KATA PENGANTAR
Memanusiakan
manusia, menjadi terminologi yang cukup meluas dipergunakan oleh banyak
kalangan dalam rangka mencapai cita-cita besar, kemanusiaan yang adil dan
beradab. Di balik terminologi tersebut tersirat makna berbentuk upaya-upaya
melepaskan situasi yang tidak manusiawi. Meskipun hingga titik ini, saya yakin
kita belum memiliki big deal kemanusiaan macam apa yang dimaksud dan sampai
batas mana kemanusiaan itu dilanggar. Divergensi pemaknaan tersebut tentunya
perlu dijawab dengan mengetuk nurani kita masing-masing, apakah layak untuk
dilakukan atau tidak.
Secara
wajar, anda berhak bertanya, melalui motivasi apa saya di tengah dinamika tugas akhir berupaya
untuk menyelesaikan kajian ini? Jawabannya adalah motivasi internal yang
didasari oleh penyesalan pernah menjadi pelaksana Pekan Taaruf Siswa(PTS) MAN
Insan Cendekia Serpong, yang meskipun dalam konteks berbeda, tetapi menerapkan
metode yang serupa. Saya pernah menjadi anggota bidang tata tertib dan juga
penanggung jawab acara pekan pengenalan tersebut yang pernah melakukan
normalisasi kekerasan dengan memberlakukan push
up dan bentuk-bentuk kekerasan verbal atau simbolik lainnya. Saya mencoba
mempertanyakan kepada pihak-pihak terkait yang mendefinisikan tupoksi saya pada
saat itu. Akan tetapi, alasan-alasan dan argumen yang dikemukakan hingga saat
ini belum bisa diterima oleh nalar saya. Kepada orang-orang yang barangkali
pernah merasa kekerasan dilakukan oleh saya, saya memohon maaf atas kesalahan
saya.
Dalam
kehidupan kampus, saya juga melihat adanya kekerasan meskipun dalam konteks ini
tidak berarti pukulan atau tendangan dalam pelaksanaan Pengenalan Kehidupan Kampus,
dalam konteks ini PSAK FISIP UI. Wacana yang memperdebatkan masalah ini sempat
mencuat ke permukaan pada tahun 2017, dan salah satu aktor yang melawan
bentuk-bentuk kekerasan dalam PSAK adalah kawan saya sendiri, Dhuha Ramadhani
(Kriminologi 2013). Penulis pernah mengatakan sama sekali tidak menolak idenya,
namun saya merasa ada cara-cara yang lebih baik, dengan tidak menyerah untuk
tetap memperjuangkan ini di dalam struktur. Meskipun pada akhirnya saya
menyadari dengan kapasitas saya pada saat itu, saya pun tidak mampu
menghapuskan praktek-praktek yang menjadi keresahan Dhuha Ramadhani.
Namun,
sebagai sebuah pertanggungjawaban saya sebagai manusia, saya memilih untuk
tidak bungkam dan membiarkan hal tersebut terus-menerus terjadi. Saya berusaha,
dengan kapasitas saya saat ini untuk mencegah perilaku-perilaku tidak manusiawi
dalam pengenalan kehidupan kampus. Bagi saya, ini adalah tugas kemanusiaan,
dengan memanusiakan manusia, menuju kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kepada
siapapun yang membaca kajian ini, saya memohon maaf atas kelemahan-kelemahan
penalaran saya dalam memahami masalah, baik secara teknis, teoritis maupun
praksis. Saya juga ingin menyatakan
meskipun unit analisis pada kajian ini adalah PSAK FISIP UI, bukan berarti
kritik ini tidak saya tujukan kepada seluruh program pengenalan kehidupan
kampus baik di tingkat jurusan, fakultas lain, maupun UI bahkan perguruan
tinggi lain. Praktek-praktek kekerasan dalam bentuk serupa dengan bahasan pada
kajian ini adalah bentuk-bentuk kekerasan yang saya lawan. Dan dalam menanggapi
hal ini, saya bersedia untuk diajak berdiskusi dan sama-sama mencari solusi
dari permasalahan ini baik dalam wicara maupun aksara.
Terakhir,
saya ingin bertanya kepada kita semua dengan mengutip sajak WS Rendra:
Kita
disini dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu
yang diajarkan disini akan menjadi
Alat
pembebasan ataukah alat penindasan?
(WS
Rendra)
KAJIAN INI DAPAT DIAKSES MELALUI :
bit.ly/KAJIANPSAK
Tidak ada komentar
Posting Komentar