Saya baru saja melalui
proses-proses yang cukup panjang dengan mengikuti pemira fisip ui dan
mencalonkan diri sebagai ketua bem fisip ui 2017. Proses-proses tersebut
menyita cukup banyak tenaga dan perhatian. Dan tentunya adapula hal-hal yang dikorbankan. Salah satunya adalah waktu
berkumpul bersama keluarga, khususnya ibu saya, tempat saya biasa berbagi
cerita.
Pasca pemira usai dan membuahkan
hasil terpilihnya saya sebagai ketua bem fisip ui 2017, saya memutuskan untuk
lebih sering pulang ke rumah sebelum nantinya akan jarang pulang lagi. Wajar
saja, dengan jarak rumah-kampus yang bisa ditempuh dalam waktu 1 jam, saya
tidak pulang hampir 3 minggu. Tentunya di sini saya perlu berupaya adil. Ada
peran yang saya ambil di kampus, tapi adapula peran yang tidak bisa saya
tinggalkan di rumah, sebagai anak. Apalagi saat ini ibu saya tinggal sendiri di
rumah sebab ayah saya mencari nafkah di kalimantan, dan adik saya menuntut ilmu
di pesantren. Tentunya, dorongan pulang ke rumah semakin menguat. Setelah
penghitungan suara usai, alhamdulillah saya terpilih sebagai ketua BEM FISIP UI
2017. Tentunya kabar baik itu tak lupa untuk saya bawa pulang ke rumah. Setelah
3 minggu, akhirnya saya pulang.
Suatu hari, saya dan ibu saya
sampai pada obrolan tentang rencana hidup pasca kuliah. Suatu tema obrolan yang
sangat jarang sekali kami bicarakan. Biasanya kami hanya bicara soal
obrolan-obrolan ringan atau berita apa yang sedang hangat di televisi. Mungkin
ini disebabkan momentum yang pastinya berpengaruh bagi hidup saya ke depan
setelah saya membawa kabar terpilihnya saya sebagai Ketua BEM FISIP.
Dari pertanyaan tentang rencana
hidup, saya mulai dengan jawaban pasca BEM. Saya katakan bahwa pasca kehidupan
BEM nanti sambil menyusun skripsi saya berniat kembali ke pesantren. Ya, saya
berniat untuk masuk pesantren mahasiswa di daerah kutek. Saya ingin mengisi
kehidupan masa akhir di kampus dengan me-refresh kembali ilmu-ilmu yang sudah
saya dapat selama berkuliah dan yang saya dapat dari pesantren. Saya ingin memperdalam
kembali kitab kuning dengan mempelajari nahwu-sharaf. Begitupun pelajaran-pelajaran
seperti Fiqih, Aqidah, ulumul quran, dan hadits. Saya juga berniat mendalami
tasawuf. Tak lupa, saya juga harus merangkai kembali puzzle-puzzle hafalan
quran yang barangkali tercecer. Syukur-syukur kalau bisa bertambah.
Saya jelaskan alasan saya tentang
rencana tersebut kepada ibu saya. Saya bilang, sekarang usia saya sudah
menginjak kepala dua. Saya perlu berpikir lebih jauh dan lebih matang lagi.
Mempersiapkan hidup bukan hanya mempersiapkan secara lahir, tetapi juga
mempersiapkan batin. Dan hingga saat ini saya merasa pesantren adalah tempat yang
tempat untuk menempa keduanya. Rasulullah pernah berpesan, “I’mal liddunnyaka kaannaka ta’isyu abadan, wa’mal liakhirotika
kaannaka tamuutu ghodan.” Intinya, bekerja untuk dunia dan akhirat membutuhkan
keseimbangan.
Saya kira, ketika saya melebur ke masyarakat maupun keluarga besar nanti, pertanyaan dan permintaan pertama mereka bukanlah hal-hal terkait ilmu bisnis maupun sosial-politik yang saya pelajari di kampus. Bukan berupa teori-teori dan konsep-konsep besar yang dipelajari oleh seorang akademisi. Lebih sederhana dari itu semua, mungkin mereka akan bertanya "Mas bisa jadi imam?Mas bisa mimpin doa? Mas bisa ngajar ngaji?". Bisa jadi juga itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang pertama kali keluar dari calon mertua saya kelak.
Saya kira, ketika saya melebur ke masyarakat maupun keluarga besar nanti, pertanyaan dan permintaan pertama mereka bukanlah hal-hal terkait ilmu bisnis maupun sosial-politik yang saya pelajari di kampus. Bukan berupa teori-teori dan konsep-konsep besar yang dipelajari oleh seorang akademisi. Lebih sederhana dari itu semua, mungkin mereka akan bertanya "Mas bisa jadi imam?Mas bisa mimpin doa? Mas bisa ngajar ngaji?". Bisa jadi juga itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang pertama kali keluar dari calon mertua saya kelak.
Alasan saya kembali ke pesantren juga didorong oleh imajinasi tentang sosok ayah saya sebagai teladan. Bagi saya
beliau adalah sosok yang pantas dan patut diteladani. Meskipun beliau bukan
benar-benar hasil didikan pesantren, namun beliau mendidik keluarga kami dengan
ilmu, iman, dan amal. Dan begitulah kelak yang saya inginkan jika saya kelak
menjadi seorang ayah. Bagaimana bisa saya mengajak anak saya shalat ke masjid
kalau saya tidak memberi contoh kepada mereka untuk melakukan itu. Bagaimana
bisa saya menyuruh anak saya mengaji kalau saya tidak melakukan itu. Dan semua
itu butuh kesadaran, butuh latihan dan pembiasaan.
Dan saya merasa skak-mat ketika
ibu saya bertanya “Ngomong-ngomongin keluarga, emang udah calonnya?”
Sambil tertawa saya menjawab, “Insya Allah udah ada dalam bayangan. Namanya
kita manusia ngga bisa berencana tapi ngga bisa menentukan. Tapi jodoh itu perlu diikhtiarkan.”
Lalu ibu saya menjawab, “Yang penting mau pake agama, mau belajar.
Karena dia yang nantinya bakalan lebih banyak ngedidik anak. Yang penting ngga
neko-neko.”
Dan obrolan tentang rencana hidup
ini berakhir dengan nenbuat otak saya terus berpikir.
Tidak ada komentar
Posting Komentar