Saya
memulai tulisan ini dengan sebuah pertanyaan, “Apa kabar gerakan mahasiswa hari
ini?”. Pertanyaan yang cukup sulit dijawab dan hanya berujung pada kesimpulan seolah-olah
gerakan mahasiswa sudah mengalami titik jenuh pasca peristiwa reformasi 98 yang
dianggap sebagai titik puncak eksistensi gerakan mahasiswa. Eksistensi tersebut
tentunya membentuk obligasi moral kepada para aktivis senior untuk terus
mengkader adik-adik mereka di kampus dengan mereproduksi jargon-jargon
romantisme gerakan mahasiswa seperti agent
of change, moral force, social control, dan iron stock.
Dalam
membaca gerakan mahasiswa hari ini kita perlu sedikit lebih kritis dan
reflektif. Kita perlu mempertanyakan relevansi gerakan mahasiswa seperti yang
telah didengung-dengungkan oleh para aktivis senior dengan basis realitas
gerakan mahasiswa hari ini. Dan tentunya kita juga perlu meninjau ulang untuk
merumuskan gerakan seperti apa yang kita anggap ideal untuk dilakukan oleh
mahasiswa pada saat ini. Berkaitan
dengan hal tersebut kita perlu membedah terlebih dahulu
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan gerakan mahasiswa hari ini.
Pada
saat ini kita seringkali menemui gerakan-gerakan mahasiswa yang sangat reaktif,
spontan, responsif. Dalam berbagai wacana populer, kita sering menemukan
aksi-aksi mahasiswa yang sangat spontan dan reaktif namun kerapkali tak
menyasar pada substansi permasalahan yang hendak diselesaikan. Gerakan-gerakan
tersebut terbentuk karena mentalitas heroik yang kerapkali membuat mahasiswa
merasa paling memahami masyarakat dan mencoba merumuskan
permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat dengan solusi yang justru
seringkali tidak solutif. Kerapkali kita temukan lembaga-lembaga eksekutif
mahasiswa bergerak dengan mengambil isu-isu besar dan populis yang
dikomodifikasi sebagai barang dagangan mereka hanya dengan mengandalkan
momentum. Padahal, jika tidak ada momentum gerakan tersebut bisa jadi tidak
masuk dalam prioritas masalah untuk diperjuangkan. Sehingga dapat dikatakan
mahasiswa berpikir
pragmatis, memperjuangkan suatu permasalahan hanya untuk mendongkrak eksistensi
mereka sebagai lembaga.
Dalam
rangka memahami gerakan mahasiswa tentunya kita tidak terlepas dari konstruksi
ilmu pengetahuan dan kerangka akademik. Gerakan mahasiswa dikategorikan sebagai
bagian dari gerakan sosial. Charles Tilly mendefinisikan gerakan sosial dengan sustained
series of interactions between power holders and persons successfully claiming
to speak on behalf of a constituency lacking formal representation, in the
course of which those persons make publicly visible demands for changes in the
distribution or exercise of power, and back those demands with public
demonstrations of support.[1]Melalui definisi ini, kita dapat membaca secara umum Tilly berpandangan
bahwa gerakan sosial merupakan sesuatu yang terorganisir, berkelanjutan,
menolak self-consiusness, dan terdapat kesamaan identitas. Sebagai
sebuah gerakan sosial tentunya gerakan mahasiswa seharusnya memiliki sebuah
bentuk yang tegas sebagaimana yang digambarkan oleh Tilly. Gerakan mahasiswa
perlu dilakukan secara terorganisir, berkelanjutan, dan menolak self-consiusness, dengan kesadaran akan
kesamaan identitas sebagai bagian dari rakyat.
Membaca Kembali Sejarah dan
Dekonstruksi Gerakan Mahasiswa
Kondisi
dan pandangan terhadap gerakan mahasiswa hari ini tentunya terjadi secara
historis. Artinya, wujud dan kondisi gerakan mahasiswa tidak serta-merta
terbentuk begitu saja melainkan melalui proses menyejarah yang sangat panjang.
Dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia, tentunya kita tidak bisa melepaskan
momentum-momentum bersejarah yang dikenang hingga kini. Peristiwa-peristiwa
bersejarah seperti penggulingan rezim orde lama yang terjadi pada tahun 1966,
Malari pada tahun 1974, NKK-BKK pada tahun 1978 dan reformasi pada tahun 1998
merupakan peristiwa-peristiwa yang kerapkali digaungkan sebagai bukti
eksistensi peran dan kekuatan mahasiswa dalam proses perubahan bangsa.
Peristiwa-peristiwa tersebut memang kerapkali dikenang sebagai peristiwa heroik
mahasiswa. Akan tetapi, seringkali dilupakan peristiwa malari 1974 dan NKK-BKK
merupakan pukulan besar bagi gerakan mahasiswa yang berdampak besar hingga hari
ini. Dalam studinya yang berjudul Kisah yang Tak Terungkap : Mahasiswa dalam
Pusaran Reformasi 1998, Rosidi Rizkiandi menggambarkan perjalanan gerakan
mahasiswa Indonesia secara detail melalui peristiwa-peristiwa yang disebutkan
di atas.
Akan
tetapi, peristiwa-peristiwa bersejarah tersebut sayangnya tidak dipelajari
secara cermat oleh mahasiswa pada hari ini. Alih-alih mempelajari konteks
permasalahan dan situasi sosial-politik yang terjadi secara holistik dan
mengkontekstualisasikannya dengan realitas hari ini, yang terjadi justru
hanyalah mitosisasi gerakan mahasiswa dengan mengagung-agungkan sejarah tersebut
secara heroik. Sehingga, yang terjadi hanyalah terjebak pada simbol-simbol
romantisme jargonistik seperti agent of
change, moral force, social control, dan iron stock. Pengagungan secara
heroik tersebut tentunya seringkali membuat mahasiswa terjebak pada pemahaman
bahwasanya mahasiswa adalah satu-satunya motor penggerak perubahan sosial.
Bukan bermaksud untuk mengkerdilkan eksistensi gerakan mahasiswa. Akan tetapi
apabila kita terus-menerus membiarkan mainset seperti itu terus-menerus
direproduksi, yang terjadi hanyalah membuat mahasiswa terjebak pada kebangaan
semu dan mitos-mitos yang ada dan justru mirisnya seringkali tidak merubah
keadaan apapun.
Dalam
mencermati permasalahan di atas, kita dapat belajar dari Jacques Derrida dengan
menggunakan metode dekonstruksi. Dalam konteks ini, jika Derrida melakukan
dekonstruksi oposisi terhadap filsafat barat, kita mendekonstruksi mitos-mitos
dan romantisme gerakan mahasiswa tersebut.
Dekonstruksi bisa dilakukan sebagai upaya pembongkaran, namun bukanlah
pembongkaran atau penghancuran yang berakhir dengan pandangan monisme atau
bahkan kekosongan.[2]
Akan tetapi, dekonstruksi menjadi sebuah upaya mencari pemikiran alternatif di
tengah-tengah nilai yang sudah ada. Artinya, dari pemahaman yang terjebak
romantisme heroik tentang mitos-mitos mahasiswa sebagai agent of change, moral force, social control, dan iron stock perlu
didekonstruksi dan dikontekstualisasikan dengan kondisi hari ini.
Dekonstruksi pemahaman atas
mitos-mitos tersebut bisa dipahami dengan membaca ulang konteks sejarah
eksisnya gerakan mahasiswa. Pasca pemberangusan PKI pada peristiwa Gestok 1965,
konsentrasi gerakan-gerakan rakyat seperti buruh dan petani semakin melemah.
PKI yang lekat dengan palu-arit sebagai simbol gerakan buruh dan petani seketika
menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat sehingga layak untuk diberangus.
