Kamis, 04 September 2014

KEMILAU JAKET KUNING & KEMEGAHAN KAMPUS PERJUANGAN(Sebuah Argumentasi)


KEMILAU JAKET KUNING & KEMEGAHAN KAMPUS PERJUANGAN

(Sebuah Argumentasi)

Beberapa hari yang lalu saya berdiskusi dengan sahabat diskusi saya di media sosial. Sahabat saya itu bernama Muhammad Retas Aqabah, seorang mahasiswa UGM, jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota. Saya banyak belajar dari dia soal kepemimpinan dan keorganisasian. Karena kami memiliki banyak kesamaan latar belakang dan sama-sama mengabdikan diri untuk organisasi, akhirnya kami pun kerap kali berdiskusi dalam berbagai bahasan. Masalah-masalah internal di sekolah, pergerakan mahasiswa, masalah agama, bahkan sampai urusan naik gunung bisa menjadi topik bahasan kami.

Berawal dari status yang dibuatnya di Facebook, saya menanggapi dengan beberapa komentar yang akhirnya mengarahkan kami untuk kembali berdiskusi dan membahas tentang pergerakan mahasiswa serta perbedaan pandangan hidup antara mahasiswa Depok dan Jogja. Sebelum sampai pada tahap bahasan mengenai pergerakan, diskusi kami hanya seputar saling memberikan semangat untuk berkontribusi di tempat kami masing-masing. Namun, saat Bang Retas mulai memberikan pernyataan tentang Jogja sebagai rahim pergerakan mahasiswa serta keterjaminan mahasiswa Jogja dari intervensi dalam pergerakan diskusi semakin menarik.

Setelah membaca penyataan dari Bang Retas, saya pun patut mengakui sebagiannya. Ya, bagi saya pergerakan kami di sini harus dimurnikan dari segala yang hedonis. Melihat realita bahwa di sekitar kita masih banyak rakyat jelata. Lalu, saya kembali menanggapi pernyataan tersebut dengan tanggapan ideology kampus kerakyatan harus ditularkan kepada kami yang ada di sini. Kemudian Bang Retas menanggapi pernyataan saya demikian:


Setelah membaca tanggapan balik dari Bang Retas tersebut, saya memutuskan untuk tidak terburu-buru dalam menanggapinya. Saya harus benar-benar berpikir kritis dalam memberikan tanggapan yang paling tepat dan memberikan argumentasi terbaik.

Saya mulai menanggapi pernyataan ini dengan membahas makna filosofis jaket kuning. Bagaimana makna filosofis jaket kuning yang sesungguhnya? Saya mungkin masih tergolong mahasiswa baru di Universitas Indonesia. Jaket kuning pun baru saya dapatkan dalam waktu kurang dari dua minggu. Akan tetapi ketika saya mencoba mencari tahu mengenai makna jaket kuning, saya menemukan pendapat bahwasanya makna jaket kuning disimbolkan sebagai bentuk kehati-hatian bagi mereka yang melihatnya. Dalam konteks ini, contohnya ketika pejabat dan mahasiswa UI sedang berdiskusi dan duduk bersama membahas suatu permasalahan maka mereka harus berhati-hati terhadap sikap dan pemikiran kritis dari mahasiswa UI tersebut. Kemudian, identitas jaket kuning sendiri sesungguhnya tidak ingin menunjukkan kesan mencolok dan ingin dilihat lebih di mata masyarakat. Akan tetapi, menurut angkatan 66 jaket kuning sendiri sesungguhnya menyimbolkan kedekatan mahasiswa dengan rakyat, dan mahasiswa adalah bagian dari rakyat.

Menjawab pernyataan selanjutnya mengenai kemegahan kampus kami di Depok. Secara fisik kampus kami saat ini di Depok jauh lebih muda ketimbang kampus UGM di Jogjakarta. Pada awalnya, setelah UI melahirkan ITB, IPB, UNHAS dan lain-lain kampus UI terletak di daerah Salemba dan Rawamangun. Kemudian kampus Salemba dan Rawamangun secara fisik dinilai kurang memadai jika mempertimbangkan pembangunan UI selanjutnya. Akhirnya, pada tahun 80-an kampus UI dipindahkan ke Depok dengan berbagai macam pertimbangan. Seperti harga tanah yang murah(pada saat itu), luas wilayah, daya dukung lingkungan, dan letaknya yang dianggap cukup strategis karena dekat dengan pusat pemerintahan.

Secara fisik bangunan Universitas Indonesia memang terlihat lebih megah jika dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Negeri lainnya. Saya memandang hal tersebut bukanlah sebagai sesuatu yang menunjukkan kesombongan ataupun kesan ekslusif. Karena menurut saya, Indonesia sudah sepatutnya memiliki Universitas yang berkelas dunia baik dari segi keilmuan maupun sarana dan prasarana. Jika kita menilisik lebih jauh, ada alasan yang cukup kuat untuk membangun Universitas Indonesia dengan berbagai macam fasilitasnya. Pemerintah seakan menjadikan Universitas Indonesia sebagai politik mercusuar dalam dunia pendidikan dan mencitrakan kemegahan bangsa Indonesia di mata dunia.

Hal ketiga yang kita anggap cukup remeh berkaitan dengan keberadaan Starbucks di perpus UI. Kemegahan perpus UI sebagai perpustakaan terbesar di Asia Tenggara memang cukup menarik perhatian. Sehingga mungkin tak lengkap rasanya jika perpustakaan hanya berisikan buku-buku dan literatur tanpa ditunjang oleh fasilitas lainnya. Satu hal yang harus kita sadari adalah Universitas Indonesia mungkin memiliki porsi yang cukup besar dalam menerima mahasiswa yang berasal dari mancanegara. Oleh sebab itu, tidak mungkin jika mereka langsung bisa menerima gaya hidup masyarakat Indonesia pada umumnya dalam berbagai bentuk, termasuk makanan. Oleh sebab itu, beberapa restoran yang terletak di wilayah Perpustakaan UI dirancang sebagai fasilitas yang memudahkan para mahasiswa mancanegara, termasuk Starbucks.

Sebuah refleksi yang cukup menarik ketika kita mahasiswa berjaket kuning diingatkan melalui sebuah pandangan dari kawan-kawan kita sesama mahasiswa. Kini sudah saatnya bagi kita untuk membuka  mata tentang segala kekurangan kita. Mungkin gaya hidup kita memanglah gaya hidup perkotaan. Jelas saja, karena kita hidup bermesraan dengan raungan mesin di ibukota. Kedua bola mata kita sudah akrab menatap bangunan-bangunan yang saling bercermin. Seandainya ibukota tidak di sini, mungkin akan berbeda cerita. Tetapi bicara tentang pengabdian dan perjuangan, kita harus tetap berada di garis terdepan. Dengan semangat yang telah dititiskan oleh para pendahulu kita. Dengan Buku, Pesta, dan Cinta.

Hidup Mahasiswa!
Hidup Rakyat Indonesia!

(LAKON HIDUP)



4 komentar

  1. -_-agak nggak suka sih sm screenshotan retas, tak perlu menjatuhkan yg lain untuk terlihat tinggi. karna nggak ada sesuatu apapun yg sempurna, sebenernya nggak usah iri-irian sih, buktiin aja pake aksi nyata. berlomba2 dalam kebaikan, dan senantiasa tebar manfaat:)

    BalasHapus
  2. "dan letaknya yang dianggap cukup strategis karena dekat dengan pusat pemerintahan." Lalu kenapa pindah ke Depok? Padahal di Salemba atau Rawamangun itu lebih dekat dengan pemerintah. Justru, mahasiswa UI ingin dijauhkan dari pemerintah.

    Kamu perlu belajar lebih banyak lagi. Tapi untuk tulisan mahasiswa baru sudah baik. Semangat.

    BalasHapus
  3. Terima kasih telah membaca blog saya beserta tanggapan-tanggapannya yang saya rasa cukup menarik.

    Untuk Mas Mushab Abdu Asy Syahid:
    Untuk menjawab pertanyaan mas ini sepertinya kita bisa kembali ke paragraf 6 baris 5-6. Disitu saya sudah nyatakan mengapa sebabnya.

    Terima Kasih

    BalasHapus
  4. mau apapun warna almamater kalian, mau seaktif apapun kalian dikampus, kalian tetap sama-sama mahasiswa, agak berat jika membuka topik pembicaraan tentang masyarakat, banyak sekali program mahasiswa yang bertujuan kepada sosial, tak kira lah itu dari universitas yang terkenal dengan hedonisme nya lah, atau dari universitas dengan warna almamater yang sama dengan karung goni lah, jika frasa 'Hidup Mahasiswa' 'Hidup Rakyat Indonesia' kita jadikan pedoman dan tujuan tak akan ada pandangan tentang eksistensi di setiap pemikiran mahasiswa yang ada bagaimana dirinya menjadi jembatan kehidupan;lentera pengetahuan untuk masyarakat.

    kutunggu kalian para mahasiswa yang berbudaya, beradab, dan intelek untuk mengabdi kepada masyarakat dan membuktikan setiap pemikiran dan orasi yang kalian gebu-gebukan demi 'kesejahteraan' masyarakat katanya. heuheuheu :)

    BalasHapus

© BUKAMATA
Maira Gall