Jumat, 10 Maret 2017

MEMBANGUN KEMBALI GERAKAN MAHASISWA




Saya memulai tulisan ini dengan sebuah pertanyaan, “Apa kabar gerakan mahasiswa hari ini?”. Pertanyaan yang cukup sulit dijawab dan hanya berujung pada kesimpulan seolah-olah gerakan mahasiswa sudah mengalami titik jenuh pasca peristiwa reformasi 98 yang dianggap sebagai titik puncak eksistensi gerakan mahasiswa. Eksistensi tersebut tentunya membentuk obligasi moral kepada para aktivis senior untuk terus mengkader adik-adik mereka di kampus dengan mereproduksi jargon-jargon romantisme gerakan mahasiswa seperti agent of change, moral force, social control, dan iron stock.

Dalam membaca gerakan mahasiswa hari ini kita perlu sedikit lebih kritis dan reflektif. Kita perlu mempertanyakan relevansi gerakan mahasiswa seperti yang telah didengung-dengungkan oleh para aktivis senior dengan basis realitas gerakan mahasiswa hari ini. Dan tentunya kita juga perlu meninjau ulang untuk merumuskan gerakan seperti apa yang kita anggap ideal untuk dilakukan oleh mahasiswa pada saat ini.  Berkaitan dengan hal tersebut kita perlu membedah terlebih dahulu permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan gerakan mahasiswa hari ini.

Pada saat ini kita seringkali menemui gerakan-gerakan mahasiswa yang sangat reaktif, spontan, responsif. Dalam berbagai wacana populer, kita sering menemukan aksi-aksi mahasiswa yang sangat spontan dan reaktif namun kerapkali tak menyasar pada substansi permasalahan yang hendak diselesaikan. Gerakan-gerakan tersebut terbentuk karena mentalitas heroik yang kerapkali membuat mahasiswa merasa paling memahami masyarakat dan mencoba merumuskan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat dengan solusi yang justru seringkali tidak solutif. Kerapkali kita temukan lembaga-lembaga eksekutif mahasiswa bergerak dengan mengambil isu-isu besar dan populis yang dikomodifikasi sebagai barang dagangan mereka hanya dengan mengandalkan momentum. Padahal, jika tidak ada momentum gerakan tersebut bisa jadi tidak masuk dalam prioritas masalah untuk diperjuangkan. Sehingga dapat dikatakan mahasiswa berpikir pragmatis, memperjuangkan suatu permasalahan hanya untuk mendongkrak eksistensi mereka sebagai lembaga.

Dalam rangka memahami gerakan mahasiswa tentunya kita tidak terlepas dari konstruksi ilmu pengetahuan dan kerangka akademik. Gerakan mahasiswa dikategorikan sebagai bagian dari gerakan sosial. Charles Tilly mendefinisikan gerakan sosial dengan sustained series of interactions between power holders and persons successfully claiming to speak on behalf of a constituency lacking formal representation, in the course of which those persons make publicly visible demands for changes in the distribution or exercise of power, and back those demands with public demonstrations of support.[1]Melalui definisi ini, kita dapat membaca secara umum Tilly berpandangan bahwa gerakan sosial merupakan sesuatu yang terorganisir, berkelanjutan, menolak self-consiusness, dan terdapat kesamaan identitas. Sebagai sebuah gerakan sosial tentunya gerakan mahasiswa seharusnya memiliki sebuah bentuk yang tegas sebagaimana yang digambarkan oleh Tilly. Gerakan mahasiswa perlu dilakukan secara terorganisir, berkelanjutan, dan menolak self-consiusness, dengan kesadaran akan kesamaan identitas sebagai bagian dari rakyat.

Membaca Kembali Sejarah dan Dekonstruksi Gerakan Mahasiswa

Kondisi dan pandangan terhadap gerakan mahasiswa hari ini tentunya terjadi secara historis. Artinya, wujud dan kondisi gerakan mahasiswa tidak serta-merta terbentuk begitu saja melainkan melalui proses menyejarah yang sangat panjang. Dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia, tentunya kita tidak bisa melepaskan momentum-momentum bersejarah yang dikenang hingga kini. Peristiwa-peristiwa bersejarah seperti penggulingan rezim orde lama yang terjadi pada tahun 1966, Malari pada tahun 1974, NKK-BKK pada tahun 1978 dan reformasi pada tahun 1998 merupakan peristiwa-peristiwa yang kerapkali digaungkan sebagai bukti eksistensi peran dan kekuatan mahasiswa dalam proses perubahan bangsa. Peristiwa-peristiwa tersebut memang kerapkali dikenang sebagai peristiwa heroik mahasiswa. Akan tetapi, seringkali dilupakan peristiwa malari 1974 dan NKK-BKK merupakan pukulan besar bagi gerakan mahasiswa yang berdampak besar hingga hari ini.  Dalam studinya yang berjudul Kisah yang Tak Terungkap : Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998, Rosidi Rizkiandi menggambarkan perjalanan gerakan mahasiswa Indonesia secara detail melalui peristiwa-peristiwa yang disebutkan di atas.

Akan tetapi, peristiwa-peristiwa bersejarah tersebut sayangnya tidak dipelajari secara cermat oleh mahasiswa pada hari ini. Alih-alih mempelajari konteks permasalahan dan situasi sosial-politik yang terjadi secara holistik dan mengkontekstualisasikannya dengan realitas hari ini, yang terjadi justru hanyalah mitosisasi gerakan mahasiswa dengan mengagung-agungkan sejarah tersebut secara heroik. Sehingga, yang terjadi  hanyalah terjebak pada simbol-simbol romantisme jargonistik seperti agent of change, moral force, social control, dan iron stock. Pengagungan secara heroik tersebut tentunya seringkali membuat mahasiswa terjebak pada pemahaman bahwasanya mahasiswa adalah satu-satunya motor penggerak perubahan sosial. Bukan bermaksud untuk mengkerdilkan eksistensi gerakan mahasiswa. Akan tetapi apabila kita terus-menerus membiarkan mainset seperti itu terus-menerus direproduksi, yang terjadi hanyalah membuat mahasiswa terjebak pada kebangaan semu dan mitos-mitos yang ada dan justru mirisnya seringkali tidak merubah keadaan apapun.

Dalam mencermati permasalahan di atas, kita dapat belajar dari Jacques Derrida dengan menggunakan metode dekonstruksi. Dalam konteks ini, jika Derrida melakukan dekonstruksi oposisi terhadap filsafat barat, kita mendekonstruksi mitos-mitos dan romantisme gerakan mahasiswa tersebut.  Dekonstruksi bisa dilakukan sebagai upaya pembongkaran, namun bukanlah pembongkaran atau penghancuran yang berakhir dengan pandangan monisme atau bahkan kekosongan.[2] Akan tetapi, dekonstruksi menjadi sebuah upaya mencari pemikiran alternatif di tengah-tengah nilai yang sudah ada. Artinya, dari pemahaman yang terjebak romantisme heroik tentang mitos-mitos mahasiswa sebagai agent of change, moral force, social control, dan iron stock perlu didekonstruksi dan dikontekstualisasikan dengan kondisi hari ini.

