Senin, 23 Mei 2016

Tugas Cendekiawan Muslim(Ali Syariati) : Sebuah Ulasan




Sebuah buku yang sangat luar biasa dan menunjukkan bagaimana islam pernah memiliki salah seorang tokoh intelektual zaman modern yang begitu hebat melalui gagasan-gagasan yang dituangkannya. Ali Syariati, seorang intelektual muslim kenamaan asal Iran yang telah melahirkan pemikiran-pemikiran islam progressif. Progressif dalam konteks ini meskipun sama-sama memunculkan gagasan anti kemapanan untuk selalu menuju tatanan masyarakat ideal dengan Marxisme, namun bukan berarti pemikiran-pemikiran Ali Syariati berintikan nafas marxisme. Sebaliknya, Ali Syariati justru mengkritisi banyak gagasan-gagasan marx tentang merubah tatanan masyarakat. Salah satu bukunya yang paling fenomenal ialah Tugas Cendekiawan Muslim yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dr. Amien Rais.

Buku Tugas Cendekiawan Muslim ini tersusun dari 7 bab : Manusia dan Islam, Pandangan Dunia, Empat Penjara Manusia, Piramid Sosiologi Kebudayaan, Penggalian dan Penyaringan Sumber-sumber Kebudayaan, Ideologi, dan Peranan Kaum Intelektual dalam Islam. Buku ini disusun secara cukup tertata dengan menempatkan sebuah alur pemahaman yang terstruktur dengan berawal dari pemahaman mendasar hakikat manusia dalam islam sampai pada tahap akhirnya menjelaskan bagaimana peranan seharusnya seorang cendekiawan muslim.

Pada bab pertama, dalam bahasan Manusia dan Islam, Ali Syariati mencoba untuk menggambarkan bagaimana permasalahan manusia merupakan masalah yang paling penting pada peradaban dewasa ini. Ali Syariati sedikit menyinggung gagasan humanisme yang menjadi sebuah paham besar dewasa ini. Secara universal humanisme masuk dan tersebar di berbagai belahan dunia dan mempengaruhi banyak unsur kebudayaan termasuk agama. Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu agama-agama banyak menyingkirkan humanisme sehingga muncul berbagai macam kritik atasnya.

Bahasan yang terdapat dalam bab pertama ini tentunya mencoba untuk memberikan penggambaran terhadap manusia berdasarkan kacamata islam yang dibedah berdasarkan ayat-ayat suci alquran dan penalaran atasnya. Dalam pandangan islam, manusia sesungguhnya berada memiliki identitas ganda yang memiliki kutub ekstrim menjadi yang mulia atau yang hina. Dalam berbagai macam ayat Allah menyebutkan manusia sebagai makhluk yang mulia dan dimuliakan. Akan tetapi dalam ayat-ayat lain manusia juga disebutkan dengan konsep yang berlawanan, yakni makhluk yang hina. Kesimpulan yang bisa diambil dari munculnya kontradiksi ini adalah bahwasanya Allah memberikan kesempatan kepada manusia untuk menjadi mulia apabila ia menjalankan tugas-tugasnya dan menjadi makhluk yang hina apabila meninggalkan dan mengingkarinya.

Pada bab kedua, Ali Syariati mencoba untuk menggambarkan pandangan dunia(vision de monde) yang dibahas secara filosofis, sosiologis, dan antropologis. Pada bab ini dibahas bagaimana pandangan-pandangan tentang dunia hasil olah pikir filsuf-filsuf maupun ilmuan kenamaan semacam Henry Bergson, Jalaludin Rumi, Sartre, dan sebagainya. Pada bab ini, terdapat banyak kritik terhadap pemikiran-pemikiran dan arah pandangan dunia barat yang dianggap absurd. Akan tetapi disini Ali Syariati juga mengkritisi pengkultusan-pengkultusan Syiah terhadap Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya yang prakteknya marak berkembang di negeri asalnya sendiri, Iran.

Dalam bab ketiga, Ali Syariati membahas hal-hal apa saja yang menghalangi manusia bergerak dinamis menuju arah kesempurnaan. Menurut Ali Syari’ati ada empat penjara yang menghalangi manusia ke arah gerak dinamis menuju tahap kesempurnaan. Keempat penjara tersebut, adalah ; alam, sejarah, masyarakat, dan ego. Hukum alam yang dipahami secara determinisme-mekanistik dapat menjadi penghambat bagi manusia dalam tahapan evolusinya. Karena ketidakmampuan manusia “menundukkan” alam mengakibatkan kehidupan manusia menjadi tidak efektif dan efisien. Sejarah yang merupakan peristiwa masa lalu dapat menjebak manusia pada hukum-hukum determinisnya. Hasil-hasil dari peristiwa sejarah masa lampau yang dirasakan oleh manusia hari ini bisa membuat manusia dapat terjebak pada determinisme historis yang mengakibatkan manusia bersikap pasif dan kehilangan misi futuristiknya. Hukum dan kultur yang ada dalam lingkungan masyarakat pun bisa menghambat kreasi dan inovasi manusia dalam beraktualisasi diri untuk “menemukan” kesejatian dirinya. Sedangkan ego, sebagaimana dalam tinjaun kaum psikoanalisis atau kaum hedonis akan membuat manusia senantias memperturutkan hasrat instingtifnya dan melupakan realitas ruhani yang merupakan realitas sublim bagi manusia. Padahal, Manusia dibekali oleh Tuhan dengan tiga potensi dasar, yaitu ; kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas yang sesungguhnya merupakan potensi yang memastikan manusia terus berada dalam proses becoming dan tidak pasrah atas determinisme alam.

Dalam bab ke-4, Ali Syariati mencoba untuk menyampaikan pandangannya sebagai seorang sosiolog sekaligus sejarawan yang secara spesifik mendalami sejarah peradaban dan agama-agama. Dalam bab ini beliau mencoba untuk menggambarkan bagaimana terjadinya perubahan-perubahan intelektual dan historis dalam berbagai tahap sejarah. Berkaitan dengan hal tersebut Ali Syariati mencoba untuk menggambarkan bagaimana terjadi perubahan karakteristik kaum intelektual atau cendekiawan yang disebabkan oleh perubahan kultur, kondisi sosial, religi, dan sebagainya. Pada bagian ini beliau juga mencoba untuk menggambarkan adanya kondisi yang berbeda dan memunculkan konflik yang membentuk kutub divergen antara barat dan timur. Pada bagian ini banyak kritik-kritik yang muncul atas budaya barat secara substansial dan munculnya fenomena dominasi budaya barat atas budaya timur yang menimbulkan dampak negatif bagi kaum intelektual timur yang kehilangan jatidiri ketimurannya karena terlalu berkiblat kepada barat. Gagasan yang dianjurkan oleh Syariati untuk para cendekiawan muslim yang pada umumnya berasal dari belahan dunia timur adalah “Belajar dari barat, namun jangan jadi peniru barat!”. Artinya para cendekiawan timur hendaknya tidak melepaskan nilai-nilai ketimurannya dalam menganalisis dan upaya mengubah masyarakatnya.

Setelah pembahasan mengenai konflik budaya barat-dan timur dalam bab-4, bahasan mengenai penggalian dan penyaringan sumber-sumber kebudayaan dalam bab-5  menjadi langkah tindak lanjut bagi para cendekiawan timur. Pada bab ini dibahas bagaimana para cendekiawan timur seharusnya tidak hanya mengguru kepada barat dan hanya menerjemahkan gagasan-gagasan hasil olahan para pemikir-pemikir barat. Akan tetapi lebih jauh dari itu para pemikir-pemikir dan para cendekiawan timur seharusnya menggali sendiri kekayaan budaya serta khazanah intelektual khas timur yang sesungguhnya lebih relevan dalam membedah dan menganalisis masyarakat timur itu sendiri. Apabila memang mengguru kepada barat, selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah bagaimana budaya, pemahaman, dan pemikiran-pemikiran barat tersebut dapat dikritisi kembali untuk kemudian disaring sehingga tidak terjadi kerusakan budaya timur karena penjajahan budaya barat atas kehidupan bangsa timur, khususnya dalam dunia intelektual.

Selanjutnya, pembahasan beranjak ke bab-5 yang berkaitan dengan ideologi. Pada bab ini Ali Syariati di awal pembahasan mencoba untuk menggambarkan perbedaan antara ideologi, ilmu, dan filsafat. Ideologi didefinisikan sebagai pemikiran, gagasan, konsep, atau ilmu tentang keyakinan dan cita-cita. Secara sederhana pada konteks ini, seorang ideolog digambarkan sebagai seorang yang membela atau meyakini suatu keyakinan tertentu. Ilmu dalam konteks ini didefinisikan sebagai citra pemikiran manusia tentang alam yang kongkret dan merupakan penemuan manusia tentang beberapa hubungan, suatu prinsip, karakteristik kehidupan manusia, dan sebagainya. Sementara filsafat dalam konteks ini didefinisikan sebagai suatu upaya pencarian ke arah pemahaman sesuatu yang bersifat umum dan belum diketahui serta dijangkau oleh ilmu. Perbedaan mendasar antara ideologi dengan ilmu dan filsafat adalah terletak pada keberpihakan. Biar bagaimanapun ideologi tidak akan bebas nilai. Pada poin inilah yang menyebabkan munculnya keberpihakan dalam ideologi sehingga seseorang yang berideologi dapat dikatakan memiliki keyakinan, tujuan atau kepentingan tertentu. Setelah membahas  masalah perbedaan-perbedaan tersebut, bahasan selanjutnya terkait dengan kritik-kritik terhadap kondisi ideologi masyarakat Iran dan terhadap ideologi-ideologi barat. Dalam bahasan ini dijelaskan juga bahwasanya ilmuan dan filsuf bukanlah ideolog. Seorang ideolog haruslah memiliki tujuan dan kepentingan tertentu yang didasarkan atas kesadaran-kesadaran khsusus seperti kesedaran kelas, kesadaran intelektual, dan sebagainya yang terus berproses menuju kesadaran ideologis. Dalam bagian ini juga diperkenalkan adanya konsep rhousan fikr yang menjadi cendekiawan/intelektual yang menggerakkan masyarakat.

Pada bagian terakhir dari buku ini, Ali Syariati mencoba menjelaskan lebih spesifik sekaligus praktikal tentang bagaimana seharusnya seorang intelektual muslim berperan di masyarakat. Pada intinya, seorang cendekiawan muslim seharusnya menjadi penggali identitas dan kebudayaan dan merasakan benar-benar apa yang menjadi permasalahan bagi masyarakat sehingga dapat menggerakkan dan mendorong masyarakat secara progressif menuju kemajuan peradaban. Akan tetapi dalam konteks ini perlu juga diketahui bahwasanya gagasan progressif dan mendorong alur gerak sejarah peradaban yang digagas oleh Ali Syariati tidak sama dengan gagasan marxisme. Justru pada bab ini juga banyak kritik-kritik yang disampaikan oleh Ali Syariati kepada para Marxist muda dari timur yang menghilangkan konteks ketimurannya dan hanya membeo perkataan-perkataan Marx yang dijadikan postulat sehingga banyak menimbulkan sesat pikir.

Wallahu A’lam Bis Showab
Lakon Hidup




Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall