Minggu, 16 September 2018

OSPEK DAN PEDAGOGI KRITIS (KAJIAN TERHADAP PELAKSANAAN PSAK FISIP UI)



KATA PENGANTAR

Memanusiakan manusia, menjadi terminologi yang cukup meluas dipergunakan oleh banyak kalangan dalam rangka mencapai cita-cita besar, kemanusiaan yang adil dan beradab. Di balik terminologi tersebut tersirat makna berbentuk upaya-upaya melepaskan situasi yang tidak manusiawi. Meskipun hingga titik ini, saya yakin kita belum memiliki big deal kemanusiaan macam apa yang dimaksud dan sampai batas mana kemanusiaan itu dilanggar. Divergensi pemaknaan tersebut tentunya perlu dijawab dengan mengetuk nurani kita masing-masing, apakah layak untuk dilakukan atau tidak.

Secara wajar, anda berhak bertanya, melalui motivasi apa  saya di tengah dinamika tugas akhir berupaya untuk menyelesaikan kajian ini? Jawabannya adalah motivasi internal yang didasari oleh penyesalan pernah menjadi pelaksana Pekan Taaruf Siswa(PTS) MAN Insan Cendekia Serpong, yang meskipun dalam konteks berbeda, tetapi menerapkan metode yang serupa. Saya pernah menjadi anggota bidang tata tertib dan juga penanggung jawab acara pekan pengenalan tersebut yang pernah melakukan normalisasi kekerasan dengan memberlakukan push up dan bentuk-bentuk kekerasan verbal atau simbolik lainnya. Saya mencoba mempertanyakan kepada pihak-pihak terkait yang mendefinisikan tupoksi saya pada saat itu. Akan tetapi, alasan-alasan dan argumen yang dikemukakan hingga saat ini belum bisa diterima oleh nalar saya. Kepada orang-orang yang barangkali pernah merasa kekerasan dilakukan oleh saya, saya memohon maaf atas kesalahan saya.

Dalam kehidupan kampus, saya juga melihat adanya kekerasan meskipun dalam konteks ini tidak berarti pukulan atau tendangan dalam pelaksanaan Pengenalan Kehidupan Kampus, dalam konteks ini PSAK FISIP UI. Wacana yang memperdebatkan masalah ini sempat mencuat ke permukaan pada tahun 2017, dan salah satu aktor yang melawan bentuk-bentuk kekerasan dalam PSAK adalah kawan saya sendiri, Dhuha Ramadhani (Kriminologi 2013). Penulis pernah mengatakan sama sekali tidak menolak idenya, namun saya merasa ada cara-cara yang lebih baik, dengan tidak menyerah untuk tetap memperjuangkan ini di dalam struktur. Meskipun pada akhirnya saya menyadari dengan kapasitas saya pada saat itu, saya pun tidak mampu menghapuskan praktek-praktek yang menjadi keresahan Dhuha Ramadhani.

Namun, sebagai sebuah pertanggungjawaban saya sebagai manusia, saya memilih untuk tidak bungkam dan membiarkan hal tersebut terus-menerus terjadi. Saya berusaha, dengan kapasitas saya saat ini untuk mencegah perilaku-perilaku tidak manusiawi dalam pengenalan kehidupan kampus. Bagi saya, ini adalah tugas kemanusiaan, dengan memanusiakan manusia, menuju kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kepada siapapun yang membaca kajian ini, saya memohon maaf atas kelemahan-kelemahan penalaran saya dalam memahami masalah, baik secara teknis, teoritis maupun praksis.  Saya juga ingin menyatakan meskipun unit analisis pada kajian ini adalah PSAK FISIP UI, bukan berarti kritik ini tidak saya tujukan kepada seluruh program pengenalan kehidupan kampus baik di tingkat jurusan, fakultas lain, maupun UI bahkan perguruan tinggi lain. Praktek-praktek kekerasan dalam bentuk serupa dengan bahasan pada kajian ini adalah bentuk-bentuk kekerasan yang saya lawan. Dan dalam menanggapi hal ini, saya bersedia untuk diajak berdiskusi dan sama-sama mencari solusi dari permasalahan ini baik dalam wicara maupun aksara.

Terakhir, saya ingin bertanya kepada kita semua dengan mengutip sajak WS Rendra:

Kita disini dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu yang diajarkan disini akan menjadi
Alat pembebasan ataukah alat penindasan?
(WS Rendra)


KAJIAN INI DAPAT DIAKSES MELALUI :

bit.ly/KAJIANPSAK

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall