Sebuah Ulasan Buku Menalar Tuhan Karya Franz Magnis Suseno
Manusia merupakan makhluk
berakal. Dengan akalnya, manusia berpikir dan mempertanyakan segala hal yang
ingin diketahuinya. Kecenderungan dan hasrat manusia untuk selalu bertanya dan
mengetahui lebih jauh merupakan sebuah hal yang alami. Setidaknya terdapat dua
alasan mendasar yang membuat manusia selalu bertanya dan ingin mengerti lebih
jauh, yaitu dengan mengetahui manusia bertindak dan wawasan manusia yang tak
terbatas meskipun pengetahuannya terbatas. Manusia terdorong untuk selalu
bertanya karena ingin mencapai pengetahuan yang lebih benar dan lebih benar
lagi.
Salah satu sasaran dari hasrat
penasaran manusia ialah Tuhan. Manusia berhasrat besar dan untuk mengetahui pengetahuan
yang benar tentang Tuhan. Berkaitan dengan hal tersebut maka
pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan tuhan kemudian muncul. Maka, lahirlah
filsafat ketuhanan yang merupakan pemikiran objektif, sistematik, dan mendasar
tentang Tuhan. Seperti filsafat pada umumnya filsafat ketuhanan juga merupakan
ilmu yang memastikan, menata, dan mengembangkan pengetahuan tentang tuhan
secara objektif dan sistematik.
Pertanyaan tentang tuhan tentunya
bukan barang baru. Ribuan tahun manusia berada dalam kondisi percaya akan tuhan
dalam berbagai bentuk. Seiring dengan berkembangnya filsafat, dalam 300 tahun
terakhir terjadi perkembangan budaya baru. Sejak abad 17-18 filsafat menjadi
sangat kritis terhadap agama. Pertentangan pemikiran dan skeptisme yang tinggi
atas Tuhan seakan menyingkirkan filsafat ketuhanan dari wacana filsafat.
Diawali dar lahirnya ateisme yang meniadakan tuhan, kemudian secara diam-diam
banyak filosof yang tidak lagi bicara tentang tuhan. Immanuel Kant punya andil
besar melalui pernyataannya “Tuhan tidak menjadi objek pengetahuan manusia,
jadi nalar tidak dapat mengetahui papaun tentangnya” yang membuat skeptisme
terhadap adanya Tuhan semakin menjadi.
Akan tetapi dalam proses pertempuran
pemikiran yang sangat panjang, ateisme sendiri bisa dianggap out of date sebab
tidak dapat membutktikan ketidakadaan Tuhan. Pada akhirnya, filsafat modern
terkesan menyerah dan menjadikan ketuhanan sebagai wacana keyakinan individu.
Di lain pihak, dalam menjawab ateisme reaksi yang muncul dari orang-orang
beragama sendiri justru semakin menolak pemikiran rasional tentang tuhan. Sikap
yang menolak pemikiran rasional tentang Tuhan tersebut disebut dengan fideisme
yang tentunya cenderung dengan fundamentalisme keimanan.
Melihat adanya aksi-reaksi
tersebut kita perlu mencari titik terang untuk sebuah proses pencarian
kebenaran. Orang yang percaya kepada Tuhan tidak dapat percaya asal percaya,
tetapi juga mempertanggungjawabkan keimanannya secara rasional. Begitu juga
dengan kaum ateis yang perlu melihat duduk permasalahan secara lebih objektif
dan rasional bukan sekedar didasari atas pertimbangan ideologis. Pertanggungjawaban
keimanan atau keyakinan secara rasional tersebut dapat melalui dua jalan, yaitu
secara teologis dan filosofis. Keimanan secara teologis dapat
dipertanggungjawabkan apabila dapat ditunjuk bahwa apa yang diimani serta
kehidupan yang dijalani berdasarkan iman itu adalah sesuai dengan sumber iman
itu tergantung agama yang dianut. Sementara itu pertanggungjawaban keimanan
secara filosofis dapat ditunjukkan dengan rasionalitas iman menggunakan penalaran
yang berfungsi untuk memeriksa keyakinan dari berbagai sudut.
Skeptisme tentang ketuhanan bisa
dikatakan sangat berkaitan dengan modernitas. Dark Age di Eropa dengan abuse of power-nya gereja merupakan
sebuah periode yang kelam dan mendorong setiap orang ingin mengakhirinya.
Seiring dengan berkembangnya zaman, dimulai dari munculnya biji-biji wawasan
baru di eropa seperti humanisme dan renaissance, mulai terjadi banyak perubahan
dalam paradigme pemikiran. Masyarakat eropa saat itu mulai bertolak dari
paradigme teosentris menuju antroposentris. Sejak saat itu muncullah istilah
abad pencerahan yang ditandai dengan menguatnya rasionalisme , paham kemajuan,
dan saintisme yang dianggap membebaskan manusia dari belenggu agama.
Seiring dengan berkembangnya
budaya pemikiran yang mendasari rasionalisme dan saintisme sebagai titik utama,
skeptisme terhadap ketuhanan dan agama semakin menguat. Kaum beragama mendapat
tantangan besar dengan muculnya ateisme maupun agnositisme. Beberapa pemikiran
ateisme filosofis yang terkenal muncul dari tokoh-tokoh seperti Feuerbach, Karl
Marx, Nietzsche, Sigmund Freud, dan Sartre. Dalam buku ini, Franz Magnis Suseno
mencoba untuk menanggapi dan memberikan pertimbangan-pertimbangan lain
sekaligus menentang argumentasi para kritikus tersebut. Dapat disimpulkan
kritik ateisme gagal karena dua hal :
- Kegagalan untuk membuktikan ataupun memberikan pendasaran objektif dan meyakinkan bahwa Allah tidak mungkin ada karena semua filosof tersebut tidak menyinggung pertanyaan fundamental itu.
- Kegagalan untuk mebebrikan penjelasan meyakinkan tentang fenomen agama. Ateisme seharusnya memberikan penjelasan mengapa manusia percaya pada Allah dan bersedia mengatur seluruh hidup sesuai dengan kepercayaan itu kalau tidak ada Allah. Argumentasi-argumentasi mereka seperti Feuerbach(agama: proyeksi hakekat manusia yang terasing), Marx(agama khayalan manusia tertindas), Nietzsche(agama pelarian manusia dari dirinya sendiri), Freud(agama: neurosis kolektif akibat kegagalan manusia dalam mengakomodasi dorongan-dorongan batin dan realitas secara wajar), dan Sartre(agama; akibat ketakutan manusia terhadap kebebasannya) dianggap tidak tahan uji.
Berkaitan
dengan pandangannya menyoal ateisme filosofis, Romo Magnis menyatakan bahwasanya
ateisme-ateisme abad 19-20 bersifat ideologis dan bukan ilmiah. Dengan alasan-alasan
ideologis tersebut orang tidak mau bahwa ada Tuhan dan oleh karenanya mereka
mengkonstruksikan teori yang mau membuktikannya. Oleh karena itu tidaklah heran
kalau kalangan ateisme, apalagi materialisme berpendapat bahwa segala apa yang
ada merupakan benda fisiko-kimia atau berasal daripadanya.
Selanjutnya
pada abad 20, budaya pemikiran baru pun muncul. Tuhan dianggap berada di luar
cakupan filsafat sehingga hal adanya tuhan tidak dapat diketahui secara
filosofis. Pandangan tersebut disebut dengan agnositisme. Di satu pihak
agnositisme lebih toleran daripada ateisme. Agnosistisme tidak menolak adanya
Tuhan bahkan menganggap penyangkalan adanya Tuhan merupakan tindakan
ketinggalan zaman. Tetapi di lain pihak agnositisme tidak mengakui rasionalitas
wacana Tuhan. Orang boleh percaya kepada Tuhan, tetapi hal tersebut tidak boleh
lebih dari sekedar selera pribadi. Agama tidak boleh menjadi klaim kebenaran.
Kepercayaan religius dianggap hanya menjadi unsur dalam estetika jiwa.
Dalam bahasan
mengenai agnositisme, Romo Magnis kembali menjawab argumentasi-argumentasi para
kritikus ketuhanan. Setidaknya, ada empat model agnositisme filofosis yang
masing-masing argumennya dijawab secara logis. Keempat model tersebut adalah
epistemologi Kant yang menyangkal bahwa orang dapat mengetahui sesuatu tentang
Tuhan, Positivisme logis yang menyangkal makna wacana metafisik dan etika,
penerapan falsifikasi Popper pada hal ketuhanan oleh Antony Flew, dan penolakan
kemungkinan sebuah pendasaran akhir oleh Hans Albert.
Selain
menjawab tantangan-tantangan atas wacana Tuhan, dalam Menalar Tuhan Romo Magnis
juga menjelaskan pertimbangan-pertimbangan yang mengarahkan kepada bukti eksistensi
Tuhan sangat masuk akal yang disebut dengan Jalan-jalan ke Tuhan. Penalaran
Jalan-jalan ke Tuhan dilakukan melalui pembuktian ontologis, perubahan
pandangan tentang realitas terbatas ke realitas mutlak, serta argumentasi
tentang keterarahan alam. Selain itu di bagian lain Jalan-jalan ke Tuhan
mencoba dicari melalui penalaran tentang kebebasan manusia dan implikasinya,
argumentasi tentang eksistensi manusia, serta penjelasan tentang posisi manusia
yang berhadapan dengan tuntutan mutlak dalam kesadaran moral.
Pada akhirnya,
perjalanan sebuah filsafat keimanan yang mau menelurusi jejak-jejak Tuhan menemui
batasnya. Akan tetapi hal tersebut bukanlah menjadi suatu alasan akan
berakhirnya pertanyaan-pertanyaan manusia tentang Tuhan. Pertanyaan-pertanyaan
dan penalaran atas Tuhan harus terus ada sebab Tuhan memberikan daya nalar
manusia untuk digunakan. Imam tidak seharusnya berada pada posisi yang
bertentangan dengan pengertian. Antara keimanan dan pengertian justru bisa
saling mendukung, Fides Quares
Intellectum. Filsafat bisa mengikuti pertimbangan-pertimbangan agama
sebagai pendukung. Begitupun agama yang tidak perlu memusuhi penalaran filsafat
tetapi justru bisa mengantarkannya kepada dimensi yang lebih dalam. Kalau Allah
bisa menjadi pertanyaan, Allah juga bisa menjadi jawaban.
Sumber :
Suseno, Franz Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Tidak ada komentar
Posting Komentar