            Dekonstruksi pemahaman atas mitos-mitos tersebut bisa dipahami dengan membaca ulang konteks sejarah eksisnya gerakan mahasiswa. Pasca pemberangusan PKI pada peristiwa Gestok 1965, konsentrasi gerakan-gerakan rakyat seperti buruh dan petani semakin melemah. PKI yang lekat dengan palu-arit sebagai simbol gerakan buruh dan petani seketika menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat sehingga layak untuk diberangus. Bahkan kekerasan terhadap setiap anggota maupun simpatisan PKI menjadi satu hal yang lumrah.[3] Kondisi tersebut membuat gerakan-gerakan buruh dan petani meredup atau bahkan mati suri. Akibatnya, masyarakat tidak lagi terlalu ideologis, kehidupan politik diarahkan agar terjadi konsensus, aktivitas partai politik dibatasi tidak boleh sampai ke desa-desa, dan kepengurusan organisasi sosial politik hanya terbatas sampai tingkat kabupaten atau kotamadya.[4]Mahasiswa sebagai salah satu pendorong bergulingnya rezim mendapatkan tempat khusus pada masa Orde Baru. Pemerintah Orde Baru mengakui pentingnya peran mahasiswa sebagai calon intelektual atau lapisan terdidik yang dibutuhkan untuk mengisi jaringan teknostruktur. Aksi-aksi protes mahasiswa memang tidak disukai pemerintah karena dapat menimbulkan ‘aib’, tapi juga tidak sepenuhnya dilarang. Mahasiswa boleh menyampaikan kritik dan protes, tapi tetap dalam batas-batas stabilitas keamanan dan pembangunan nasional.[5] Kondisi tersebutlah yang membuat mahasiswa terlalu cepat mengambil sebuah kesimpulan keliru bahwasanya gerakan mahasiswa adalah satu-satunya gerakan yang mampu menjadi oposisi pemerintah. Sehingga, pada akhirnya mahasiswa terjebak pada romantisme heroik tentang mitos-mitos mahasiswa sebagai agent of change, moral force, social control, dan iron stock.

Memposisikan Kembali Gerakan Mahasiswa

Dalam catatan hariannya yang kemudian dibukukan dan diberi judul Catatan Seorang Demonstran,  Soe Hok Gie pernah menulis “Tugas Seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa lepas dari arus masyarakat yang kacau, tapi mereka tidak bisa lepas dari fungsi sosialnya, yakni bertindak jika keadaan mulai mendesak. Kaum intelelektual yang diam disaat keadaan mulai mendesak, telah melunturkan nilai kemanusiaaan”. Dalam membaca kutipan tersebut, penulis merasa bahwasanya secara tidak langsung kaum intelektual merupakan sebuah entitas yang terpisah dari rakyat dan baru akan bertindak ketika keadaan sudah mendesak.

Kutipan tersebut menjadi sangat selaras apabila kita analogikan mahasiswa dengan koboy. Mahasiswa dapat dianalogikan sebagai koboy yang akan datang ke suatu daerah yang dikuasai oleh bandit. Koboy yang dapat mengalahkan bandit tersebut kemudian diminta oleh masyarakat untuk menetap di wilayah tersebut dan hendak diangkat menjadi sherif. Kemudian ia menolak dan lebih memilih untuk pergi dan melanjutkan perjalanannya. Analogi ini menegaskan bahwa mahasiswa apabila sudah turun menyelesaikan permasalahan Rakyat, maka harus kembali lagi ke tempatnya berasal, yaitu kampus.[6]

Analogi mahasiswa sebagai koboy ternyata bukan menjadi satu-satunya analogi menarik yang menggambarkan kondisi mahasiswa saat ini. Dalam tulisannya yang berjudul Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru, Suryadi Rajab menganalogikan mahasiswa sebagai resi dalam pertapaan di gunung-gunung. Sang resi baru akan mau turun gunung ketika terjadi ketidakberesan di masyarakat dengan berbagai kritiknya kepada penguasa. Kemudian sang resi akan kembali lagi ke pertapaannya jika ketidakberesan tersebut usai. Mahasiswa diibaratkan sebagai resi, agent of social change, kelompok intelektual pembaruan, dan sebagainya dianggap sebagai kelompok yang harus bebas dari kepentingan politik sehingga memunculkan pewacanaan gerakan mahasiswa haruslah menjadi gerakan moral, bukan gerakan politik. Sebab, kita perlu melihat kembali sejarah dan mengkritisi apakah gerakan moral benar-benar menyelesaikan masalah bangsa. Jika kita membaca situasi reformasi 1998, kejatuhan Soeharto tidak serta-merta terjadi begitu saja. Reformasi 1998 didukung oleh faktor krisis ekonomi yang hebat dan gerakan rakyat yang kuat dan dipupuk sejak lama. Begitupun dengan peristiwa pergantian rezim orde lama ke orde baru. Tumbangnya rezim Soekarno dilatarbelakangi oleh subversi kalangan militer dan intelektual yang mencoba untuk merebut rezim. Sedangkan mahasiswa bisa jadi hanya menjadi faktor pendukung yang melahirkan tritura dan sebagainya.

Perdebatan mengenai gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral atau gerakan politik merupakan sebuah wacana yang tak pernah usai sepanjang pusaran sejarah. Akan tetapi, fenomena yang dapat kita lihat saat ini yang muncul ke permukaan sebagai wacana dominan justru gerakan moral sebagai landasan gerakan mahasiswa. Bahkan, Hariman Siregar dalam bukunya yang berjudul Gerakan Mahasiswa Indonesia Pilar Kelima Demokrasi menyebutkan Gerakan moral selalu membawakan perasaan orang banyak, dan ia akan memperoleh dukungan yang luas dari masyarakat. Beda dengan gerakan politik, lebih mementingkan pilihan tertentu yang sesuai dengan kepentingan politik tertentu.[7]
Pemahaman Hariman Siregar tersebut yang direproduksi terus-menerus turut semakin menjadikannya wacana dominan di kalangan mahasiswa. Padahal, jika dikritisi, kita dapat melihat Hariman Siregar gagal mendefinisikan gerakan politik itu sendiri sehingga hanya terjebak pada pengertian yang berorientasi kekuasaan. Padahal, gerakan mahasiswa selalu bersinggungan dengan politik sepanjang ia mengangkat isu-isu kenegaraan, mengorganisir massa, berorientasi untuk mempengaruhi kebijakan publik, atau menyoal keberlangsungan demokrasi. Artinya, makna ‘politik’ tidak sesempit pada pengertian berorientasi pada kekuasaan. Sederhananya, sejauh isu yang diangkat menyangkut hajat hidup orang banyak—misalnya keberlangsungan demokrasi—maka ia menjadi ‘politis’.[8] Jika gerakan mahasiswa diposisikan hanya sebagai gerakan moral, maka hal tersebut sesungguhnya hanyalah mereduksi signifikansi gerakan mahasiswa itu sendiri. Oleh karena itu, untuk dapat membuktikan gerakan mahasiswa memiliki signifikansi politik, maka gerakan mahasiswa perlu dipandang sebagai gerakan politik meskipun tidak secara langsung berorientasi kekuasaan dan kepentingan politik praktis. Mahasiswa perlu membangun gerakan yang juga berbasis ideologis, dalam artian memiliki cita-cita politik untuk mewujudkan sebuah transformasi sosial. Hal tersebut dilakukan sebagai kritik atas gerakan moral yang cenderung bersifat reaksioner.

Dalam upaya membangun kembali gerakan mahasiswa, tentunya kita tidak bisa melepaskan mahasiswa dari kondisi objektifnya sebagai kaum intelektual dan akademisi yang mencerminkan lekatnya teori. Selain itu, kondisi objektif lainnya yang perlu kita sadari adalah mahasiswa juga merupakan bagian dari masyarakat yang mensyaratkan adanya praksis. Seringkali kita mendengar perdebatan dalam gerakan yang mengutamakan aksi atau teori. Di satu pihak dinyatakan bahwa yang penting aksi. Di lain pihak, dinyatakan bahwa sebelum melakukan aksi kita perlu memahami teori dan mengetahui apa yang akan dikerjakan. Padahal keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan  berhasil  melakukan perubahan yang mendasar, tidak dapat  membebaskan manusia tanpa sadar. Di pihak lain, teori tanpa aksi tidak akan  mendapat watak ilmiah yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk mengu­ji teori kecuali melalui aksi.[9] Oleh karena itu , dalam bergerak diperlukan adanya kesatuan antara teori dan praksis.

Gagasan untuk menyatukan antara  teori dan praksis dimulai dari pendapat para filsuf seperti Babeuf, Hegel hingga Marx. Kesatuan antara teori dan praksis ini dapat diartikan dalam  upaya pembebasan manusia dari cengkraman kapitalisme, maka harus dilakukan secara sadar. Implikasi hal tersebut terletak pada kesadaran mahasiswa terhadap kondisi objektif realitas ekonomi, sosial, dan politik untuk dapat mendefinisikan subjek yang menjadi lawannya. Sehingga mahasiswa mengetahui dengan benar siapa yang menjadi lawan sesungguhnya dan mengetahui akan kemana arah gerakan tersebut dibawa.

Sebagai mahasiswa perlu diingat bahwasanya yang dilakukan oleh mahasiswa juga dalam kerangka belajar. Mahasiswa perlu rendah hati untuk belajar bersama dan kepada masyarakat. Mahasiswa tidak perlu memposisikan diri sebagai agent of change. Akan tetapi mahasiswa perlu berpandangan sebagai kontributor yang bergerak bersama masyarakat sekaligus sebagai akademisi dan intelektual seperti konsep intelektual organik yang digambarkan  oleh Gramsci. Kesatuan teori dan praksis dibutuhkan untuk menjadikan mahasiswa sebagai intelektual organik yang dengan sadar dan mampu menghubungkan teori dan realitas sosial yang ada, dan ia bergabung dengan kelompok-kelompok revolusioner untuk men-support dan meng-counter hegemoni pada sebuah transformasi yang direncanakan.[10]

Pada akhirnya, dalam upaya membangun kembali gerakan mahasiswa kita perlu mengawalinya dengan mempelajari sejarah gerakan mahasiswa ke belakang secara cermat. Kemudian, kita perlu melihat dan mengkritisi wacana-wacana dominan yang kita rasa janggal untuk dipertahankan. Setelah itu kita dekonstruksi wacana-wacana janggal tersebut dan konstruksikan kembali menjadi sebuah wacana yang matang. Kemudian, kita perlu memposisikan kembali gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik dan mendasarkan gerakan pada kesatuan antara teori dan praksis. Gerakan mahasiswa perlu meninggalkan cara pandang lama sebagai gerakan moral yang bersifat reaksioner. Gerakan mahasiswa perlu dilakukan secara terorganisir, berkelanjutan, dan menolak self-consiusness, dengan kesadaran akan kesamaan identitas sebagai bagian dari rakyat. Gerakan mahasiswa perlu dibangun sebagai gerakan transformatif untuk mencapai sebuah cita-cita tertentu, dalam artian sebuah transformasi yang direncanakan. Oleh karena itu, sangat penting bagi mahasiswa untuk memiliki sebuah ideologi tertentu sebagai landasan trasnformasi masyarakat yang hendak diwujudkan.





[1] Tilly, Charles “Social Movement and National Politics” dalam Charles Bright and Sandra Harding (Eds), State-Making and Social Movements: Essays in History and Theory (Ann-Arbor Michigan: University of Michigan Press), hal. 306.
[2] Santoso, Listiyono, dkk. 2015. Epistemologi Kiri. Yogyakarta : Penerbit Ar-Ruzz Media
[3] Herlambang, Wijaya. 2013.Kekerasan Budaya Pasca 1965. Jakarta : Marjin Kiri
[4] Rizkiandi, Rosidi. 2016.Mahasiswa Dalam Pusaran Reformasi :Kisah yang Tak Terungkap. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
[5] Orasi Hendardi pada acara “Ziarah Gerakan Mahasiswa”, Goethe Institute, Jakarta, 26 Agustus 2009 pada http://indoprogress.com/2009/09/meletakkan-kembali-gerakan-mahasiswa-ke-jalur-strategis/ (diakses pada 25 Februari 2017 pukul 04.07 WIB)
[7] Siregar, Hariman. 2013. Gerakan Mahasiswa Indonesia Pilar Kelima Demokrasi. Jakarta : TePLOK PRESS
[9] Pidato Ernest Mendel dalam Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa https://www.marxists.org/indonesia/archive/mandel/001.htm ( diakses pada 25 Februari 2017 pukul )6.20 WIB)
[10] Haraman ,Abd. Malik, dkk. 2001. Pemikiran-pemikiran Revolusioner. Yogyakarta: Averroes

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall