Jumat, 07 Desember 2012

Artikel Persona : Sebuah Introduksi


         Tak kenal maka tak sayang. Sebuah peribahasa yang mungkin sudah tak asing lagi di telinga kita. Tak asing pula bagi mereka yang membaca. Pada artikel ini saya akan mendiskripsikan siapa diri saya di dunia maya. Bukan bermaksud untuk mencari ketenaran atau sekedar eksis belaka. Akan tetapi lebih tepatnya artikel ini akan menjadi pertanda lahirnya wajah baru. Sebuah revolusi internal dalam dunia saya. Khususnya dalam dunia blogging ini.

     Langkah awal yang saya lakukan adalah dengan mengganti nama blog ini menjadi BUKAMATA. Mungkin sebagian mereka yang membaca mengerti apa artinya. Namun mungkin sebagian besar tidak.Nama Blog ini yang semula bernama ZENLEXIA kini telah berganti wajah. Mungkin anda dapat menganalisis pergantian nama tersebut. Saya mengawalinya menjadi sebuah revolusi tema penulisan yang saya lakukan. Nama ini pun jelas menjadi komponen yang tak mungkin untuk diabaikan. Berawal saat saya menyaksikan sebuah film bertema kemanusiaan tentang seorang tokoh pergerakan mahasiswa, pemikiran saya tentang menulis pun sedikit demi sedikit berubah. Saya memang memiliki hobi untuk menulis, akan tetapi rasanya begitu sulit bagi saya untuk membagi waktu. Sebab kondisi yang ada saat ini menuntut saya harus benar-benar dapat membagi waktu dengan bijak. Pergantian nama ini yang telah saya sebutkan sebagai awal revolusi menjadi pertanda tema-tema tulisan saya pun mungkin agak sedikit bergeser. Saya akan menuangkan pemikiran-pemikiran dan idealisme saya dalam tulisan-tulisan ini.

      Waktunya tiba untuk berkenalan. Nama saya adalah Ali Zainal Abidin. Saya merupakan seorang remaja yang dilahirkan pada tanggal 26 April 1996 di Jakarta, tepatnya Rumah Sakit Mitra Keluarga. Saya merupakan seorang putra dari pasangan Lukman Hakim dan Nur Hamidah Lubis. Saat membaca nama terakhir pasti telah tergambar bahwa saya adalah keturunan darah batak. Akan tetapi bukan hanya batak.Ternyata saya merupakan seorang multietnis karena ayah saya seorang peranakan Betawi asli. Pada usia awal kelahiran saya, keluarga kecil kami sempat beberapa lama tinggal di Jakarta. Namun pada akhirnya keluarga kecil kami berlabuh di kota Depok hingga saat ini di usia saya yang menginjak 17 tahun.

      Sejak kecil saya merasa dididik dengan penuh perhatian. Saya merasa berntung memiliki orang tua yang begitu perhatian kepada saya sehingga saya dapat seperti sekarang ini. Ayah yang mendidik saya dengan konsep-konsep religiusnya, dan mama yang mendidik saya dengan konsep pengalaman hidup dengan berkaca pada dunia luar membuat wawasan saya di masa kecil cukup dikatakan luas. Mungkin pada seusia saya saat kecil dulu, teman-teman saya belum mengerti apa-apa tentang masalah hidup. Akan tetapi saya sangat bersyukur karena kedua orang tua saya selalu berbagi pengalaman-pengalaman mereka tentang masalah kehidupan sehingga pemikiran saya pun mencoba untuk menyesuaikan.

    Secara pendidikan akademis, saya mungkin tidak terlalu menonjol. Meskipun bagi sebagian orang mungkin prestasi saya cukup bisa dikatakan gemilang. Saya memang dapat dikatakan langganan juara kelas sejak masih duduk di bangku sekolah dasar tepatnya di MI Al Muhajirin Depok. Pada masa itu saya mungkin cukup merasa bahagia. Memiliki banyak teman dan pengalaman. Saya setidaknya dikenal dengan tiga aspek. Prestasi akademis, olahraga(sepakbola), dan yang terakhir adalah kepemimpinan saya. Mungkin ini agak sensitif bagi saya pada masa itu. Saya layaknya seorang bos. Memiliki pengikut dan kekuasaan. Sekedar sebuah pengalaman yang tak terlupakan di masa kecil.Yang tak henti-hentinya mengundang guratan senyum saat saya teringat akan kenangan-kenangan itu. Mungkin saya tidak senegatif yang anda bayangkan, suka memalak atau memukuli mereka yang tak bersalah. Akan tetapi sebaliknya, saya yang akan menghadapi mereka yang semena-mena di sekolah. Kalau ada yang sok jago, biar dengan saya urusannya.

   Berlanjut ke masa SMP. Saya agak meninggalkan kehidupan yang hingar-bingar di tengah kota. Saya harus merubah pola hidup saya saat saya berada pada masa ini. Kehidupan saya berlanjut ke pesantren.Mungkin menjadi sebuah pertanyaan bagi sebagian orang pada waktu itu termasuk guru-guru saya.Mengapa saya harus memilih ke tempat itu? Padahal saya telah mendapat beasiswa dari sebuah sekolah yang saat ini cukup dikenal prestisenya di kota itu. Saya juga telah berkali-kali menjadi peringkat teratas saat try-out yang diadakan oleh beberapa lembaga pendidikan. Namun, ada yang kurang rasanya.Mengapa?Karena disana bukan pesantren. Ayah saya memiliki preferensi berlebih kepada sekolah itu. Selain mendapat beasiswa setelah berada pada peringkat ketiga seleksi masuk, rupanya ada motif lain yang mungkin secara kasat mata tak dapat saya identifikasi. Ayah saya dahulu hampir saja bersekolah di pesantren, akan tetapi Allah belum mengijinkan. Akan tetapi bukan hanya sekedar itu. Saya mendapatkan jawabannya saat saya telah merasakan hidup di dalamnya. Mungkin tak akan saya ceritakan disini sebab pasti akan begitu panjang.Yang jelas saya pun tak menurunkan tren positif untuk tetap menjadi langganan juara. Dari enam semester yang saya jalani, hanya satu semester saya tidak berada pada posisi teratas. Sebuah titik antiklimaks.

      Masa SMA yang tak pula kalah hebatnya. Masa yang membuat saya berkaca dan berpikir lebih luas lagi. Masa yang membuat saya merasa semakin bersyukur akan segala pencapaian yang telah saya miliki. Saya mendapatkan kesempatan besar untuk studi di sekolah impian 4000 orang yang melaksanakan seleksi tertulis. Betapa saya tidak bersyukur, tiga tahun beasiswa saat berada di pesantren pada masa smp, dilanjutkan dengan beasiswa yang luar biasa dari sekolah yang telah memiliki nama besar ini.Ya, Insan Cendekia. Dan harus saya tekankan bahwa ini adalah Insan Cendekia yang asli dan menjadi pelopor Madrasah se-Indonesia. Sebuah sekolah cetusan Pak Habibie di masa jabatannya saat menjadi Menristek.Sebuah sekolah yang telah menghasilkan alumni-alumni yang menjadi sorotan di perguruan tinggi, baik di dalam maupun luar negeri. Saya merasa begitu beruntung. Saya dapat bertemu teman-teman yang bukan hanya sekedar dari daerah asal yang dekat dengan saya. Akan tetapi se-Indonesia. Saya dapat belajar bersama orang-orang berprestasi di negeri ini. Terlebih lagi, saya saat ini dapat mengabdikan diri sebagai seorang pelayan dari salah satu organisasi di sekolah ini. Mengesankan, dan semakin membuka cakrawala pemikiran saya.



Tidak ada komentar

Posting Komentar

© 2025 BUKAMATA
Maira Gall