Minggu, 16 September 2018

UUD KM FISIP UI : Cukupkah Terlegitimasi?


Akhir bulan Desember 2016 menjadi suatu pencapaian tersendiri bagi Forbama(Forum Lembaga Mahasiswa) FISIP UI tahun itu untuk menghasilkan sebuah landasan konstitusional bagi kehidupan kemahasiswaan FISIP UI. Pasalnya, sudah cukup lama (dalam hitungan tahun) kegiatan kemahasiswaan FISIP UI berjalan tanpa landasan konstitusional (pada waktu itu bernama PDKK) yang jelas. Sekilas memang tidak nampak permasalahan yang begitu berarti. Kegiatan kemahasiswaan tetap berjalan seperti biasanya. FISIP tetap berprestasi, bahkan treble winner(Olim UI, OIM UI, UI AW) pada tahun 2015. Komunitas-komunitas tetap berkegiatan dan berkarya. Anak-anak Takor pun masih tetap nongkrong hingga larut malam.
Masalah-masalah tidak nampak signifikan di permukaan. Namun barangkali tidak demikian di mata elit lembaga mahasiswa. Di balik berjalannya kegiatan kemahasiswaan yang sedemikian rupa itu tentunya ada fungsi-fungsi yang tidak berjalan dengan baik akibat tidak ampuhnya PDKK sebagai landasan konstitusional kegiatan kemahasiswaan FISIP UI. Salah satu masalah yang cukup mencolok adalah tentang distribusi anggaran yang tidak jelas kriteria mana yang dapat menerima dan mana yang tidak. Kalau dikatakan sebagai komunitas, ada yang sama-sama berstatus komunitas, namun mengapa komunitas A bisa dapat sementara komunitas B tidak. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakjelasan sistem kemahasiswaan.
Dampak lainnya yang penulis rasakan pada waktu itu, kiranya penulis merasa FISIP seperti menggunakan sistem presidensil-absolute dimana tidak terlihat jelas peranan lembaga legislatif yang merangkap fungsi yudikatif, yaitu BPM. Rasa-rasanya BEM sangat terlihat one man show sebagai lembaga superpower. Jangankan bicara tentang produktivitas legislasi, fungsi check and balances melalui mekanisme pemaparan laporan pertanggungjawaban pun tidak berjalan dengan baik. Kondisi demikian tentunya merupakan kondisi yang tidak sehat bagi iklim demokrasi kemahasiswaan FISIP. Seperti bom waktu yang siap meledak di kemudian hari.
Kembali pada bahasan mengenai UUD KM FISIP UI yang disahkan pada akhir Desember 2016. Penulis masih mengingat betul hari itu pengesahan dilaksanakan di Gedung F Ruang 201. Para ketua lembaga hadir mengikuti pembahasan UUD KM FISIP UI yang dilaksanakan melalui mekanisme persidangan. Hari itu penulis diajak untuk hadir oleh Ahmad (Ketua BEM FISIP UI 2016) pasca pengumuman hasil penghitungan suara yang menjadikan penulis sebagai Ketua BEM FISIP UI 2017 terpilih. Penulis hadir sebagai perwakilan lembaga mahasiswa yang akan datang bersama dengan beberapa ketua lembaga lainnya yang telah terpilih juga. Tak sampai lima puluh orang yang hadir, dan tidak satupun di antara mereka kecuali berstatus ketua lembaga, baik yang sedang menjabat maupun yang akan menjabat.
Pada waktu itu penulis berpikir bahwa proses yang dilakukan untuk merumuskan UUD KM FISIP UI begitu cepat. Penulis tidak melihat banyaknya woro-woro yang menunjukkan proses perumusan ini sedang berlangsung. Pada waktu penulis sempat berbicara dengan Ahmad, argumentasi yang tidak dapat penulis salahkan adalah “Yang penting ada dulu”. Memang benar demikian adanya. Sekarang, atau proses yang lama lagi. Mau tidak mau proses harus tetap berjalan meskipun masih terdapat banyak kekurangan. Meskipun masih ada banyak proses yang sayangnya belum dijalankan, namun penulis tetap mengapresiasi hasil kerja Forbama 2016. Bagaimanapun, proses yang cukup cepat tersebut menghasilkan sebuah landasan konstitusional yang setidaknya “ada dulu” untuk digunakan.
Pada tataran ideal yang penulis bayangkan, pada saat itu semestinya perumusan UUD KM FISIP UI dapat dilaksankan dengan melibatkan lebih banyak aspirasi publik. Meskipun bukan berarti tidak sama sekali, karena sejatinya Forbama yang berisikan ketua-ketua lembaga yang ada di FISIP merupakan perwakilan dari masing-masing basis massa, dalam konteks ini jurusan maupun lembaga keagamaan. Dalam demokrasi elektoral, pelibatan publik secara formal dikatakan sudah cukup memenuhi syarat. Akan tetapi, ketika kita meninjau ulang, apakah suara dan pemikiran ketua-ketua lembaga sudah cukup representatif? Padahal, dampak dari pelaksanaan UUD KM FISIP UI ini bukan hanya kepada lembaga-lembaga terkait tetapi juga publik secara keseluruhan, khususnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mahasiwa dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, tetap dibutuhkan suatu mekanisme pelibatan publik secara luas seperti riset maupun diskusi atau uji publik.
Dalam Etika Politik terdapat kriteria-kriteria legitimasi yang perlu diperhatikan. Menurut Suseno (2016) ada tiga kemungkinan kriteria legitimasi : legitimasi sosiologis, legalitas, dan legitimasi etis. Dalam legitimasi sosiologis, perlu dipertanyakan mekanisme motivatif apa yang membuat masyarakat mau menerima wewenang penguasa. Dalam konteks ini berarti perlu dapat dipertanyakan motivasi apa yang mendorong publik FISIP untuk menerima wewenang KM FISIP UI. Legalitas adalah kesesuaian dengan hukum yang berlaku. Dalam konteks ini perlu dilihat apakah kebijakan-kebijakan yang diberlakukan sudah sesuai dengan hukum yang berlaku. Kriteria terakhir yaitu etis, artinya dalam konteks ini segala kebijakan yang diberlakukan oleh KM FISIP UI perlu dipertanyakan secara etis apakah baik atau buruk.
Tahun 2017 bisa dikatakan sebagai tahun percobaan pelaksanaan UUD KM FISIP UI.  Dari awal kepengurusan, KM FISIP UI 2017 kerapkali mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membahas keberlangsungan kelembagaan di FISIP UI. Dengan adanya UUD KM FISIP UI ini memang sangat terasa berbeda. Lembaga-lembaga mulai bergerak sesuai dengan amanah UUD KM FISIP UI berikut produk hukum turunannya. Sebuah kemajuan yang sangat perlu untuk diapresiasi dan diketahui oleh publik FISIP.
Dari pelaksanaan UUD KM FISIP UI pada tahun 2017, tentunya terdapat catatan-catatan yang pernah penulis diskusikan bersama Ismail (Ketua BPM FISIP UI 2017). Misalnya, terdapat beberapa hal yang terlalu teknis untuk dimasukkan ke dalam UUD yang sebetulnya bisa dimasukkan dalam peraturan turunan dari UUD tersebut seperti dalam UU atau TAP. Contoh lainnya yang perlu menjadi catatan dalam UUD KM FISIP UI adalah ketidaksinkronan sistem keuangan yang  diatur dalam UUD KM FISIP UI dengan sistem yang ditetapkan oleh pihak PAF atau dekanat. Hal ini tentunya perlu kembali dikaji ulang terkait dengan relevansi aturan dengan realita yang terjadi. Selain itu masalah seperti status IKM aktif sebagaimana menjadi catatan yang cukup panjang untuk didiskusikan pada tahun 2017 adalah masalah yang cukup perlu untuk dilihat kembali relevansinya dengan mengacu kepada konteks mahasiswa saat ini. Dari masalah-masalah tersebut, penulis ingin mengajukan pertanyaan apakah UUD KM FISIP UI sudah cukup terlegitimasi berdasarkan kriteria legitimasi tersebut?
Mengacu kepada kriteria legitimasi yang seperti yang dijelaskan di atas, pertanyaan tentang cukupkah legitimasi UUD KM FISIP UI sebagai landasan kegiatan kemahasiswaan FISIP UI perlu dijawab dengan penyelesaian masalah-masalah yang menjadi catatan di atas. Permasalahan-permasalahan tersebut adalah pekerjaan rumah yang perlu dibereskan. Mungkin dampak permsalahan ini belum terlihat demikian signifikan pada saat ini. Namun, menunda penyelesaian masalah ini sama dengan mengaktifkan kembali bom waktu yang bisa jadi menimbulkan berbagai masalah di kemudian hari. Hal ini ditujukan untuk memperkuat legitimasi UUD KM FISIP UI dalam mengatur kehidupan kemahasiswaan FISIP UI secara holistik.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall