Rumah Tangga Universitas Indonesia. Mengacu kepada peraturan tersebut, pada pasal 84 ayat 1, hak mahasiswa disebutkan “membentuk dan ikut serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan.” Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan atau keikutsertaan setiap mahasiswa dalam sebuah organisasi adalah menjadi suatu hak yang dapat mereka terima.
                Pada tataran berikutnya, kegiatan kemahasiswaan diatur dalam Keputusan Rektor Universitas Indonesia No. 1952/SK/R/UI/2014 tentang perbaikan keputusan rektor Universitas Indonesia No. 1465/SK/R/UI/2008 tentang Organisasi dan Tata Laksana Kemahasiswaan Universitas Indonesia. Dalam peraturan tersebut, khususnya pada pasal 6 disebutkan bahwa “Kaderisasi dan pembinaan di tiap-tiap organisasi kemahasiswaan yang berada di Universitas Indonesia merupakan tanggung jawab setiap organisasi tersebut.” Artinya, terdapat ruang yang cukup kosong untuk diinterpretasikan oleh elit lembaga kampus dengan memberlakukan sistem ikm aktif dan ikm biasa. Padahal, jika mengacu kepada peraturan-peraturan di atasnya, keikutsertaan setiap mahasiswa dalam lembaga-lembaga yang bernaung di dalam IKM UI maupun IKM FISIP UI adalah sebuah hak yang melekat di setiap mahasiswa. Sehingga, aturan atau birokrasi mengenai sistem yang membedakan status tersebut dikarenakan keikutsertaan dan penilaiannya dalam kegiatan pembinaan adalah sebuah penggunaan kekuasaan yang keliru.
Berdasarkan UUD KM FISIP UI, kegiatan pembinaan memiliki empat tujuan, yaitu : (1) memperkenalkan mahasiswa baru mengenai KM FISIP UI , (2) memberikan pemahaman bagi mahasiwa baru mengenai UUD KM FISIP UI dan peraturan-peraturan lainnya, (3) membantu mahasiswa baru untuk beradaptasi dengan lingkungan kampus FISIP UI, dan (4) mengembangkan potensi-potensi yang terdapat pada mahasiswa baru. Akan tetapi, dengan tujuan-tujuan itu kemudian mengapa harus melahirkan konsekuensi berupa stratifikasi dalam bentuk anggota aktif dan anggota biasa KM FISIP UI. Dalam peraturan ini, pembedaan anggota aktif dan anggota biasa terletak pada hak-haknya yang diatur dalam pasal 11 UUD KM FISIP UI yaitu Hak anggota biasa KM FISIP UI sama dengan anggota aktif kecuali : (1) Hak untuk dipilih dalam Pemira FISIP UI dan (2) Hak berpartisipasi sebagai pengurus BEM FISIP UI, BPM FISIP UI, HMD, dan UKMF BO. Hal ini tentunya secara mendasar bertentangan dengan azas-azas Hak Asasi Manusia mengenai Hak untuk berserikat. Selain itu hal ini juga terlihat bertentangan dengan tujuan dari pembinaan itu sendiri, yaitu mengembangkan potensi potensi yang terdapat pada mahasiswa baru sebagaimana disebutkan pada pasal 76 ayat 4 UUD KM FISIP UI.

