Akhir bulan
Desember 2016 menjadi suatu pencapaian tersendiri bagi Forbama(Forum Lembaga
Mahasiswa) FISIP UI tahun itu untuk menghasilkan sebuah landasan konstitusional
bagi kehidupan kemahasiswaan FISIP UI. Pasalnya, sudah cukup lama (dalam
hitungan tahun) kegiatan kemahasiswaan FISIP UI berjalan tanpa landasan
konstitusional (pada waktu itu bernama PDKK) yang jelas. Sekilas memang tidak
nampak permasalahan yang begitu berarti. Kegiatan kemahasiswaan tetap berjalan
seperti biasanya. FISIP tetap berprestasi, bahkan treble winner(Olim UI, OIM
UI, UI AW) pada tahun 2015. Komunitas-komunitas tetap berkegiatan dan berkarya.
Anak-anak Takor pun masih tetap nongkrong hingga larut malam.
Masalah-masalah
tidak nampak signifikan di permukaan. Namun barangkali tidak demikian di mata
elit lembaga mahasiswa. Di balik berjalannya kegiatan kemahasiswaan yang
sedemikian rupa itu tentunya ada fungsi-fungsi yang tidak berjalan dengan baik
akibat tidak ampuhnya PDKK sebagai landasan konstitusional kegiatan
kemahasiswaan FISIP UI. Salah satu masalah yang cukup mencolok adalah tentang
distribusi anggaran yang tidak jelas kriteria mana yang dapat menerima dan mana
yang tidak. Kalau dikatakan sebagai komunitas, ada yang sama-sama berstatus
komunitas, namun mengapa komunitas A bisa dapat sementara komunitas B tidak.
Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakjelasan sistem kemahasiswaan.
Dampak lainnya
yang penulis rasakan pada waktu itu, kiranya penulis merasa FISIP seperti
menggunakan sistem presidensil-absolute
dimana tidak terlihat jelas peranan lembaga legislatif yang merangkap fungsi
yudikatif, yaitu BPM. Rasa-rasanya BEM sangat terlihat one man show sebagai lembaga superpower.
Jangankan bicara tentang produktivitas legislasi, fungsi check and balances melalui mekanisme pemaparan laporan pertanggungjawaban
pun tidak berjalan dengan baik. Kondisi demikian tentunya merupakan kondisi
yang tidak sehat bagi iklim demokrasi kemahasiswaan FISIP. Seperti bom waktu
yang siap meledak di kemudian hari.
Kembali pada
bahasan mengenai UUD KM FISIP UI yang disahkan pada akhir Desember 2016.
Penulis masih mengingat betul hari itu pengesahan dilaksanakan di Gedung F
Ruang 201. Para ketua lembaga hadir mengikuti pembahasan UUD KM FISIP UI yang
dilaksanakan melalui mekanisme persidangan. Hari itu penulis diajak untuk hadir
oleh Ahmad (Ketua BEM FISIP UI 2016) pasca pengumuman hasil penghitungan suara
yang menjadikan penulis sebagai Ketua BEM FISIP UI 2017 terpilih. Penulis hadir
sebagai perwakilan lembaga mahasiswa yang akan datang bersama dengan beberapa
ketua lembaga lainnya yang telah terpilih juga. Tak sampai lima puluh orang
yang hadir, dan tidak satupun di antara mereka kecuali berstatus ketua lembaga,
baik yang sedang menjabat maupun yang akan menjabat.
Pada waktu itu
penulis berpikir bahwa proses yang dilakukan untuk merumuskan UUD KM FISIP UI
begitu cepat. Penulis tidak melihat banyaknya woro-woro yang menunjukkan proses perumusan ini sedang berlangsung.
Pada waktu penulis sempat berbicara dengan Ahmad, argumentasi yang tidak dapat
penulis salahkan adalah “Yang penting ada dulu”. Memang benar demikian adanya.
Sekarang, atau proses yang lama lagi. Mau tidak mau proses harus tetap berjalan
meskipun masih terdapat banyak kekurangan. Meskipun masih ada banyak proses
yang sayangnya belum dijalankan, namun penulis tetap mengapresiasi hasil kerja
Forbama 2016. Bagaimanapun, proses yang cukup cepat tersebut menghasilkan
sebuah landasan konstitusional yang setidaknya “ada dulu” untuk digunakan.
Pada tataran ideal
yang penulis bayangkan, pada saat itu semestinya perumusan UUD KM FISIP UI
dapat dilaksankan dengan melibatkan lebih banyak aspirasi publik. Meskipun
bukan berarti tidak sama sekali, karena sejatinya Forbama yang berisikan
ketua-ketua lembaga yang ada di FISIP merupakan perwakilan dari masing-masing
basis massa, dalam konteks ini jurusan maupun lembaga keagamaan. Dalam
demokrasi elektoral, pelibatan publik secara formal dikatakan sudah cukup
memenuhi syarat. Akan tetapi, ketika kita meninjau ulang, apakah suara dan
pemikiran ketua-ketua lembaga sudah cukup representatif? Padahal, dampak dari
pelaksanaan UUD KM FISIP UI ini bukan hanya kepada lembaga-lembaga terkait
tetapi juga publik secara keseluruhan, khususnya yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban mahasiwa dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Oleh karena itu,
menurut hemat penulis, tetap dibutuhkan suatu mekanisme pelibatan publik secara
luas seperti riset maupun diskusi atau uji publik.
Dalam Etika
Politik terdapat kriteria-kriteria legitimasi yang perlu diperhatikan. Menurut
Suseno (2016) ada tiga kemungkinan kriteria legitimasi : legitimasi sosiologis,
legalitas, dan legitimasi etis. Dalam legitimasi sosiologis, perlu
dipertanyakan mekanisme motivatif apa yang membuat masyarakat mau menerima wewenang
penguasa. Dalam konteks ini berarti perlu dapat dipertanyakan motivasi apa yang
mendorong publik FISIP untuk menerima wewenang KM FISIP UI. Legalitas adalah
kesesuaian dengan hukum yang berlaku. Dalam konteks ini perlu dilihat apakah
kebijakan-kebijakan yang diberlakukan sudah sesuai dengan hukum yang berlaku.
Kriteria terakhir yaitu etis, artinya dalam konteks ini segala kebijakan yang
diberlakukan oleh KM FISIP UI perlu dipertanyakan secara etis apakah baik atau
buruk.
Tahun 2017
bisa dikatakan sebagai tahun percobaan pelaksanaan UUD KM FISIP UI. Dari awal kepengurusan, KM FISIP UI 2017
kerapkali mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membahas keberlangsungan
kelembagaan di FISIP UI. Dengan adanya UUD KM FISIP UI ini memang sangat terasa
berbeda. Lembaga-lembaga mulai bergerak sesuai dengan amanah UUD KM FISIP UI
berikut produk hukum turunannya. Sebuah kemajuan yang sangat perlu untuk diapresiasi
dan diketahui oleh publik FISIP.
Dari
pelaksanaan UUD KM FISIP UI pada tahun 2017, tentunya terdapat catatan-catatan
yang pernah penulis diskusikan bersama Ismail (Ketua BPM FISIP UI 2017).
Misalnya, terdapat beberapa hal yang terlalu teknis untuk dimasukkan ke dalam
UUD yang sebetulnya bisa dimasukkan dalam peraturan turunan dari UUD tersebut
seperti dalam UU atau TAP. Contoh lainnya yang perlu menjadi catatan dalam UUD
KM FISIP UI adalah ketidaksinkronan sistem keuangan yang diatur dalam UUD KM FISIP UI dengan sistem
yang ditetapkan oleh pihak PAF atau dekanat. Hal ini tentunya perlu kembali
dikaji ulang terkait dengan relevansi aturan dengan realita yang terjadi.
Selain itu masalah seperti status IKM aktif sebagaimana menjadi catatan yang
cukup panjang untuk didiskusikan pada tahun 2017 adalah masalah yang cukup
perlu untuk dilihat kembali relevansinya dengan mengacu kepada konteks
mahasiswa saat ini. Dari masalah-masalah tersebut, penulis ingin mengajukan
pertanyaan apakah UUD KM FISIP UI sudah cukup terlegitimasi berdasarkan
kriteria legitimasi tersebut?
Mengacu kepada
kriteria legitimasi yang seperti yang dijelaskan di atas, pertanyaan tentang
cukupkah legitimasi UUD KM FISIP UI sebagai landasan kegiatan kemahasiswaan
FISIP UI perlu dijawab dengan penyelesaian masalah-masalah yang menjadi catatan
di atas. Permasalahan-permasalahan tersebut adalah pekerjaan rumah yang perlu
dibereskan. Mungkin dampak permsalahan ini belum terlihat demikian signifikan
pada saat ini. Namun, menunda penyelesaian masalah ini sama dengan mengaktifkan
kembali bom waktu yang bisa jadi menimbulkan berbagai masalah di kemudian hari.
Hal ini ditujukan untuk memperkuat legitimasi UUD KM FISIP UI dalam mengatur
kehidupan kemahasiswaan FISIP UI secara holistik.
Tidak ada komentar
Posting Komentar