Akhir-akhir ini dunia sedang ramai membicarakan masalah
LGBT(Lesbian-Gay-Bisexual-Transexual). Cukup menarik untuk dijadikan bahan
diskusi dan tentunya output yang dihasilkan seperti tulisan. Di dalam satu
kelompok diskusi yang saya terhimpun di dalamnya beberapa hari ini tak
henti-henti membicarakan isu tersebut dengan berbagai macam sudut pandangnya.
Meskipun seragam-ragamnya pun tendensinya jelas mengarah ke arah yang sama,
menolak pastinya. Secara ringkas dugaan saya mungkin sebab religiusitas
kawan-kawan diskusi saya yang memang cukup di atas rata-rata meskipun tidak ada
yang pernah bisa menakarnya karena memang satu-satunya dzat yang berhak
menilainya ialah Allah SWT yang bagi saya sejatinya Tuhan Yang Maha Esa.
Wallahu A’lam !
Berbicara mengenai LGBT tentunya tidaklah mudah. Apalagi
bagi orang seperti saya yang hidup di lingkungan yang tidak serta merta secara
hitam putih mengatakan sepakat setuju atau menolak menentang. Oleh karena itu
saya harus berhati-hati untuk membicarakan ini. Salah-salah, bisa dihujat
sana-sini. Mungkin memang hal ini bukan hanya terjadi dalam hal LGBT.
Masyarakat kita mungkin sudah punya mindset seperti ini sejak zaman
dahulu. Meskipun tanpa data yang benar-benar akurat, namun mungkin sebagian
dari kita sadar bahwasanya pada faktanya ketika terjadi pelemahan PKI pasca
1965 setiap hal yang berbau pro sosialisme-komunisme sudah pasti menentang
Pancasila dan dianggap anti agama. Padahal, jika kita pikir ulang, apakah hal
tersebut sudah tepat untuk dijadikan kesimpulan? Silahkan anda sendiri yang
menjawabnya dan kita kembali pada bahasan LGBT.
Sejujurnya saya bukanlah orang yang memiliki kapasitas
apa-apa untuk membicarakan hal ini. Mungkin saya hanya sotoy-sotoyan
saja dan mungkin terlalu dangkal. Namun, sedikit tulisan ini mungkin menjadi
ekspresi saya tentang fenomena (ekspresi publik tentang) LGBT. Alhamdulillah,
jika dirasa-rasa saya adalah laki-laki yang memiliki ketertarikan terhadap
lawan jenis. Dan saya merasa bahwasanya itu adalah anugerah Tuhan yang sangat
luar biasa. Saya seorang muslim, meskipun terkadang saya takut untuk
mengatakannya sebab membaca kutipan Cak Nun “Aku menyebut diriku muslim saja
tidak berani, karena itu merupakan hak preogratif Allah untuk menilaiku Muslim
atau bukan”. Wah, Cak Nun? Sekilas beberapa dari anda yang membacanya
mungkin akan segera melabel saya dengan tagar #liberaldetected. Tenang, anda
tidak salah kok jika memang itu tafsiran anda karena anda pun bukan yang
pertama. Bagi saya, yang salah yang mengajarkan anda untuk membangun cara
berpikir seperti itu. Tapi sebelum keliru lebih jauh, saya perlu tegaskan jika saya bukan
pengikut JIL ataupun simpatisan orang-orang yang sering anda sebut kafir atau
sekuler itu. Jadi, saya bukan antek-antek kafir, freemason, illuminati, atau
apapun itu. Ups, sudah terlalu jauh, mari kita kembali membahas LGBT.
Jika ditanya menolak atau mendukung, saya jawab tidak
sejalan. Saya sebagai muslim 100% percaya bahwasanya apa yang telah menjadi
ketetapan Allah ialah yang paling sempurna. Saya berpendapat demikian sebab
pandangan saya sebagai seorang muslim. Dalam agama saya, laki-laki hanyalah
untuk perempuan, dan begitupun sebaliknya. Dalam agama yang saya rasa paripurna
tersebut, kodrat laki-laki dan perempuan pun dibahas sedemikian rupa. Ada
aturan-aturan khusus mengatur hidup kami sebagai muslim dan muslimah yang
bahkan tidak bisa ditawar atau ditolak atas nama apapun termasuk Hak Asasi. Ya,
sekilas itulah gambaran aturan dan pandangan terhadap LGBT dari agama kami.
