Selasa, 30 Juni 2015

Kasak-kusuk Masalah LGBT


       

       Akhir-akhir ini dunia sedang ramai membicarakan masalah LGBT(Lesbian-Gay-Bisexual-Transexual). Cukup menarik untuk dijadikan bahan diskusi dan tentunya output yang dihasilkan seperti tulisan. Di dalam satu kelompok diskusi yang saya terhimpun di dalamnya beberapa hari ini tak henti-henti membicarakan isu tersebut dengan berbagai macam sudut pandangnya. Meskipun seragam-ragamnya pun tendensinya jelas mengarah ke arah yang sama, menolak pastinya. Secara ringkas dugaan saya mungkin sebab religiusitas kawan-kawan diskusi saya yang memang cukup di atas rata-rata meskipun tidak ada yang pernah bisa menakarnya karena memang satu-satunya dzat yang berhak menilainya ialah Allah SWT yang bagi saya sejatinya Tuhan Yang Maha Esa. Wallahu A’lam !

           Berbicara mengenai LGBT tentunya tidaklah mudah. Apalagi bagi orang seperti saya yang hidup di lingkungan yang tidak serta merta secara hitam putih mengatakan sepakat setuju atau menolak menentang. Oleh karena itu saya harus berhati-hati untuk membicarakan ini. Salah-salah, bisa dihujat sana-sini. Mungkin memang hal ini bukan hanya terjadi dalam hal LGBT. Masyarakat kita mungkin sudah punya mindset seperti ini sejak zaman dahulu. Meskipun tanpa data yang benar-benar akurat, namun mungkin sebagian dari kita sadar bahwasanya pada faktanya ketika terjadi pelemahan PKI pasca 1965 setiap hal yang berbau pro sosialisme-komunisme sudah pasti menentang Pancasila dan dianggap anti agama. Padahal, jika kita pikir ulang, apakah hal tersebut sudah tepat untuk dijadikan kesimpulan? Silahkan anda sendiri yang menjawabnya dan kita kembali pada bahasan LGBT.

        Sejujurnya saya bukanlah orang yang memiliki kapasitas apa-apa untuk membicarakan hal ini. Mungkin saya hanya sotoy-sotoyan saja dan mungkin terlalu dangkal. Namun, sedikit tulisan ini mungkin menjadi ekspresi saya tentang fenomena (ekspresi publik tentang) LGBT. Alhamdulillah, jika dirasa-rasa saya adalah laki-laki yang memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis. Dan saya merasa bahwasanya itu adalah anugerah Tuhan yang sangat luar biasa. Saya seorang muslim, meskipun terkadang saya takut untuk mengatakannya sebab membaca kutipan Cak Nun “Aku menyebut diriku muslim saja tidak berani, karena itu merupakan hak preogratif Allah untuk menilaiku Muslim atau bukan”. Wah, Cak Nun? Sekilas beberapa dari anda yang membacanya mungkin akan segera melabel saya dengan tagar #liberaldetected. Tenang, anda tidak salah kok jika memang itu tafsiran anda karena anda pun bukan yang pertama. Bagi saya, yang salah yang mengajarkan anda untuk membangun cara berpikir seperti itu. Tapi sebelum keliru lebih jauh, saya perlu tegaskan jika saya bukan pengikut JIL ataupun simpatisan orang-orang yang sering anda sebut kafir atau sekuler itu. Jadi, saya bukan antek-antek kafir, freemason, illuminati, atau apapun itu. Ups, sudah terlalu jauh, mari kita kembali membahas LGBT.

          Jika ditanya menolak atau mendukung, saya jawab tidak sejalan. Saya sebagai muslim 100% percaya bahwasanya apa yang telah menjadi ketetapan Allah ialah yang paling sempurna. Saya berpendapat demikian sebab pandangan saya sebagai seorang muslim. Dalam agama saya, laki-laki hanyalah untuk perempuan, dan begitupun sebaliknya. Dalam agama yang saya rasa paripurna tersebut, kodrat laki-laki dan perempuan pun dibahas sedemikian rupa. Ada aturan-aturan khusus mengatur hidup kami sebagai muslim dan muslimah yang bahkan tidak bisa ditawar atau ditolak atas nama apapun termasuk Hak Asasi. Ya, sekilas itulah gambaran aturan dan pandangan terhadap LGBT dari agama kami.

       Jikalau di Amerika Serikat terjadi legalisasi pernikahan LGBT, saya rasa memang sudah sewajarnya terjadi. Loh, kok wajar? Jikalau kita gali secara historis, bukankah mereka yang hadir di Amerika Serikat saat ini memanglah mereka yang mencari kebebesan? Bahkan, Amerika Serikat yang diklaim sangat menghormati kebebasan ini kalah cepat dengan Belanda yang sudah melegalisasi pernikahan sejenis sejak tahun 2001. Lantas, mengapa reaksi masyarakat kita pada saat itu tidak sedemikian kerasnya? Mungkin pengaruh media sosial saat itu belum seperti sekarang atau bisa jadi juga sebab gema kedigdayaan Amerika Serikat yang selalu kita jadikan kiblat dan takaran yang membuat kita semakin krisis identitas dan jatidiri. Ups, ini hanya asumsi kok. Tidak baik untuk dijadikan alasan kuat dan mendasar. Setiap orang boleh berasumsi kan?

            Saya tidak mau berbicara banyak soal rumput tetangga yang tampak hijau itu sebab lebih baik kita rapihkan tanaman-tanaman di halaman rumah sendiri. Jika di Amerika Serikat legalisasi pernikahan sejenis, apakah di negara kita juga perlu segera terjadi hal serupa? Saya tidak bisa secara hitam-putih menjawabnya, namun saya merasa gagasan tersebut tidak sejalan dengan prinsip saya. Setiap orang boleh berprinsip kan? Kalau anda memperjuangkan prinsip anda untuk kebebasan, saya juga punya kebebasan untuk  memperjuangkan prinsip saya. Meskipun begitu, tenanglah wahai saudara-saudaraku para penganut pro LGBT, saya tidak akan memusuhi kalian bahkan sampai mengkerdilkan kalian sebab saya rasa saya masih ingin berpegang pada prinsip kemanusiaan untuk “memanusiakan manusia”. Ups, mohon maaf kawan-kawan pembaca jikalau saya sangat abstrak dan tidak tegas untuk secara hitam putih menyatakan sikap. Bahkan mungkin, sebagian pembaca akan menilai saya cari aman dan sok humanis. Ya whatever, it’s your choice to judge me!But It’s me!

          Beranjak dari pandangan tentang LGBT, ada hal lain yang lebih menarik bagi saya. Ya, seperti yang saya sebutkan di atas, tentang ekspresi publik dalam menilai fenomena LGBT ini. Saya melihat adanya fenomena reaksi agresif dari berbagai kalangan baik yang pro maupun yang kontra. Saling balas hujatan pun bermunculan. Bahkan timeline sosmed pun berubah jadi semakin  berwarna warni. Sungguh luar biasa masyarakat kita ini! Love You Guys!!!

      Mungkin sebelum banyak menghujat kita perlu banyak-banyak merefleksi diri. Mengambil sikap tenang dan bukan agresif reaktif dengan cepat menjustifikasi (re:menghitamkan) orang yang berlawanan pendapat dengan kita. Saya tidak sejalan dengan kaum pro LGBT, namun bagi saya mengkerdilkan mereka dengan berbagai macam hujatan itu bukan cara yang bijaksana untuk menanggapinya. Kita perlu meninjau kembali reaksi kita apakah berdasarkan niat yang tulus untuk kebaikan  atau justru malah sebaliknya, mengambil kesempatan untuk terlihat lebih (bahkan paling) benar dari orang lain yang tidak melakukan hujatan. Awas, Allah maha tahu loh! Bukankah begitu wahai saudara-saudaraku seiman?

        Saya mencoba melihat ini dari secara sosiologis. Adanya fenomena cemoohan semacam yang terjadi saat ini bisa jadi merupakan bagian dari kontrol sosial. Akan tetapi, meninjau lebih jauh, kita perlu memandang fenomena ini berdasarkan teori labeling Lemert. Menurut teori labeling, pemberian sanksi dan label yang dimaksudkan untuk mengontrol penyimpangan malah menghasilkan sebaliknya, yakni penyimpangan. Lalu, apa kaitannya dengan fenomena hujat-menghujat ini? Ya, saya rasa jelas jika kita terus memperpanjang hujatan tersebut kita akan gagal menjalankan misi “memanusiakan manusia”. Kontrol sosial yang menjadi niat baik pada awalnya tertutup kabut hitam emosi yang menutup nurani kita untuk melihat hal ini dengan lebih baik. Seolah-olah, jika tidak menyatakan sikap anti terhadap kaum pro LGBT maka anda akan ketinggalan menjadi orang baik. Tenang bung! Surga ngga pindah kemana-mana!

            Sampai kapanpun, In Sya Allah saya tetap pada standing position saya untuk tidak sejalan dengan legalisasi LGBT. Saya percaya pada agama saya dan saya rasa hukum positif yang ada juga mendukung sebab juga mempertimbangkan hukum agama. Namun, saya juga percaya bahwasanya agama saya rahmatan lil alamin. Saya percaya rahman-Nya lebih bijaksana untuk kita jadikan panutan dari segalanya. Kalau kita mengimani rahman-Nya, saya yakin kita malu untuk menghujat sana-sini. Sebab yakin bahwasanya mereka yang tidak menjalankan  syariat itu tetap diberikan kasih sayang oleh Allah SWT dengan sifat rahman tersebut. Kuatkanlah dirimu wahai saudara-saudaraku seiman! Jangan sampai semangat jihadmu menutup mata hatimu untuk bersikap bijaksana dan menodai kemurnian imanmu dalam mengimani Tuhanmu yang Rahman itu! Buka mata, lihat yang nyata! Buka hati, lihat yang inti!

Wallahu A'lam Bis Showab
(Lakon Hidup)





8 komentar

  1. Quote of The Day :

    "Ups,"

    BalasHapus
  2. Tulisannya standar, hanya paragraf paling akhir yg cukup berkesan. Mungkin anda niatnya sudah bagus untuk sharing sudut pandang, tapi coba dipelajari lagi lebih dalam perihal bagaimana menyampaikan pikiran yg baik dan benar melalui tulisan. Saya melihat anda sebagai seorang yg kurang beretika melalui tulisan2 di blog ini. Bukan hanya pada narasi LGBT ini, tetapi lainnya juga. Mohon maaf bila cukup pedas, semoga anda bisa berkembang lebih baik ke depannya terutama dalam hal menyampaikan gagasan atau pikiran.

    BalasHapus
  3. Tulisannya tidak memiliki pesan inti yang jelas, harusnya bisa ada alur yang lebih baik. Semangat.

    BalasHapus
  4. Makasih sebelumnya untuk netizen di atas yang udah baca. Saya sadar setelah baca lagi emang banyak banget kekurangan sana-sini. Saya buat itu semalem tanpa buat kerangka konsep dulu dan emang jelas keliatan hasilnya jadi ngalor ngidul kebanyakan basa basi. Mau coba sedikit bergaya satir tapi belum dapet. Tapi di sini poinnya emang ketika kita menyampaikan ide ya memang perlu lebih dulu membuat konsepnya supaya jelas dari awal sampai ke poinnya.
    Sebetulnya maksud tulisan ini lebih untuk membahas fenomena hujat-menghujatnya, bukan LGBT nya. Yang saya liat justru orang-orang nih sekarang di medsos hujat sana-sini. Padahal menghujat itu ngga jadi solusi dan malah menimbulkan masalah dengan pendekatan teori labelling. Saya sengaja pake sudut pandang agama untuk mengkritisi ummat beragama, khususnya islam. Islam memang jelas tidak menyetujui itu dan saya pun demikian, tapi islam juga tidak mengajarkan caci maki dan membuat kita mengkerdilkan mereka. Allah aja masih punya sifat Rahman untuk menyayangi mereka dan membiarkan mereka hidup sampai saat ini, masa kita manusia berlomba-lomba untuk membenci. Misi dakwah itu yang nantinya gagal. Akan tetapi seperti yang saya katakan di atas karena memang bukan kapasitas untuk membicarakan hal ini banyak hal yang kurang tepat. Hal inilah yang justru memotivasi saya untuk terus menerus belajar. Terima kasih kepada para pembaca yang sudah mau mampir. Mari kita sama-sama belajar! Silih asah, silih asih, silih asuh.

    BalasHapus
  5. Wah Ali. Menulis memang ekspresi jiwa. Lanjutkan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Gesti!
      Seneng baca quotes ini :

      “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”-Pram

      Hapus
  6. Anda sudah berkeluarga? sudah punya keturunan? Akan beda jika ada punya anak-anak dan sayang anak-anak anda. Bahkan di US pun, tak seorang bapak pun yang ikhlas anaknya LGBT. Lebih terbuka tapi tidak jika menyentuh keluarga mereka. Jika LGBT diterima dalam tata sosial kita, seperti di US, maka kaum pedofil juga akan menuntut persamaan hak: LGBT mencintai sejenis, pedofil mencintai dan menikahi anak2 (sejenis atau tdk sejenis). Kerusakan lebih besar pasti terjadi. Karena saya orang tua, apsti saya anggap ini sebuah bahaya besar terutama bagi anak2 saya. LGBT adalah jelas gangguan jiwa by definition oleh para ahli ilmu jiwa. Jika anda menerima kebebasan orang memilih LGBT, maka anda juga harus membebaskan orang menyetubuhi hewan atau anak2. Konsekuensi logisnya bisa apa saja. Bahkan Allah menurunkan nabi khusus untuk ini, mengingat begitu bahayanya bagi kamenusiaan. Sakit jiwa harus disembuhkan, tapi jika si penyakitan menyebarkan pahamnya (dgn cara minta diakui) dan mempromosikan gaya/cara hidupnya, tidak ada jalan lain melindungi anak2, kecuali bersikap tegas, atau bahkan keras. Haram jadah terkutuklah mereka yg menyebarkan atau minta pengakuan penyakit jiwa mereka

    BalasHapus

© BUKAMATA
Maira Gall