Jumat, 29 Juli 2016

MENALAR TUHAN : SEBUAH UPAYA PERTANGGUNGJAWABAN KEYAKINAN


Sebuah Ulasan Buku Menalar Tuhan Karya Franz Magnis Suseno

Manusia merupakan makhluk berakal. Dengan akalnya, manusia berpikir dan mempertanyakan segala hal yang ingin diketahuinya. Kecenderungan dan hasrat manusia untuk selalu bertanya dan mengetahui lebih jauh merupakan sebuah hal yang alami. Setidaknya terdapat dua alasan mendasar yang membuat manusia selalu bertanya dan ingin mengerti lebih jauh, yaitu dengan mengetahui manusia bertindak dan wawasan manusia yang tak terbatas meskipun pengetahuannya terbatas. Manusia terdorong untuk selalu bertanya karena ingin mencapai pengetahuan yang lebih benar dan lebih benar lagi.  

Salah satu sasaran dari hasrat penasaran manusia ialah Tuhan. Manusia berhasrat besar dan untuk mengetahui pengetahuan yang benar tentang Tuhan. Berkaitan dengan hal tersebut maka pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan tuhan kemudian muncul. Maka, lahirlah filsafat ketuhanan yang merupakan pemikiran objektif, sistematik, dan mendasar tentang Tuhan. Seperti filsafat pada umumnya filsafat ketuhanan juga merupakan ilmu yang memastikan, menata, dan mengembangkan pengetahuan tentang tuhan secara objektif dan sistematik.

Pertanyaan tentang tuhan tentunya bukan barang baru. Ribuan tahun manusia berada dalam kondisi percaya akan tuhan dalam berbagai bentuk. Seiring dengan berkembangnya filsafat, dalam 300 tahun terakhir terjadi perkembangan budaya baru. Sejak abad 17-18 filsafat menjadi sangat kritis terhadap agama. Pertentangan pemikiran dan skeptisme yang tinggi atas Tuhan seakan menyingkirkan filsafat ketuhanan dari wacana filsafat. Diawali dar lahirnya ateisme yang meniadakan tuhan, kemudian secara diam-diam banyak filosof yang tidak lagi bicara tentang tuhan. Immanuel Kant punya andil besar melalui pernyataannya “Tuhan tidak menjadi objek pengetahuan manusia, jadi nalar tidak dapat mengetahui papaun tentangnya” yang membuat skeptisme terhadap adanya Tuhan semakin menjadi.

Akan tetapi dalam proses pertempuran pemikiran yang sangat panjang, ateisme sendiri bisa dianggap out of date sebab tidak dapat membutktikan ketidakadaan Tuhan. Pada akhirnya, filsafat modern terkesan menyerah dan menjadikan ketuhanan sebagai wacana keyakinan individu. Di lain pihak, dalam menjawab ateisme reaksi yang muncul dari orang-orang beragama sendiri justru semakin menolak pemikiran rasional tentang tuhan. Sikap yang menolak pemikiran rasional tentang Tuhan tersebut disebut dengan fideisme yang tentunya cenderung dengan fundamentalisme keimanan.

Melihat adanya aksi-reaksi tersebut kita perlu mencari titik terang untuk sebuah proses pencarian kebenaran. Orang yang percaya kepada Tuhan tidak dapat percaya asal percaya, tetapi juga mempertanggungjawabkan keimanannya secara rasional. Begitu juga dengan kaum ateis yang perlu melihat duduk permasalahan secara lebih objektif dan rasional bukan sekedar didasari atas pertimbangan ideologis. Pertanggungjawaban keimanan atau keyakinan secara rasional tersebut dapat melalui dua jalan, yaitu secara teologis dan filosofis. Keimanan secara teologis dapat dipertanggungjawabkan apabila dapat ditunjuk bahwa apa yang diimani serta kehidupan yang dijalani berdasarkan iman itu adalah sesuai dengan sumber iman itu tergantung agama yang dianut. Sementara itu pertanggungjawaban keimanan secara filosofis dapat ditunjukkan dengan rasionalitas iman menggunakan penalaran yang berfungsi untuk memeriksa keyakinan dari berbagai sudut.

Skeptisme tentang ketuhanan bisa dikatakan sangat berkaitan dengan modernitas. Dark Age di Eropa dengan abuse of power-nya gereja merupakan sebuah periode yang kelam dan mendorong setiap orang ingin mengakhirinya. Seiring dengan berkembangnya zaman, dimulai dari munculnya biji-biji wawasan baru di eropa seperti humanisme dan renaissance, mulai terjadi banyak perubahan dalam paradigme pemikiran. Masyarakat eropa saat itu mulai bertolak dari paradigme teosentris menuju antroposentris. Sejak saat itu muncullah istilah abad pencerahan yang ditandai dengan menguatnya rasionalisme , paham kemajuan, dan saintisme yang dianggap membebaskan manusia dari belenggu agama.

Seiring dengan berkembangnya budaya pemikiran yang mendasari rasionalisme dan saintisme sebagai titik utama, skeptisme terhadap ketuhanan dan agama semakin menguat. Kaum beragama mendapat tantangan besar dengan muculnya ateisme maupun agnositisme. Beberapa pemikiran ateisme filosofis yang terkenal muncul dari tokoh-tokoh seperti Feuerbach, Karl Marx, Nietzsche, Sigmund Freud, dan Sartre. Dalam buku ini, Franz Magnis Suseno mencoba untuk menanggapi dan memberikan pertimbangan-pertimbangan lain sekaligus menentang argumentasi para kritikus tersebut. Dapat disimpulkan kritik ateisme gagal karena dua hal :
  1. Kegagalan untuk membuktikan ataupun memberikan pendasaran objektif dan meyakinkan bahwa Allah tidak mungkin ada karena semua filosof tersebut tidak menyinggung pertanyaan fundamental itu.
  2. Kegagalan untuk mebebrikan penjelasan meyakinkan tentang fenomen agama. Ateisme seharusnya memberikan penjelasan mengapa manusia percaya pada Allah dan bersedia mengatur seluruh hidup sesuai dengan kepercayaan itu kalau tidak ada Allah. Argumentasi-argumentasi mereka seperti Feuerbach(agama: proyeksi hakekat manusia yang terasing), Marx(agama khayalan manusia tertindas), Nietzsche(agama pelarian manusia dari dirinya sendiri), Freud(agama: neurosis kolektif akibat kegagalan manusia dalam mengakomodasi dorongan-dorongan batin dan realitas  secara wajar), dan Sartre(agama; akibat ketakutan manusia terhadap kebebasannya) dianggap tidak tahan uji.

Berkaitan dengan pandangannya menyoal ateisme filosofis, Romo Magnis menyatakan bahwasanya ateisme-ateisme abad 19-20 bersifat ideologis dan bukan ilmiah. Dengan alasan-alasan ideologis tersebut orang tidak mau bahwa ada Tuhan dan oleh karenanya mereka mengkonstruksikan teori yang mau membuktikannya. Oleh karena itu tidaklah heran kalau kalangan ateisme, apalagi materialisme berpendapat bahwa segala apa yang ada merupakan benda fisiko-kimia atau berasal daripadanya.

Selanjutnya pada abad 20, budaya pemikiran baru pun muncul. Tuhan dianggap berada di luar cakupan filsafat sehingga hal adanya tuhan tidak dapat diketahui secara filosofis. Pandangan tersebut disebut dengan agnositisme. Di satu pihak agnositisme lebih toleran daripada ateisme. Agnosistisme tidak menolak adanya Tuhan bahkan menganggap penyangkalan adanya Tuhan merupakan tindakan ketinggalan zaman. Tetapi di lain pihak agnositisme tidak mengakui rasionalitas wacana Tuhan. Orang boleh percaya kepada Tuhan, tetapi hal tersebut tidak boleh lebih dari sekedar selera pribadi. Agama tidak boleh menjadi klaim kebenaran. Kepercayaan religius dianggap hanya menjadi unsur dalam estetika jiwa.

Dalam bahasan mengenai agnositisme, Romo Magnis kembali menjawab argumentasi-argumentasi para kritikus ketuhanan. Setidaknya, ada empat model agnositisme filofosis yang masing-masing argumennya dijawab secara logis. Keempat model tersebut adalah epistemologi Kant yang menyangkal bahwa orang dapat mengetahui sesuatu tentang Tuhan, Positivisme logis yang menyangkal makna wacana metafisik dan etika, penerapan falsifikasi Popper pada hal ketuhanan oleh Antony Flew, dan penolakan kemungkinan sebuah pendasaran akhir oleh Hans Albert.

Selain menjawab tantangan-tantangan atas wacana Tuhan, dalam Menalar Tuhan Romo Magnis juga menjelaskan pertimbangan-pertimbangan yang mengarahkan kepada bukti eksistensi Tuhan sangat masuk akal yang disebut dengan Jalan-jalan ke Tuhan. Penalaran Jalan-jalan ke Tuhan dilakukan melalui pembuktian ontologis, perubahan pandangan tentang realitas terbatas ke realitas mutlak, serta argumentasi tentang keterarahan alam. Selain itu di bagian lain Jalan-jalan ke Tuhan mencoba dicari melalui penalaran tentang kebebasan manusia dan implikasinya, argumentasi tentang eksistensi manusia, serta penjelasan tentang posisi manusia yang berhadapan dengan tuntutan mutlak dalam kesadaran moral.


Pada akhirnya, perjalanan sebuah filsafat keimanan yang mau menelurusi jejak-jejak Tuhan menemui batasnya. Akan tetapi hal tersebut bukanlah menjadi suatu alasan akan berakhirnya pertanyaan-pertanyaan manusia tentang Tuhan. Pertanyaan-pertanyaan dan penalaran atas Tuhan harus terus ada sebab Tuhan memberikan daya nalar manusia untuk digunakan. Imam tidak seharusnya berada pada posisi yang bertentangan dengan pengertian. Antara keimanan dan pengertian justru bisa saling mendukung, Fides Quares Intellectum. Filsafat bisa mengikuti pertimbangan-pertimbangan agama sebagai pendukung. Begitupun agama yang tidak perlu memusuhi penalaran filsafat tetapi justru bisa mengantarkannya kepada dimensi yang lebih dalam. Kalau Allah bisa menjadi pertanyaan, Allah juga bisa menjadi jawaban. 

Sumber : 

Suseno, Franz Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall