Lebih dari dua
minggu yang lalu, salah seorang sahabat diskusi saya, Ismail Faruqi menanyakan
kepada saya sebuah pertanyaan yang sudah menjadi bahan obrolan di grup angkatan
kami. Sesungguhnya saya sangat ingin turut aktif bergabung dalam diskusi
tersebut, namun sayangnya fasilitas line saya sedang tidak memungkinkan. Saya
cukup tidak enak dengannya karena saya menjawab pertanyaan ini cukup lama.
Namun apa boleh buat, meskipun baru di semester pertama dan justru memang
karena baru di semester pertama kesibukan saya sudah cukup terasa padat. Kejar
deadline tugas sana-sini sudah menjadi makanan sehari-hari. Karena sudah
kepalang tidak enak jika hanya memberikan jawaban melalui media sesama yang
cukup terbatas, maka saya memutuskan untuk memberikan jawaban saya melalui blog
ini.
Masuk pada
pertanyaan yang diajukan oleh Ismail Faruqi(Uqi) mengenai pandangan saya
tentang Pilkada. Apakah langsung, ataukah tidak langsung yang lebih saya
setujui?
Dalam sejarah demokrasi, bisa dikatakan negara
kita sudah melalui jalan yang berliku-liku. Bahkan secara hiperbolis saya
katakan seperti mendaki gunung dan turuni lembah. Bahkan, demokrasi di
Indonesia bisa diklasifikasikan menjadi empat babak, yaitu masa demokrasi
konstitusional, masa demokrasi terpimpin, masa demokrasi Pancasila, dan masa
reformasi. Jika saya analogikan dengan permainan laying-layang, maka
Undang-undang yang mengatur hukum di negeri ini ibarat layang-layang yang dapat
ditarik-ulur untuk agar terbang semakin tinggi setinggi kepentingan para
pembuatnya. Pada masa awal berdirinya Republik ini, sangatlah wajar jika
terjadi gejolak-gejolak yang banyak merubah hal-hal fundamental. Mulai dari
sistem pemerintahan dari presidensil ke parlementer, jumlah partai peserta
pemilu, undang-undang dasar, pemberontakan-pemberontakan, dll. Semua telah
dilalui sepanjang kisah 69 tahun kemerdekaan negeri ini. Tarik-ulur kekuasaan
berdasarkan kepentingan yang masih abu-abu apakah murni, apakah sarat akan
intervensi.
Saya seringkali
melihat berita-berita di televisi tentang hal-hal yang terjadi baru-baru ini.
Perdebatan panjang dalam perumusan sebuah undang-undang kontroversial kerapkali
menjadi Headline dan terus-menerus dibahas. Saya mungkin mencoba merubah
pandangan saya tentang politik sejak saya membaca pemikiran para pakar politik
yang saya kaji dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Politik. Betapa indahnya
politik dalam teori-teori yang mereka kembangkan. Namun, betapa suramnya
kenyataan yang kita jumpai saat ini.
Saya mencoba
menganalisis lebih jauh tentang masalah Pemilukada yang dipilih oleh DPRD. Jika
ditanya setuju atau tidak, maka saya akan menjawab dengn tegas saya tidak
setuju. Dasar pemeikiran saya akan sikap ini tentunya bukan hanya sekedar mengikuti
arus isu. Berangkat dari pemikiran-pemikiran saya yang terbentuk semenjak
mempelajari ilmu politik saya mencoba memahami fungsi-fungsi lembaga politik
lebih jauh. Kemudian saya merasa sikap saya tersebut semakin diperkuat setelah
mendengarkan argumentasi yang dipaparkan oleh seorang ahli hukum tata negara,
yaitu Refli Harun. Kemudian, saya juga berpikir lebih jauh setelah menyaksikan
tayangan-tayangan di televise atau membaca beberapa headline di media. Setelah
melakukan kedua hal tersebut saya mencoba mengaitkannya dengan
konsepsi-konsepsi yang bergumul di kepala saya.
Saya mencoba
memulai analisis dengan hal-hal yang saya pahami dalam ilmu politik. Kita
memulai analisis-analisis tersebut dengan konsep trias politika. Jika berbicara
mengenai konsep trias politik, rasanya sudah tak asing lagi bagi kita. Konsep
trias politika merupakan sebuah doktrin yang pertama kali dikemukakan oleh John
Locke(1632-1704) dan Montesquieu(1689-1755). Pada saat itu trias politika masih
diartikan sebagai pemisahan kekuasaan(segregation of power). Menurut John Locke di dalam bukunya Two
Treatis on Civil Government (1690) sebagai kritik atas kekuasaan raja-raja
Stuart kekuasaan harus dibagi menjadi tiga kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif,
dan federatif. Begitu pula dengan seorang filsuf Perancis, yaitu Montesquieu
dalam bukunya L’Esprit des Lois (1748) sebagai kritik atas sikap
despotis raja-raja Bourbon kekuasaan harus dibagi tiga, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Montesquieu juga
mengngkapkan bahwasanya kemerdekaan hanya dapat dijamin jika ketiga fungsi
tersebut tidak dijalankan oleh satu badan, tetapi ketiganya harus terpisah.
Mencoba menarik konsep ini ke dalam konteks
perkembangan demokrasi di Indonesia mungkin cukuplah berbelit. Undang-undang
Dasar di Indonesia tidak secara eksplisit menyatakan untuk menganut doktrin
trias politika. Akan tetapi karena Undang-undang dasar menyelami jiwa dari
demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut trias
politika dalam arti pembagian kekuasaan(Miriam Budiardjo, 1970).
Konsep pembagian kekuasaan ini mungkin dapat digunakan
sebagai dalih untuk menyatakan dukungan terhadap menguatnya kekuasaan
legislatif sebagai bentuk reaksi penyeimbangan kekuasaan eksekutif. Akan
tetapi, kita juga harus menyadari bahwasanya sistem pemerintahan yang berlaku
di negara kita adalah presidensil, bukan parlementer. Artinya, pemilihan kepala
pemerintahan tidak harus dilakukan secara perwakilan. Jika ditarik kembali
secara historis, Indonesia pernah menggunakan sistem pemilihan umum yang
diwakilkan sebelum pemilihan langsung. Pada saat itu presiden dipilih oleh MPR.
Jika ditinjau lebih jauh, menurut pemikiran ahli hukum tata negara, Refli
Harun, alasan presiden dipilih oleh MPR ialah karena MPR menurut konsep Bung Karno
sebagai jelmaan rakyat. Oleh karena itu presiden bisa dikatakan sebagai
mandataris MPR. Kemudian, hal yang harus kita ingat adalah pada saat itu
kondisi masyarakat belum seperti sekarang yang dianggap sudah mampu untuk
menjalankan pemilihan langsung, sehingga sangat tidak memungkinkan jika
pemilihan umum dilaksanakan secara langsung.
Pada masa Soeharto, konsep MPR yang konservatif
dipertahankan. MPR tetap dijadikan sebagai lembaga tertinggi negara yang dapat
menghentikan dan mengangkat presiden. MPR juga dapat mengeluarkan
ketetapan-ketetapan yang dapat mengatur atau membatasi kekuasaan presiden. Akan
tetapi fungsi normatif MPR tersebut malah menyimpang. Penyimpangan fungsi
normatif tersebut justru semakin memperkuat fungsi lembaga eksekutif sehingga terbentuklah
pemerintahan yang otoriter bahkan bertahan dalam waktu 32 tahun. Dalam jangka
waktu 32 tahun tersebut tentunya banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam
pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga negara yang pada akhirnya diakhiri dengan
reformasi.
Setelah reformasi UUD mengalami amandemen. Salah satu
isi amandemen tersebut ialah menata kembali fungsi lembaga-lembaga tinggi
negara. Jika sebelumnya MPR diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara, namun
saat ini posisi MPR sudah sejajar dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
Saat ini terdapat lima lembaga tinggi negara atau yang kita kenal dengan
suprastuktur yang berdiri secara sejajar dan menjalankan fungsi mereka
masing-masing. Presiden beserta jajarannya sebagai menjalankan fungsi eksekutif.
DPR menjalankan fungsi legislatif. Mahkamah Tinggi negara menjalankan fungsi
Yudikatif. BPK menjalankan fungsi eksaminatif. Dan yang terakhir MPR
menjalankan fungsinya sebagai lembaga konstitutif. Penjabaran fungsi-fungsi
tersebut sudah menjelaskan terjadinya pembagian kekuasaan di negeri ini.
Berkaitan dengan fenomena yang terjadi saat ini
mengenai Pemilukada tak langsung tentunya patut kita kritisi kembali. Jika
dikaitkan dengan argumen berlandaskan historis bahwasanya pada zaman dahulu
Pemilihan Umum di Indonesia dilaksanakan secara perwakilan, maka akan terjadi
kejanggalan dalam fungsi. Jika kita kritisi, Pemilihan Kepala Daerah yang
diwakilkan oleh DPRD tidaklah sesuai relevan. Sebab DPRD tidak bisa
dianalogikan dengan MPR. Akan tetapi lembaga yang analog dengan DPRD adalah
DPR. Fungsi utama DPR adalah menyusun undang-undang, bukan memilih presiden.
Jadi, jika dianalogikan antara DPRD dan DPR maka DPRD tidak memiliki hak untuk
memilih kepala daerah karena Indonesia juga menganut sistem presidensil yang
artinya kekuasaan utama terletak di pihak eksekutif bukan legislatif. Jika
kembali dianalogikan antara DPRD dan DPR, maka posisi DPRD(legislatif) dan
kepala daerah (eksekutif) adalah sejajar. Sehingga hubungan di antara mereka
harusnya bersifat Check and Balances bukan salah satunya dapat
mendominasi seperti yang tercermin jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh
DPRD atau dalam konteks ini sebagai lembaga legislatif.
Mengikuti perkembangan isu-isu yang terjadi selama
ini, saya menyangsikan perilaku politik para pejabat yang saat ini sedang
berada di pemerintahan maupun parlemen. Adanya Undang-undang Pemilihan Kepala
Daerah tak langsung ini seakan dijadikan ajang balas dendam kekalahan satu
pihak dalam satu fungsi kekuasaan sehingga pihak yang kalah tersebut berusaha
mendominasi kekuasaan di dalam fungsi lain.
Selain hal tersebut kita juga perlu mengkritisi
pemikiran yang menyatakan bahwasanya pemilukada tak langsung lebih
meminimalisir terjadinya konflik atau praktek KKN. Adakah yang bisa menjamin
pernyataan tersebut? Saya malah kembali menyangsikannya sebab saya berpikir
bahwasanya hal tersebut justru akan semakin membuka peluang meluasnya praktek
KKN. Akan sangat mungkin jika lelang jabatan akan meluas. Pemerintahan yang
otoriter bisa saja kembali terjadi jika kekuasaan legislatif terlalu meluas sehingga dapat mengendalikan
lembaga eksekutif.
Mari kita membuka mata! Mengkaji setiap kemungkinan,
lalu menentukan sikap kita!
-LAKON HIDUP-
gua cuma ngutip dari guru besar feb, dia ngajar ekonomi pengantar.
BalasHapus"Indonesia itu masih belum cocok untuk mengadakan pemilu secara langsung, karena sebagian besar rakyat indonesia yang masih berada di bwah garis kemiskinan. sehingga suaranya sangat mudah untuk dibeli. Sebuah negara sudah pantas menggunakan sistem pemilu langsung kalau sebagian besar rakyatnya sudah berada di atas garis kemiskinan. sehingga suara yang diberikan memang benar-benar suara yang diinginkan, bukan suara akibat dibeli. dengan adannya pemilu langsung, para calon kepala daerah akan brusaha untuk menggunakan cara paling efektif untuk mendapatkan suara, cara itu ya dengan beli suara, dan selama ini yang paling efketif adalah serangan fajar. dengan cara-cara seperti itu, maka dana kampanye untuk satu orang calon akan sangat besar. biaya yang sangat besar ini akan mengakibatkan dimasa pimpinanya nnti ia akan berusaha mengembalikan modal kampanyenya dan memperkaya dirinya. caranya ya KKN itu."
sebenere dari dua pilihan itu mnurutku resikonya sama, cuma kalo pemilihan tak langsung negara bisa ngehemat tinta, kertas, box, panitia kpu, sama saksi-saksi yang g pnting itu.
Terima kasih mas sudah memberikan tanggapan atas posting saya ini...
BalasHapusYa memang kita tidak bisa menutup mata juga mas menanggapi kondisi masyarakat kita yang saat ini dirasa belum siap karena masih berada di bawah garis kemiskinan sehingga suaranya rentan untuk dibeli. Namun kita juga tidak bisa menjustifikasi kekurangan masyarakat ini dengan menabrak konsep-konsep yang terkandung dalam sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh Indonesia ini. Kalau kita kaji dari konsep pembagian kekuasaan dan demokrasi, sistem pemerintahan presidensil tidak menghendaki dipilihnya pihak eksekutif(presiden, gubernur,bupati, atau walikota) oleh pihak legislatif(dpr atau dprd). Karena kalau eksekutif ditentukan oleh legislatif artinya sistem pemerintahan tersebut menganut asas-asas sistem parlementer.
Tapi memang biar bagaimanapun juga keduanya tetap memiliki resiko sebagaimana yang mas katakan...
tapi ya namanya juga negeri kita sedang proses dan masih belajar berdemokrasi. Pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Apalagi secara ideologi kita sudah punya landasan sendiri, yakni pancasila...