Praksis

Membahas UUD KM FISIP UI disertai dengan konteks pembentukannya yang menggunakan perspektif lembaga-sentris bagaimanapun menuai berbagai reaksi. Tak terkecuali sikap abai atau bahkan menentang. Saya mengajak kita untuk berandai-andai,  Bagaimana kalau mahasiswa baru membuat sebuah konsensus untuk memilih berstatus IKM tidak aktif? Dalam tataran kongkretnya bisa saja mereka tidak mengikuti kegiatan-kegiatan pengenalan kehidupan kampus seperti PSAK FISIP UI maupun Orientasi Jurusan dengan mengambil jalan boikot. Konsekuensi dari boikot  tersebut dalam tataran kemahasiswaan, jika mengacu kepada UUD KM FISIP UI berarti hilangnya status IKM aktif bagi mahasiswa tersebut. Dalam jumlah banyak melalui boikot yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut tentunya akan membuat para elit lembaga menjadi pening. Kebijakan yang disusunnya ternyata menjadi backfire yang bedampak pada krisis sumber daya organisasi internal kampus.
Pembacaan terhadap masalah ini tentunya perlu membaca dengan cermat perubahan situasi kemahasiswaan saat ini. Para elit kampus perlu mempertimbangkan alternatif kegiatan di luar kampus yang begitu mudah diakses pada saat ini seperti AISEC, FPCI, dan berbagai jenis kegiatan volunteer lainnya, serta kegiatan magang yang dinilai lebih menjanjikan bagi perkembangan karir di dunia professional. Situasi ini menuntut para elit kampus mempertimbangkan efektifitas sistem yang dibangunnya dengan membaca pola perilaku mahasiswa pada saat ini. Secara sederhana, pesan ini dapat diterjemahkan ke dalam kalimat, “Jangan terlalu jual mahal lah, nanti ngga laku.”
Jika pola pikir skeptis terhadap pilihan terhadap lembaga intra kampus semakin kuat, sejalan dengan hal tersebut, pola pikir terhadap status aktif IKM sebagai “barang jualan” panitia penyelenggara agar acaranya diikuti oleh mahasiswa baru juga semakin tidak relevan. Pola pikir skeptis tersebut menuntut panitia penyelenggara untuk terus-menerus berinovasi agar kegiatan pengenalan mahasiswa baru memang menjadi kegiatan yang mereka butuhkan.
Skeptisme ini semakin diperkuat dengan adanya pemikiran-pemikiran yang mempertanyakan jaminan manfaat apa yang akan didapatkan oleh setiap mahasiswa yang mengikuti kegiatan mahasiswa baru. Tidak semua mahasiswa yang mengikuti kegiatan pengenalan kehidupan kampus akan menjadi mahasiswa yang aktif di kemudian hari. Hal tersebut nyata terjadi dalam kasus L (22 tahun) dan R (22 tahun). R mengikuti kegiatan orientasi mahasiswa baru. Namun di kemudian hari, hingga 4 tahun kemudian, R jarang sekali terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus. Sedangkan L yang tidak mengikuti kegiatan orientasi mahasiswa yang berarti tidak berstatus IKM aktif bahkan hingga kini sangat aktif berkontribusi dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan di kampus. Kasus ini menjadi contoh bahwa kegiatan pengenalan kehidupan kampus tidak semata-mata memberikan jaminan, yang juga berarti tidak memiliki legitimasi yang cukup kuat untuk melarang kontribusi setiap orang yang tidak mengikuti kegiatan pengenalan kehidupan kampus di kemudian hari melalui birokrasi status IKM aktif dan IKM biasa.

Kesimpulan

Analisis yang telah dijabarkan di atas mengindikasikan potensi munculnya berbagai masalah baik dari aspek filosofis legal-formal maupun pada tataran praksis. Secara aspek filosofis legal-formal, birokrasi dan aturan, dalam konteks ini UUD KM FISIP UI berpotensi menciderai hak-hak mahasiswa yang merupakan turunan dari hak azasi manusia berupa hak untuk berserikat. UUD KM FISIP UI berpotensi bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku di atasnya seperti Keputusan Rektor, Peraturan MWA, Statuta UI, UU Dikti, hingga UUD 1945.
Sedangkan dari segi praksis, UUD KM FISIP UI memiliki potensi timbulnya masalah berupa backfire bagi setiap lembaga yang bernaung di dalam KM FISIP UI. Hal tersebut dikarenakan hak berpartisipasi sebagai pengurus BEM FISIP UI, BPM FISIP UI, HMD, dan UKMF BO seorang mahasiswa dengan status IKM biasa dicabut. Dalam konteks saat ini, fenomena backfire tersebut secara kongkret memang belum terjadi. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan terjadi seiring dengan cepatnya perkembangan akses informasi dan alternatif kegiatan di luar organisasi intra kampus.
                Menganggapi permasalahan tersebut, diperlukan penyelesaian masalah yang tidak hanya sekedar mekanisme penyelamatan jangka pendek atau memadamkan kebakaran. Akan tetapi dibutuhkan suatu upaya antisipasi munculnya potensi masalah dengan membangun sistem baru melalui revisi undang-undang dasar KM FISIP UI. Revisi UUD KM FISIP UI mengenai sistem keanggotaan IKM bukanlah suatu sikap tidak terhormat terhadap KM FISIP UI maupun UUD KM FISIP UI. Inisiasi revisi UUD KM FISIP UI justru merupakan suatu sikap menghormati landasan konstitusional yang relevan dengan perkembangan dan dinamika manusia yang hidup di dalamnya.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall