Pedagogy of
The Opressed merupakan sebuah karya berpengaruh dari seorang filsuf kelahiran
Brazil, Paulo Freire. Bagi sebagian orang nama Paulo Freire mungkin sudah tidak
asing lagi. Dia lahir pada tanggal 19 September 1921 di wilayah miskin di Kota
Pelabuhan Recife, Brazil. Latar belakang keluarga dan lingkungan sosialnya yang
cukup memprihatinkan membentuk daya refleksinya yang kuat terhadap realitas.
Dengan kondisi apa adanya, Freire melanjutkan studinya di Universitas Recife
dengan mengambil studi hukum.
Pada tahun
1944 Freire menikah dengan Elza Maia Costa, soerang guru sekolah dasar di
Recife. Sejak saat itu perhatiannya terhadap teori-teori pendidikan mulai
tumbuh. Bahkan Dia lebih banyak membaca tentang pendidikan ketimbang ilmu hukum
yang baginya hanya membuatnya menjadi mahasiswa rata-rata saja. Pasca kelulusan
studinya menjadi sarjana hukum, Dia justru menjadi Direktur Bagian Pendidikan
dan Kebudayaan SESI (Pelayan Sosial) di negara bagaian Pernambuco. Pengalaman
tersebut membawa Freire kontak langsung dengan masyarakat miskin kota yang
sangat memengaruhi penelitian-penelitiannya dalam menngembangkan metode
dialogik dalam pendidikan.
Pada bagian
pertama buku ini, Freire mencoba membahas pentingnya pendidikan bagi kaum
tertindas. Kaum tertindas selama ini mengalami proses dehumanisasi yang begitu
panjang sehingga membentuk mental tertindas dan takut akan kebebasan. Untuk
mengatasi situasi penindasan, manusia pertama kali harus secara kritis
mengenali sumber penyebab penindasan tersebut. Kemudian mereka harus melakukan
perubahan dimana mereka menciptakan situasi baru yang memungkinkan terciptanya
manusia yang lebih utuh. Dengan adanya pendidikan bagi kaum tertindas, diharapkan
kaum tertindas dapat mengetahui situasi yang mereka hadapi sekarang. Akan
tetapi yang perlu menjadi catatan di sini pendidikan bagi kaum tertindas
sebagai sebuah upaya humanisasi haruslah dilaksanakan secara humanis.
Pendidikan kaum tertindas, sebagai pendidikan
para humanis terdiri dari dua tahap. Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka
tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan
perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah,
pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi
pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng.[1] Dari penyataan
tersebut dapat disimpulkan bahwasanya prinsip mendasar dari Pendidikan Kaum
Tertindas ialah humanisme, keadilan, dan kasih sayang.
Pada bagian
kedua, Freire mengkritisi sistem pendidikan yang selama ratusan tahun digunakan
oleh umat manusia. Dia menyebut sistem pendidikan tersebut sebagai sistem
pendidikan gaya bank. Freire menyatakan, “pendidikan yang dialami oleh
“kaum-kaum tertindas” selama ini tak ubahnya seperti pendidikan dengan “sistem
bank”. Dalam pendidikan “sistem bank”, dimana ruang gerak yang disediakan bagi
kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencacat, dan menyimpan.[2]
Dalam sistem pendidikan gaya bank, murid dan guru memiliki kedudukan yang
berbeda. Guru berperan sebagai subjek yang menarasikan realitas kepada murid
sebagai objek. Padahal, bagi Freire seharusnya sistem pendidikan tidaklah
demikian. Dalam “Metode pendidikan hadap masalah” Freire, guru dan murid
seharusnya sama-sama menjadi subjek. Sedangkan realitas atau permasalahan
merupakan objek yang dipelajari untuk ditindaklanjuti. Pada sistem pendidikan
seperti demikian terjadi proses dialogis antara guru dan murid. Keduanya dapat
saling belajar dan mengkritisi secara dua arah untuk menghasilkan sintesis
kesimpulan yang tajam. Tidak seperti pada pendidikan gaya bank yang bersifat
satu arah.
Pada bagian
ketiga dan keempat, Ferire mempertegas kembali
konsepsi dialogika dan antidialogika. Dalam dialogika yang harus pertama kali
dilakukan adalah menghilangkan dikotomi antara verbalisme dan aktivisme, antara
teori dan praksis. Dikotomi yang manapun menciptakan keberadaan dan bentuk
pemikiran yang tidak otentik. Manusia tidak diciptakan dalam kebisuan, tetapi
dalam kata, dalam karya, dalam tindakan refleksi. Dialog merupakan bentuk
perjumpaan di antara sesama manusia, dengan perantara dunia, dalam rangka
menamai dunia. Oleh karena itu dialog merupakan sebuah kebutuhan eksistensial. Dengan
adanya dialog diharapkan tidak ada lagi keadaan dimana satu orang aktif menabungkan gagasannya kepada orang lain,
sementara yang lain cuma pasif menerima apa yang diberikan orang lain kepada
dirinya. Sementara itu sebagai lawan dari dialogika, yaitu antidialogika,
dijelaskan sebagai sebuah model pendidikan yang selalu berupaya menguasai
manusia lainnya. Hal tersebut bersebrangan dengan pendidikan dialogis yang
bersifat kooperatif.
Pendidikan
hadap masalah yang dicetuskan oleh Freire bagaimanapun juga banyak memengaruhi
perkembangan teori dan praktik pendidikan di dunia khususnya di Amerika Latin.
Pendidikan alternatif tersebut dapat dikontekstualisasikan kepada banyak
masyarakat khususnya masyarakat marjinal di negara-negara dunia ketiga, tak
terkecuali di Indonesia. Sistem pendidikan alternatif yang dicetuskan oleh
Freire pada suatu saat nanti bisa jadi menggantikan sistem pendidikan nasional
yang bersifat top-down dan kurang
membangun kearifan lokal dalam kurikulum yang diajarkan di sekolah. Pada
praktiknya, sebagai sebuah contoh, seolah-olah dari Sabang sampai Merauke, baik
di wilayah perkotaan maupun desa pedalaman mengetahui benda-benda berteknologi
canggih yang mungkin hanya diakses oleh anak-anak di wilayah perkotaan. Padahal
memasukkan imajinasi tentang sebuah benda berteknologi yang tidak aksesibel bagi anak-anak di wilayah
pedalaman merupakan sebuah bentuk potensi kekerasan dalam kurikulum. Mereka
tidak diarahkan untuk mendeskripsikan dan mengkritisi realitas yang ada di
sekitar mereka. Akan tetapi justru diarahkan untuk membayangkan
konsepsi-konsepsi besar yang tidak lekat dengan keseharian mereka.
Sumber : Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia
Tidak ada komentar
Posting Komentar