Bahkan kekerasan terhadap setiap anggota maupun simpatisan PKI menjadi satu hal
yang lumrah.[3]
Kondisi tersebut membuat gerakan-gerakan buruh dan petani meredup atau bahkan
mati suri. Akibatnya, masyarakat tidak lagi terlalu ideologis, kehidupan
politik diarahkan agar terjadi konsensus, aktivitas partai politik dibatasi
tidak boleh sampai ke desa-desa, dan kepengurusan organisasi sosial politik
hanya terbatas sampai tingkat kabupaten atau kotamadya.[4]Mahasiswa sebagai salah
satu pendorong bergulingnya rezim mendapatkan tempat khusus pada masa Orde
Baru. Pemerintah Orde Baru mengakui pentingnya peran mahasiswa sebagai calon
intelektual atau lapisan terdidik yang dibutuhkan untuk mengisi jaringan
teknostruktur. Aksi-aksi protes mahasiswa memang tidak disukai pemerintah
karena dapat menimbulkan ‘aib’, tapi juga tidak sepenuhnya dilarang. Mahasiswa
boleh menyampaikan kritik dan protes, tapi tetap dalam batas-batas stabilitas
keamanan dan pembangunan nasional.[5] Kondisi tersebutlah yang
membuat mahasiswa terlalu cepat mengambil sebuah kesimpulan keliru bahwasanya
gerakan mahasiswa adalah satu-satunya gerakan yang mampu menjadi oposisi
pemerintah. Sehingga, pada akhirnya mahasiswa terjebak pada romantisme heroik
tentang mitos-mitos mahasiswa sebagai agent
of change, moral force, social control, dan iron stock.
Memposisikan Kembali Gerakan
Mahasiswa
Dalam
catatan hariannya yang kemudian dibukukan dan diberi judul Catatan Seorang
Demonstran, Soe Hok Gie pernah menulis “Tugas Seorang sarjana adalah berfikir dan
mencipta yang baru. Mereka harus bisa lepas dari arus masyarakat yang kacau,
tapi mereka tidak bisa lepas dari fungsi sosialnya, yakni bertindak jika
keadaan mulai mendesak. Kaum intelelektual yang diam disaat keadaan mulai
mendesak, telah melunturkan nilai kemanusiaaan”. Dalam membaca kutipan
tersebut, penulis merasa bahwasanya secara tidak langsung kaum intelektual
merupakan sebuah entitas yang terpisah dari rakyat dan baru akan bertindak
ketika keadaan sudah mendesak.
Kutipan
tersebut menjadi sangat selaras apabila kita analogikan mahasiswa dengan koboy.
Mahasiswa dapat dianalogikan sebagai koboy yang akan datang ke suatu daerah
yang dikuasai oleh bandit. Koboy yang dapat mengalahkan bandit tersebut
kemudian diminta oleh masyarakat untuk menetap di wilayah tersebut dan hendak
diangkat menjadi sherif. Kemudian ia menolak dan lebih memilih untuk pergi dan
melanjutkan perjalanannya. Analogi ini menegaskan bahwa mahasiswa apabila sudah
turun menyelesaikan permasalahan Rakyat, maka harus kembali lagi ke tempatnya
berasal, yaitu kampus.[6]
Analogi
mahasiswa sebagai koboy ternyata bukan menjadi satu-satunya analogi menarik
yang menggambarkan kondisi mahasiswa saat ini. Dalam tulisannya yang berjudul Panggung
Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru, Suryadi Rajab menganalogikan mahasiswa
sebagai resi dalam pertapaan di gunung-gunung. Sang resi baru akan mau turun
gunung ketika terjadi ketidakberesan di masyarakat dengan berbagai kritiknya
kepada penguasa. Kemudian sang resi akan kembali lagi ke pertapaannya jika
ketidakberesan tersebut usai. Mahasiswa diibaratkan sebagai resi, agent
of social change, kelompok intelektual pembaruan, dan sebagainya
dianggap sebagai kelompok yang harus bebas dari kepentingan politik sehingga
memunculkan pewacanaan gerakan mahasiswa haruslah menjadi gerakan moral, bukan
gerakan politik. Sebab, kita perlu melihat kembali sejarah dan mengkritisi
apakah gerakan moral benar-benar menyelesaikan masalah bangsa. Jika kita
membaca situasi reformasi 1998, kejatuhan Soeharto tidak serta-merta terjadi
begitu saja. Reformasi 1998 didukung oleh faktor krisis ekonomi yang hebat dan
gerakan rakyat yang kuat dan dipupuk sejak lama. Begitupun dengan peristiwa
pergantian rezim orde lama ke orde baru. Tumbangnya rezim Soekarno
dilatarbelakangi oleh subversi kalangan militer dan intelektual yang mencoba
untuk merebut rezim. Sedangkan mahasiswa bisa jadi hanya menjadi faktor
pendukung yang melahirkan tritura dan sebagainya.
Perdebatan mengenai gerakan mahasiswa sebagai
gerakan moral atau gerakan politik merupakan sebuah wacana yang tak pernah usai
sepanjang pusaran sejarah. Akan tetapi, fenomena yang dapat kita lihat saat ini
yang muncul ke permukaan sebagai wacana dominan justru gerakan moral sebagai
landasan gerakan mahasiswa. Bahkan, Hariman Siregar dalam bukunya yang berjudul
Gerakan Mahasiswa Indonesia Pilar Kelima Demokrasi menyebutkan Gerakan
moral selalu membawakan perasaan orang banyak, dan ia akan memperoleh dukungan
yang luas dari masyarakat. Beda dengan gerakan politik, lebih mementingkan
pilihan tertentu yang sesuai dengan kepentingan politik tertentu.[7]
Pemahaman Hariman Siregar tersebut yang
direproduksi terus-menerus turut semakin menjadikannya wacana dominan di
kalangan mahasiswa. Padahal, jika dikritisi, kita dapat melihat Hariman Siregar
gagal mendefinisikan gerakan politik itu sendiri sehingga hanya terjebak pada
pengertian yang berorientasi kekuasaan. Padahal, gerakan mahasiswa selalu
bersinggungan dengan politik sepanjang ia mengangkat isu-isu kenegaraan,
mengorganisir massa, berorientasi untuk mempengaruhi kebijakan publik, atau
menyoal keberlangsungan demokrasi. Artinya, makna ‘politik’ tidak sesempit pada
pengertian berorientasi pada kekuasaan. Sederhananya, sejauh isu yang diangkat
menyangkut hajat hidup orang banyak—misalnya keberlangsungan demokrasi—maka ia
menjadi ‘politis’.[8]
Jika gerakan mahasiswa diposisikan hanya sebagai gerakan moral, maka hal
tersebut sesungguhnya hanyalah mereduksi signifikansi gerakan mahasiswa itu
sendiri. Oleh karena itu, untuk dapat membuktikan gerakan mahasiswa memiliki
signifikansi politik, maka gerakan mahasiswa perlu dipandang sebagai gerakan
politik meskipun tidak secara langsung berorientasi kekuasaan dan kepentingan politik
praktis. Mahasiswa perlu membangun gerakan yang juga berbasis ideologis, dalam
artian memiliki cita-cita politik untuk mewujudkan sebuah transformasi sosial. Hal
tersebut dilakukan sebagai kritik atas gerakan moral yang cenderung bersifat
reaksioner.
Dalam upaya membangun kembali gerakan mahasiswa,
tentunya kita tidak bisa melepaskan mahasiswa dari kondisi objektifnya sebagai
kaum intelektual dan akademisi yang mencerminkan lekatnya teori. Selain itu,
kondisi objektif lainnya yang perlu kita sadari adalah mahasiswa juga merupakan
bagian dari masyarakat yang mensyaratkan adanya praksis. Seringkali kita
mendengar perdebatan dalam gerakan yang mengutamakan aksi atau teori. Di satu
pihak dinyatakan bahwa yang penting aksi. Di lain pihak, dinyatakan bahwa
sebelum melakukan aksi kita perlu memahami teori dan mengetahui apa yang akan
dikerjakan. Padahal keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan berhasil
melakukan perubahan yang mendasar, tidak dapat membebaskan manusia
tanpa sadar. Di pihak lain, teori tanpa aksi tidak akan mendapat watak
ilmiah yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk menguji teori kecuali
melalui aksi.[9]
Oleh karena itu , dalam bergerak diperlukan adanya kesatuan antara teori dan
praksis.
Gagasan
untuk menyatukan antara teori dan
praksis dimulai dari pendapat para filsuf seperti Babeuf, Hegel hingga Marx. Kesatuan
antara teori dan praksis ini dapat diartikan dalam upaya pembebasan manusia dari cengkraman
kapitalisme, maka harus dilakukan secara sadar. Implikasi hal tersebut terletak
pada kesadaran mahasiswa terhadap kondisi objektif realitas ekonomi, sosial, dan
politik untuk dapat mendefinisikan subjek yang menjadi lawannya. Sehingga
mahasiswa mengetahui dengan benar siapa yang menjadi lawan sesungguhnya dan mengetahui
akan kemana arah gerakan tersebut dibawa.
