Sebuah buku yang sangat luar biasa dan
menunjukkan bagaimana islam pernah memiliki salah seorang tokoh intelektual
zaman modern yang begitu hebat melalui gagasan-gagasan yang dituangkannya. Ali
Syariati, seorang intelektual muslim kenamaan asal Iran yang telah melahirkan
pemikiran-pemikiran islam progressif. Progressif dalam konteks ini meskipun
sama-sama memunculkan gagasan anti kemapanan untuk selalu menuju tatanan
masyarakat ideal dengan Marxisme, namun bukan berarti pemikiran-pemikiran Ali
Syariati berintikan nafas marxisme. Sebaliknya, Ali Syariati justru mengkritisi
banyak gagasan-gagasan marx tentang merubah tatanan masyarakat. Salah satu
bukunya yang paling fenomenal ialah Tugas Cendekiawan Muslim yang pertama kali
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dr. Amien Rais.
Buku Tugas Cendekiawan Muslim ini
tersusun dari 7 bab : Manusia dan Islam, Pandangan Dunia, Empat Penjara
Manusia, Piramid Sosiologi Kebudayaan, Penggalian dan Penyaringan Sumber-sumber
Kebudayaan, Ideologi, dan Peranan Kaum Intelektual dalam Islam. Buku ini
disusun secara cukup tertata dengan menempatkan sebuah alur pemahaman yang
terstruktur dengan berawal dari pemahaman mendasar hakikat manusia dalam islam
sampai pada tahap akhirnya menjelaskan bagaimana peranan seharusnya seorang
cendekiawan muslim.
Pada bab pertama, dalam bahasan
Manusia dan Islam, Ali Syariati mencoba untuk menggambarkan bagaimana
permasalahan manusia merupakan masalah yang paling penting pada peradaban
dewasa ini. Ali Syariati sedikit menyinggung gagasan humanisme yang menjadi
sebuah paham besar dewasa ini. Secara universal humanisme masuk dan tersebar di
berbagai belahan dunia dan mempengaruhi banyak unsur kebudayaan termasuk agama.
Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu agama-agama banyak menyingkirkan
humanisme sehingga muncul berbagai macam kritik atasnya.
Bahasan yang terdapat dalam bab
pertama ini tentunya mencoba untuk memberikan penggambaran terhadap manusia
berdasarkan kacamata islam yang dibedah berdasarkan ayat-ayat suci alquran dan
penalaran atasnya. Dalam pandangan islam, manusia sesungguhnya berada memiliki
identitas ganda yang memiliki kutub ekstrim menjadi yang mulia atau yang hina.
Dalam berbagai macam ayat Allah menyebutkan manusia sebagai makhluk yang mulia
dan dimuliakan. Akan tetapi dalam ayat-ayat lain manusia juga disebutkan dengan
konsep yang berlawanan, yakni makhluk yang hina. Kesimpulan yang bisa diambil
dari munculnya kontradiksi ini adalah bahwasanya Allah memberikan kesempatan
kepada manusia untuk menjadi mulia apabila ia menjalankan tugas-tugasnya dan
menjadi makhluk yang hina apabila meninggalkan dan mengingkarinya.
Pada bab kedua, Ali Syariati mencoba
untuk menggambarkan pandangan dunia(vision de monde) yang dibahas secara
filosofis, sosiologis, dan antropologis. Pada bab ini dibahas bagaimana
pandangan-pandangan tentang dunia hasil olah pikir filsuf-filsuf maupun ilmuan
kenamaan semacam Henry Bergson, Jalaludin Rumi, Sartre, dan sebagainya. Pada
bab ini, terdapat banyak kritik terhadap pemikiran-pemikiran dan arah pandangan
dunia barat yang dianggap absurd. Akan tetapi disini Ali Syariati juga
mengkritisi pengkultusan-pengkultusan Syiah terhadap Ali bin Abi Thalib beserta
keluarganya yang prakteknya marak berkembang di negeri asalnya sendiri, Iran.
Dalam bab ketiga, Ali Syariati
membahas hal-hal apa saja yang menghalangi manusia bergerak dinamis menuju arah
kesempurnaan. Menurut Ali Syari’ati ada empat penjara yang menghalangi
manusia ke arah gerak dinamis menuju tahap kesempurnaan. Keempat penjara
tersebut, adalah ; alam, sejarah, masyarakat, dan ego. Hukum alam yang dipahami
secara determinisme-mekanistik dapat menjadi penghambat bagi manusia dalam
tahapan evolusinya. Karena ketidakmampuan manusia “menundukkan” alam
mengakibatkan kehidupan manusia menjadi tidak efektif dan efisien. Sejarah yang
merupakan peristiwa masa lalu dapat menjebak manusia pada hukum-hukum
determinisnya. Hasil-hasil dari peristiwa sejarah masa lampau yang dirasakan
oleh manusia hari ini bisa membuat manusia dapat terjebak pada determinisme
historis yang mengakibatkan manusia bersikap pasif dan kehilangan misi
futuristiknya. Hukum dan kultur yang ada dalam lingkungan masyarakat pun bisa
menghambat kreasi dan inovasi manusia dalam beraktualisasi diri untuk
“menemukan” kesejatian dirinya. Sedangkan ego, sebagaimana dalam tinjaun kaum
psikoanalisis atau kaum hedonis akan membuat manusia senantias memperturutkan
hasrat instingtifnya dan melupakan realitas ruhani yang merupakan realitas
sublim bagi manusia. Padahal, Manusia dibekali oleh Tuhan dengan tiga potensi
dasar, yaitu ; kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas yang
sesungguhnya merupakan potensi yang memastikan manusia terus berada dalam
proses becoming dan tidak pasrah atas determinisme alam.
Dalam bab ke-4, Ali Syariati
mencoba untuk menyampaikan pandangannya sebagai seorang sosiolog sekaligus
sejarawan yang secara spesifik mendalami sejarah peradaban dan agama-agama.
Dalam bab ini beliau mencoba untuk menggambarkan bagaimana terjadinya
perubahan-perubahan intelektual dan historis dalam berbagai tahap sejarah.
Berkaitan dengan hal tersebut Ali Syariati mencoba untuk menggambarkan
bagaimana terjadi perubahan karakteristik kaum intelektual atau cendekiawan
yang disebabkan oleh perubahan kultur, kondisi sosial, religi, dan sebagainya.
Pada bagian ini beliau juga mencoba untuk menggambarkan adanya kondisi yang
berbeda dan memunculkan konflik yang membentuk kutub divergen antara barat dan
timur. Pada bagian ini banyak kritik-kritik yang muncul atas budaya barat
secara substansial dan munculnya fenomena dominasi budaya barat atas budaya
timur yang menimbulkan dampak negatif bagi kaum intelektual timur yang
kehilangan jatidiri ketimurannya karena terlalu berkiblat kepada barat. Gagasan
yang dianjurkan oleh Syariati untuk para cendekiawan muslim yang pada umumnya berasal
dari belahan dunia timur adalah “Belajar dari barat, namun jangan jadi peniru
barat!”. Artinya para cendekiawan timur hendaknya tidak melepaskan nilai-nilai
ketimurannya dalam menganalisis dan upaya mengubah masyarakatnya.
Setelah pembahasan mengenai konflik
budaya barat-dan timur dalam bab-4, bahasan mengenai penggalian dan penyaringan
sumber-sumber kebudayaan dalam bab-5 menjadi
langkah tindak lanjut bagi para cendekiawan timur. Pada bab ini dibahas
bagaimana para cendekiawan timur seharusnya tidak hanya mengguru kepada barat
dan hanya menerjemahkan gagasan-gagasan hasil olahan para pemikir-pemikir barat.
Akan tetapi lebih jauh dari itu para pemikir-pemikir dan para cendekiawan timur
seharusnya menggali sendiri kekayaan budaya serta khazanah intelektual khas
timur yang sesungguhnya lebih relevan dalam membedah dan menganalisis
masyarakat timur itu sendiri. Apabila memang mengguru kepada barat, selanjutnya
yang perlu diperhatikan adalah bagaimana budaya, pemahaman, dan
pemikiran-pemikiran barat tersebut dapat dikritisi kembali untuk kemudian disaring
sehingga tidak terjadi kerusakan budaya timur karena penjajahan budaya barat
atas kehidupan bangsa timur, khususnya dalam dunia intelektual.
Selanjutnya, pembahasan beranjak
ke bab-5 yang berkaitan dengan ideologi. Pada bab ini Ali Syariati di awal
pembahasan mencoba untuk menggambarkan perbedaan antara ideologi, ilmu, dan
filsafat. Ideologi didefinisikan sebagai pemikiran, gagasan, konsep, atau ilmu
tentang keyakinan dan cita-cita. Secara sederhana pada konteks ini, seorang
ideolog digambarkan sebagai seorang yang membela atau meyakini suatu keyakinan
tertentu. Ilmu dalam konteks ini didefinisikan sebagai citra pemikiran manusia
tentang alam yang kongkret dan merupakan penemuan manusia tentang beberapa
hubungan, suatu prinsip, karakteristik kehidupan manusia, dan sebagainya.
Sementara filsafat dalam konteks ini didefinisikan sebagai suatu upaya pencarian
ke arah pemahaman sesuatu yang bersifat umum dan belum diketahui serta
dijangkau oleh ilmu. Perbedaan mendasar antara ideologi dengan ilmu dan
filsafat adalah terletak pada keberpihakan. Biar bagaimanapun ideologi tidak
akan bebas nilai. Pada poin inilah yang menyebabkan munculnya keberpihakan
dalam ideologi sehingga seseorang yang berideologi dapat dikatakan memiliki keyakinan,
tujuan atau kepentingan tertentu. Setelah membahas masalah perbedaan-perbedaan tersebut, bahasan
selanjutnya terkait dengan kritik-kritik terhadap kondisi ideologi masyarakat Iran
dan terhadap ideologi-ideologi barat. Dalam bahasan ini dijelaskan juga
bahwasanya ilmuan dan filsuf bukanlah ideolog. Seorang ideolog haruslah
memiliki tujuan dan kepentingan tertentu yang didasarkan atas
kesadaran-kesadaran khsusus seperti kesedaran kelas, kesadaran intelektual, dan
sebagainya yang terus berproses menuju kesadaran ideologis. Dalam bagian ini
juga diperkenalkan adanya konsep rhousan fikr yang menjadi
cendekiawan/intelektual yang menggerakkan masyarakat.
Pada bagian terakhir dari buku
ini, Ali Syariati mencoba menjelaskan lebih spesifik sekaligus praktikal
tentang bagaimana seharusnya seorang intelektual muslim berperan di masyarakat.
Pada intinya, seorang cendekiawan muslim seharusnya menjadi penggali identitas dan
kebudayaan dan merasakan benar-benar apa yang menjadi permasalahan bagi
masyarakat sehingga dapat menggerakkan dan mendorong masyarakat secara
progressif menuju kemajuan peradaban. Akan tetapi dalam konteks ini perlu juga
diketahui bahwasanya gagasan progressif dan mendorong alur gerak sejarah
peradaban yang digagas oleh Ali Syariati tidak sama dengan gagasan marxisme.
Justru pada bab ini juga banyak kritik-kritik yang disampaikan oleh Ali
Syariati kepada para Marxist muda dari timur yang menghilangkan konteks
ketimurannya dan hanya membeo perkataan-perkataan Marx yang dijadikan postulat
sehingga banyak menimbulkan sesat pikir.
Wallahu A’lam Bis Showab
Lakon Hidup
Tidak ada komentar
Posting Komentar