Jikalau di Amerika Serikat terjadi legalisasi pernikahan
LGBT, saya rasa memang sudah sewajarnya terjadi. Loh, kok wajar? Jikalau kita
gali secara historis, bukankah mereka yang hadir di Amerika Serikat saat ini
memanglah mereka yang mencari kebebesan? Bahkan, Amerika Serikat yang diklaim
sangat menghormati kebebasan ini kalah cepat dengan Belanda yang sudah
melegalisasi pernikahan sejenis sejak tahun 2001. Lantas, mengapa reaksi
masyarakat kita pada saat itu tidak sedemikian kerasnya? Mungkin pengaruh media
sosial saat itu belum seperti sekarang atau bisa jadi juga sebab gema kedigdayaan Amerika Serikat yang selalu
kita jadikan kiblat dan takaran yang membuat kita semakin krisis identitas dan
jatidiri. Ups, ini hanya asumsi kok. Tidak baik untuk dijadikan alasan kuat dan
mendasar. Setiap orang boleh berasumsi kan?
Saya tidak mau berbicara banyak soal rumput tetangga yang
tampak hijau itu sebab lebih baik kita rapihkan tanaman-tanaman di halaman
rumah sendiri. Jika di Amerika Serikat legalisasi pernikahan sejenis, apakah di
negara kita juga perlu segera terjadi hal serupa? Saya tidak bisa secara
hitam-putih menjawabnya, namun saya merasa gagasan tersebut tidak sejalan
dengan prinsip saya. Setiap orang boleh berprinsip kan? Kalau anda
memperjuangkan prinsip anda untuk kebebasan, saya juga punya kebebasan untuk memperjuangkan prinsip saya. Meskipun begitu,
tenanglah wahai saudara-saudaraku para penganut pro LGBT, saya tidak akan
memusuhi kalian bahkan sampai mengkerdilkan kalian sebab saya rasa saya masih
ingin berpegang pada prinsip kemanusiaan untuk “memanusiakan manusia”. Ups, mohon
maaf kawan-kawan pembaca jikalau saya sangat abstrak dan tidak tegas untuk
secara hitam putih menyatakan sikap. Bahkan mungkin, sebagian pembaca akan
menilai saya cari aman dan sok humanis. Ya whatever, it’s your choice to
judge me!But It’s me!
Beranjak dari pandangan tentang LGBT, ada hal lain yang
lebih menarik bagi saya. Ya, seperti yang saya sebutkan di atas, tentang
ekspresi publik dalam menilai fenomena LGBT ini. Saya melihat adanya fenomena
reaksi agresif dari berbagai kalangan baik yang pro maupun yang kontra. Saling
balas hujatan pun bermunculan. Bahkan timeline sosmed pun berubah jadi
semakin berwarna warni. Sungguh luar
biasa masyarakat kita ini! Love You Guys!!!
Mungkin sebelum banyak menghujat kita perlu banyak-banyak
merefleksi diri. Mengambil sikap tenang dan bukan agresif reaktif dengan cepat
menjustifikasi (re:menghitamkan) orang yang berlawanan pendapat dengan kita.
Saya tidak sejalan dengan kaum pro LGBT, namun bagi saya mengkerdilkan mereka
dengan berbagai macam hujatan itu bukan cara yang bijaksana untuk
menanggapinya. Kita perlu meninjau kembali reaksi kita apakah berdasarkan niat
yang tulus untuk kebaikan atau justru
malah sebaliknya, mengambil kesempatan untuk terlihat lebih (bahkan paling) benar dari orang
lain yang tidak melakukan hujatan. Awas, Allah maha tahu loh! Bukankah begitu
wahai saudara-saudaraku seiman?
Saya mencoba melihat ini dari secara sosiologis. Adanya
fenomena cemoohan semacam yang terjadi saat ini bisa jadi merupakan bagian dari
kontrol sosial. Akan tetapi, meninjau lebih jauh, kita perlu memandang fenomena
ini berdasarkan teori labeling Lemert. Menurut teori labeling, pemberian sanksi dan label yang
dimaksudkan untuk mengontrol penyimpangan malah menghasilkan sebaliknya, yakni
penyimpangan. Lalu, apa kaitannya dengan fenomena hujat-menghujat ini? Ya, saya
rasa jelas jika kita terus memperpanjang hujatan tersebut kita akan gagal
menjalankan misi “memanusiakan manusia”. Kontrol sosial yang menjadi niat baik
pada awalnya tertutup kabut hitam emosi yang menutup nurani kita untuk melihat
hal ini dengan lebih baik. Seolah-olah, jika tidak menyatakan sikap anti
terhadap kaum pro LGBT maka anda akan ketinggalan menjadi orang baik. Tenang
bung! Surga ngga pindah kemana-mana!
Sampai
kapanpun, In Sya Allah saya tetap pada standing position saya untuk tidak sejalan
dengan legalisasi LGBT. Saya percaya pada agama saya dan saya rasa hukum positif yang ada juga mendukung sebab juga mempertimbangkan hukum agama. Namun, saya juga percaya
bahwasanya agama saya rahmatan lil alamin. Saya percaya rahman-Nya lebih
bijaksana untuk kita jadikan panutan dari segalanya. Kalau kita mengimani
rahman-Nya, saya yakin kita malu untuk menghujat sana-sini. Sebab yakin
bahwasanya mereka yang tidak menjalankan
syariat itu tetap diberikan kasih sayang oleh Allah SWT dengan sifat
rahman tersebut. Kuatkanlah dirimu wahai saudara-saudaraku seiman! Jangan sampai
semangat jihadmu menutup mata hatimu untuk bersikap bijaksana dan menodai
kemurnian imanmu dalam mengimani Tuhanmu yang Rahman itu! Buka mata, lihat yang
nyata! Buka hati, lihat yang inti!
Wallahu A'lam Bis Showab
(Lakon Hidup)
Quote of The Day :
BalasHapus"Ups,"
Tulisannya standar, hanya paragraf paling akhir yg cukup berkesan. Mungkin anda niatnya sudah bagus untuk sharing sudut pandang, tapi coba dipelajari lagi lebih dalam perihal bagaimana menyampaikan pikiran yg baik dan benar melalui tulisan. Saya melihat anda sebagai seorang yg kurang beretika melalui tulisan2 di blog ini. Bukan hanya pada narasi LGBT ini, tetapi lainnya juga. Mohon maaf bila cukup pedas, semoga anda bisa berkembang lebih baik ke depannya terutama dalam hal menyampaikan gagasan atau pikiran.
BalasHapusKurang terarah
BalasHapusTulisannya tidak memiliki pesan inti yang jelas, harusnya bisa ada alur yang lebih baik. Semangat.
BalasHapusMakasih sebelumnya untuk netizen di atas yang udah baca. Saya sadar setelah baca lagi emang banyak banget kekurangan sana-sini. Saya buat itu semalem tanpa buat kerangka konsep dulu dan emang jelas keliatan hasilnya jadi ngalor ngidul kebanyakan basa basi. Mau coba sedikit bergaya satir tapi belum dapet. Tapi di sini poinnya emang ketika kita menyampaikan ide ya memang perlu lebih dulu membuat konsepnya supaya jelas dari awal sampai ke poinnya.
BalasHapusSebetulnya maksud tulisan ini lebih untuk membahas fenomena hujat-menghujatnya, bukan LGBT nya. Yang saya liat justru orang-orang nih sekarang di medsos hujat sana-sini. Padahal menghujat itu ngga jadi solusi dan malah menimbulkan masalah dengan pendekatan teori labelling. Saya sengaja pake sudut pandang agama untuk mengkritisi ummat beragama, khususnya islam. Islam memang jelas tidak menyetujui itu dan saya pun demikian, tapi islam juga tidak mengajarkan caci maki dan membuat kita mengkerdilkan mereka. Allah aja masih punya sifat Rahman untuk menyayangi mereka dan membiarkan mereka hidup sampai saat ini, masa kita manusia berlomba-lomba untuk membenci. Misi dakwah itu yang nantinya gagal. Akan tetapi seperti yang saya katakan di atas karena memang bukan kapasitas untuk membicarakan hal ini banyak hal yang kurang tepat. Hal inilah yang justru memotivasi saya untuk terus menerus belajar. Terima kasih kepada para pembaca yang sudah mau mampir. Mari kita sama-sama belajar! Silih asah, silih asih, silih asuh.
Wah Ali. Menulis memang ekspresi jiwa. Lanjutkan :)
BalasHapusTerima kasih, Gesti!
HapusSeneng baca quotes ini :
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”-Pram
Anda sudah berkeluarga? sudah punya keturunan? Akan beda jika ada punya anak-anak dan sayang anak-anak anda. Bahkan di US pun, tak seorang bapak pun yang ikhlas anaknya LGBT. Lebih terbuka tapi tidak jika menyentuh keluarga mereka. Jika LGBT diterima dalam tata sosial kita, seperti di US, maka kaum pedofil juga akan menuntut persamaan hak: LGBT mencintai sejenis, pedofil mencintai dan menikahi anak2 (sejenis atau tdk sejenis). Kerusakan lebih besar pasti terjadi. Karena saya orang tua, apsti saya anggap ini sebuah bahaya besar terutama bagi anak2 saya. LGBT adalah jelas gangguan jiwa by definition oleh para ahli ilmu jiwa. Jika anda menerima kebebasan orang memilih LGBT, maka anda juga harus membebaskan orang menyetubuhi hewan atau anak2. Konsekuensi logisnya bisa apa saja. Bahkan Allah menurunkan nabi khusus untuk ini, mengingat begitu bahayanya bagi kamenusiaan. Sakit jiwa harus disembuhkan, tapi jika si penyakitan menyebarkan pahamnya (dgn cara minta diakui) dan mempromosikan gaya/cara hidupnya, tidak ada jalan lain melindungi anak2, kecuali bersikap tegas, atau bahkan keras. Haram jadah terkutuklah mereka yg menyebarkan atau minta pengakuan penyakit jiwa mereka
BalasHapus