Sebagai mahasiswa perlu diingat
bahwasanya yang dilakukan oleh mahasiswa juga dalam kerangka belajar. Mahasiswa
perlu rendah hati untuk belajar bersama dan kepada masyarakat. Mahasiswa tidak
perlu memposisikan diri sebagai agent of
change. Akan tetapi mahasiswa perlu berpandangan sebagai kontributor yang
bergerak bersama masyarakat sekaligus sebagai akademisi dan intelektual seperti
konsep intelektual organik yang digambarkan oleh Gramsci. Kesatuan teori dan praksis
dibutuhkan untuk menjadikan mahasiswa sebagai intelektual
organik yang dengan sadar dan mampu menghubungkan teori dan realitas sosial
yang ada, dan ia bergabung dengan kelompok-kelompok revolusioner untuk
men-support dan meng-counter hegemoni pada sebuah transformasi yang
direncanakan.[10]
Pada
akhirnya, dalam upaya membangun kembali gerakan mahasiswa kita perlu
mengawalinya dengan mempelajari sejarah gerakan mahasiswa ke belakang secara
cermat. Kemudian, kita perlu melihat dan mengkritisi wacana-wacana dominan yang
kita rasa janggal untuk dipertahankan. Setelah itu kita dekonstruksi
wacana-wacana janggal tersebut dan konstruksikan kembali menjadi sebuah wacana
yang matang. Kemudian, kita perlu memposisikan kembali gerakan mahasiswa
sebagai gerakan politik dan mendasarkan gerakan pada kesatuan antara teori dan
praksis. Gerakan mahasiswa perlu meninggalkan cara pandang lama sebagai gerakan
moral yang bersifat reaksioner. Gerakan mahasiswa perlu dilakukan secara
terorganisir, berkelanjutan, dan menolak self-consiusness,
dengan kesadaran akan kesamaan identitas sebagai bagian dari rakyat. Gerakan
mahasiswa perlu dibangun sebagai gerakan transformatif untuk mencapai sebuah
cita-cita tertentu, dalam artian sebuah transformasi yang direncanakan. Oleh
karena itu, sangat penting bagi mahasiswa untuk memiliki sebuah ideologi
tertentu sebagai landasan trasnformasi masyarakat yang hendak diwujudkan.
[1] Tilly,
Charles “Social Movement and National Politics” dalam Charles
Bright and Sandra Harding (Eds), State-Making and Social Movements: Essays in
History and Theory (Ann-Arbor Michigan: University of Michigan
Press), hal. 306.
[2] Santoso,
Listiyono, dkk. 2015. Epistemologi Kiri. Yogyakarta : Penerbit Ar-Ruzz Media
[3]
Herlambang, Wijaya. 2013.Kekerasan Budaya Pasca 1965. Jakarta : Marjin Kiri
[4]
Rizkiandi, Rosidi. 2016.Mahasiswa Dalam Pusaran Reformasi :Kisah yang Tak
Terungkap. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
[5] Orasi Hendardi pada acara “Ziarah
Gerakan Mahasiswa”, Goethe Institute, Jakarta, 26 Agustus 2009 pada http://indoprogress.com/2009/09/meletakkan-kembali-gerakan-mahasiswa-ke-jalur-strategis/ (diakses pada 25 Februari 2017 pukul 04.07 WIB)
[6] http://indoprogress.com/2015/01/kapitalisme-dibalik-permasalahan-gerakan-mahasiswa/
(diakses pada 25 Februari 2017 pada pukul 04.43 WIB)
[7] Siregar,
Hariman. 2013. Gerakan Mahasiswa Indonesia Pilar Kelima Demokrasi. Jakarta :
TePLOK PRESS
[8] http://ui.progresif.org/2014/06/15/mahasiswa-dan-politik-signifikansi-politik-gerakan-mahasiswa/
(diakses pada 25 Februari 2017 pukul 05:13 WIB)
[9] Pidato
Ernest Mendel dalam Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa https://www.marxists.org/indonesia/archive/mandel/001.htm
( diakses pada 25 Februari 2017 pukul )6.20 WIB)
[10] Haraman ,Abd. Malik, dkk. 2001. Pemikiran-pemikiran
Revolusioner. Yogyakarta: Averroes
Tidak ada komentar
Posting Komentar