Sabtu, 02 Juli 2016

MEMBACA DAN MERANCANG PERJALANAN INTELEKTUAL


Akhir-akhir ini saya sedang keranjingan membaca. Entah tepatnya motivasi ini muncul dari mana, yang jelas sepertinya saya sedang menemukan fase baru dalam hidup saya. Berawal dari misi besar saya yang bertajuk “Upgrade Yourself” di tahun ini, saya mencoba untuk menemukan cara terbaik untuk meningkatkan kualitas diri saya pribadi. Saya mencoba merumuskan berbagai macam hal, dan tidak ketinggalan saya menempatkan peningkatan pengetahuan sebagai salah satu prioritas. Bagaimana tidak, penguasaan atas pengetahuan akan menjadi salah satu faktor penentu kualitas hidup kita ke depannya. Pengetahuan akan menjadi dasar kita bertindak dan berperan di masyarakat kelak.

Sejak dulu sebetulnya saya selalu menyempatkan diri untuk membaca buku. Sejak masa SMA, karena saya merupakan siswa IPS, saya memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk berinteraksi dengan salah satu guru sejarah yang selalu menganjurkan dan mendorong siswa-siswinya untuk banyak membaca. Banyak buku yang beliau sarankan. Mulai dari buku bertema sosial-politik, sejarah, biografi, sastra, agama, bahkan filsafat. Pada waktu itu saya mendengarkan pesan beliau untuk membaca. Ya, setidaknya saya masih membaca beberapa buku selama setahun. Maklum, dulu saya cukup aktif di kegiatan keorganisasian di IC. Kelas satu kekuatan saya sangat terserap oleh beban akademik. Kelas dua, fokus mulai berubah ke arah organisasi karena saya menjadi ketua MPS yang turut juga turun dalam kepanitiaan-kepanitiaan baik yang bersifat supervisi maupun eksekusi. Kelas tiga, sudah tidak ada lagi waktu untuk macam-macam. Mungkin ini momentum “tebus dosa” karena sedari kelas satu dan dua saya tidak terlalu rajin belajar. Kondisi-kondisi inilah yang membuat saya abai terhadap keseriusan membaca. Saya hanya membaca kalau itu yang memang menarik dan sedang gandrung dibahas oleh kawan-kawan. Akan tetapi, di masa SMA ini juga saya mulai mengenal dunia pergerakan setelah membaca dan menonton film GIE.

Pada masa kuliah di tahun pertama ceritanya lain lagi. Maklum, yang namanya maba masih mencari identitas, saya berusaha untuk membaca dari permukaan terhadap segala macam yang saya temui. Saya melampaui bayangan saya menyoal kehidupan kuliah yang dalam perencanaan saya dulu hanya ingin kuliah dan naik gunung. Rupanya tuhan membawa saya kepada jalan yang berbeda. Saya terjun ke dunia yang orang sebut dengan “pergerakan” atau “aktivisme” atau apapun itu bahasanya. Pada titik ini, saya memasuki fase baru dan melampaui imajinasi sebelum-sebelumnya.

Saya sadar saya punya potensi kemauan belajar yang keras terhadap suatu bidang yang sangat saya minati. Sejak kecil saya memang lebih suka terhadap hal-hal berbau sosial dan sejarah. Potensi mendasar ini melecut saya untuk melangkah lebih jauh. Sewaktu saya terjun di dunia yang bernama pergerakan itu, saya berkenalan dengan orang-roang yang gemar membaca, menulis, dan diskusi. Dari sini saya mulai kembali menemukan motivasi untuk membaca lebih giat lagi. Saya iri sekaligus kagum terhadap kawan-kawan saya yang memiliki pengetahuan yang begitu luas tentang sosial-politik. Saya terpacu untuk belajar lebih. Berkenalan lebih jauh dengan ideologi, filsafat, dan sebagainya. Saya mulai mendalami pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh seperti Tan Malaka, Marx, Engels, dan sejumlah tokoh lainnya.

Sebagai seorang mahasiswa administrasi niaga, sepatutnya ilmu yang saya dalami adalah ilmu bisnis. Mungkin seharusnya jumlah bacaan saya terkait bisnis menjadi prioritas. Namun, saya perlu mendefiniskan kembali tujuan dan orientasi hidup saya tidak sebatas selesai sampai disitu. Saya masuk jurusan berbau bisnis bukan untuk menghambakan diri saya dalam dunia itu selamanya. Saya punya tujuan untuk berperan lebih di masyarakat. Bisnis hanyalah salah satu upaya menunjang hidup saya dan keluarga saya kelak. Sisanya mengabdikan diri bagi masyarakat dengan jalan apapun itu. Oleh karenanya, saya membuka lebar-lebar pintu penerimaan atas pengetahuan di luar bidang kuliah yang saya tekuni. Ketika tujuan hidup saya adalah mengabdikan diri di masyarakat, maka saya harus mengenal lebih jauh berbagai macam hal terkait dengan masyarakatnya. Bagaimana kondisi sosial, budaya, politik, ekonomi, keagamaan, filsafat, ideologi, dan sebagainya harus saya pelajari, minimal saya kenali.

Pada tahun kedua kuliah, saya kembali mengolah, memikirkan, dan merenungkan kembali arah dan jalan hidup saya. Setelah saya memutuskan untuk merancang sebuah gagasan “Upgrade Yourself!” saya mulai menemukan sebuah jalan yang bagi saya begitu penting, yaitu peningkatan pengetahuan. Saya mencoba untuk bertanya-tanya kepada kawan-kawan dan guru saya tentang buku-buku yang bisa disarankan bagi saya untuk memulai proses ini. Banyak buku yang ia sebutkan. Kemudian, diantara sekian banyak buku yang disebutkan, buku pertama yang saya pilih untuk memulai proses membaca ini adalah buku “Tugas Cendekiawan Muslim” karya Ali Syariati.

Melalui buku Ali Syariati tersebut, saya semakin termotivasi untuk lebih giat lagi belajar dan membaca. Saya menemukan sebuah konsep “Rhausan Fikr” yang kurang lebih bisa diartikan sebagai cendekiawan yang memiliki peran besar untuk menggerakan masyarakat menuju sebuah titik kemajuan secara progressif. Dari sini, saya berkesimpulan bahwa saya harus lebih serius lagi membaca dan mulai merancang perjalanan intelektual saya sendiri.

Perjalanan intelektual adalah sebuah proses yang akan berlangsung sepanjang hidup selama kita masih terus belajar. Di dalamnya, kita akan menemukan berbagai macam tantangan. Tentunya kita perlu melibatkan tenaga lebih dalam berdialektika. Menetapkan sebuah tesis, kemudian menghadirkan anti-tesis, dan menghasilkan sebuah sintesis. Konstruksi, rekonstruksi, dan dekonstruksi pasti terjadi. Proses ini akan berlangsung terus. Apalagi jika buku-buku yang kita baca merupakan buku-buku yang multiperspektif. Pasti akan sering terjadi pergumulan di dalam kepala. Dan ini yang justru akan mempertajam logika kita, menambah keketatan metode berpikir, membuka pandangan yang lebih luas melalui proses penalaran yang baik.

Akhirnya saya merancang perjalanan intelektual ini. Saya mulai membayangkan diri saya di masa depan akan menjadi seperti apa yang saya cita-citakan. Saya semakin gandrung untuk berkelana ke perpustakaan, toko-toko buku, dan mencari tahu buku-buku apa saja yang menarik. Buku-buku yang saya temukan kemudian saya catat untuk masuk waiting list bacaan yang akan saya tuntaskan. Dalam merancang perjalanan intelektual ini tentunya saya tidak mau menjadi orang yang miskin perspektif sehingga terkesan kurang hiburan. Meskipun saat ini saya cukup akrab dengan kehidupan akademik yang sekuler, biar bagaimanapun juga saya adalah seorang santri. Saya tidak akan melepaskan diri saya dari pembelajaran agama walaupun penyelaman atas dunia filsafat semakin sering saya lakukan. Saya sadar penggalian dan pergumulan pemikiran sangat riskan untuk menyentuh sekulerisme. Akan tetapi, saya yakin bekal 12 tahun di sekolah berbau agama akan menjaga saya untuk tetap “on the track”. Oleh karena itu, dalam rancangan perjalanan intelektual ini saya selalu berusaha untuk menyeimbangkan segalanya. Kalau saya menyentuh perspektif kiri, saya tidak lupa menyentuh perspektif kanan. Kalau menyentuh hal-hal berbau sekulerisme, saya juga harus menyentuh hal-hal berbau agama dan spiritualitas(re:tasawuf).


Saya kira dengan rancangan perjalanan intelektual yang multiperspektif output yang dihasilkan adalah sikap yang didasari oleh metode berpikir “manhajul fikri at tawassuthy” atau disebut juga metode berpikir moderat. Dengan metode berpikir moderat, pemahaman atas berbagai macam realitas akan akan menjadi lebih komprehensif. Kita akan selalu berusaha mencari titik harmoni dari suatu permasalahan dan menyelesaikannya secara bijak. Apa yang akan kita ungkapkan baik secara lisan maupun tulisan akan sangat tercermin dari apa yang kita baca. Bagi saya, disitulah pentingnya mambaca dan merancang perjalanan intelektual.  


Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall