Akhir-akhir
ini saya sedang keranjingan membaca. Entah tepatnya motivasi ini muncul dari
mana, yang jelas sepertinya saya sedang menemukan fase baru dalam hidup saya. Berawal
dari misi besar saya yang bertajuk “Upgrade Yourself” di tahun ini, saya
mencoba untuk menemukan cara terbaik untuk meningkatkan kualitas diri saya
pribadi. Saya mencoba merumuskan berbagai macam hal, dan tidak ketinggalan saya
menempatkan peningkatan pengetahuan sebagai salah satu prioritas. Bagaimana
tidak, penguasaan atas pengetahuan akan menjadi salah satu faktor penentu
kualitas hidup kita ke depannya. Pengetahuan akan menjadi dasar kita bertindak
dan berperan di masyarakat kelak.
Sejak dulu
sebetulnya saya selalu menyempatkan diri untuk membaca buku. Sejak masa SMA,
karena saya merupakan siswa IPS, saya memiliki kesempatan yang lebih banyak
untuk berinteraksi dengan salah satu guru sejarah yang selalu menganjurkan dan
mendorong siswa-siswinya untuk banyak membaca. Banyak buku yang beliau
sarankan. Mulai dari buku bertema sosial-politik, sejarah, biografi, sastra, agama,
bahkan filsafat. Pada waktu itu saya mendengarkan pesan beliau untuk membaca.
Ya, setidaknya saya masih membaca beberapa buku selama setahun. Maklum, dulu
saya cukup aktif di kegiatan keorganisasian di IC. Kelas satu kekuatan saya
sangat terserap oleh beban akademik. Kelas dua, fokus mulai berubah ke arah
organisasi karena saya menjadi ketua MPS yang turut juga turun dalam
kepanitiaan-kepanitiaan baik yang bersifat supervisi maupun eksekusi. Kelas
tiga, sudah tidak ada lagi waktu untuk macam-macam. Mungkin ini momentum “tebus
dosa” karena sedari kelas satu dan dua saya tidak terlalu rajin belajar.
Kondisi-kondisi inilah yang membuat saya abai terhadap keseriusan membaca. Saya
hanya membaca kalau itu yang memang menarik dan sedang gandrung dibahas oleh
kawan-kawan. Akan tetapi, di masa SMA ini juga saya mulai mengenal dunia
pergerakan setelah membaca dan menonton film GIE.
Pada masa
kuliah di tahun pertama ceritanya lain lagi. Maklum, yang namanya maba masih
mencari identitas, saya berusaha untuk membaca dari permukaan terhadap segala
macam yang saya temui. Saya melampaui bayangan saya menyoal kehidupan kuliah
yang dalam perencanaan saya dulu hanya ingin kuliah dan naik gunung. Rupanya
tuhan membawa saya kepada jalan yang berbeda. Saya terjun ke dunia yang orang
sebut dengan “pergerakan” atau “aktivisme” atau apapun itu bahasanya. Pada
titik ini, saya memasuki fase baru dan melampaui imajinasi sebelum-sebelumnya.
Saya sadar
saya punya potensi kemauan belajar yang keras terhadap suatu bidang yang sangat
saya minati. Sejak kecil saya memang lebih suka terhadap hal-hal berbau sosial
dan sejarah. Potensi mendasar ini melecut saya untuk melangkah lebih jauh.
Sewaktu saya terjun di dunia yang bernama pergerakan itu, saya berkenalan
dengan orang-roang yang gemar membaca, menulis, dan diskusi. Dari sini saya
mulai kembali menemukan motivasi untuk membaca lebih giat lagi. Saya iri
sekaligus kagum terhadap kawan-kawan saya yang memiliki pengetahuan yang begitu
luas tentang sosial-politik. Saya terpacu untuk belajar lebih. Berkenalan lebih
jauh dengan ideologi, filsafat, dan sebagainya. Saya mulai mendalami
pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh seperti Tan Malaka, Marx, Engels, dan sejumlah
tokoh lainnya.
Sebagai
seorang mahasiswa administrasi niaga, sepatutnya ilmu yang saya dalami adalah
ilmu bisnis. Mungkin seharusnya jumlah bacaan saya terkait bisnis menjadi
prioritas. Namun, saya perlu mendefiniskan kembali tujuan dan orientasi hidup
saya tidak sebatas selesai sampai disitu. Saya masuk jurusan berbau bisnis
bukan untuk menghambakan diri saya dalam dunia itu selamanya. Saya punya tujuan
untuk berperan lebih di masyarakat. Bisnis hanyalah salah satu upaya menunjang
hidup saya dan keluarga saya kelak. Sisanya mengabdikan diri bagi masyarakat
dengan jalan apapun itu. Oleh karenanya, saya membuka lebar-lebar pintu
penerimaan atas pengetahuan di luar bidang kuliah yang saya tekuni. Ketika tujuan
hidup saya adalah mengabdikan diri di masyarakat, maka saya harus mengenal
lebih jauh berbagai macam hal terkait dengan masyarakatnya. Bagaimana kondisi
sosial, budaya, politik, ekonomi, keagamaan, filsafat, ideologi, dan sebagainya
harus saya pelajari, minimal saya kenali.
Pada tahun
kedua kuliah, saya kembali mengolah, memikirkan, dan merenungkan kembali arah
dan jalan hidup saya. Setelah saya memutuskan untuk merancang sebuah gagasan “Upgrade
Yourself!” saya mulai menemukan sebuah jalan yang bagi saya begitu penting,
yaitu peningkatan pengetahuan. Saya mencoba untuk bertanya-tanya kepada kawan-kawan
dan guru saya tentang buku-buku yang bisa disarankan bagi saya untuk memulai
proses ini. Banyak buku yang ia sebutkan. Kemudian, diantara sekian banyak buku
yang disebutkan, buku pertama yang saya pilih untuk memulai proses membaca ini
adalah buku “Tugas Cendekiawan Muslim” karya Ali Syariati.
Melalui buku
Ali Syariati tersebut, saya semakin termotivasi untuk lebih giat lagi belajar
dan membaca. Saya menemukan sebuah konsep “Rhausan Fikr” yang kurang lebih bisa
diartikan sebagai cendekiawan yang memiliki peran besar untuk menggerakan
masyarakat menuju sebuah titik kemajuan secara progressif. Dari sini, saya
berkesimpulan bahwa saya harus lebih serius lagi membaca dan mulai merancang
perjalanan intelektual saya sendiri.
Perjalanan
intelektual adalah sebuah proses yang akan berlangsung sepanjang hidup selama
kita masih terus belajar. Di dalamnya, kita akan menemukan berbagai macam
tantangan. Tentunya kita perlu melibatkan tenaga lebih dalam berdialektika.
Menetapkan sebuah tesis, kemudian menghadirkan anti-tesis, dan menghasilkan
sebuah sintesis. Konstruksi, rekonstruksi, dan dekonstruksi pasti terjadi. Proses
ini akan berlangsung terus. Apalagi jika buku-buku yang kita baca merupakan
buku-buku yang multiperspektif. Pasti akan sering terjadi pergumulan di dalam
kepala. Dan ini yang justru akan mempertajam logika kita, menambah keketatan
metode berpikir, membuka pandangan yang lebih luas melalui proses penalaran
yang baik.
Akhirnya saya
merancang perjalanan intelektual ini. Saya mulai membayangkan diri saya di masa
depan akan menjadi seperti apa yang saya cita-citakan. Saya semakin gandrung
untuk berkelana ke perpustakaan, toko-toko buku, dan mencari tahu buku-buku apa
saja yang menarik. Buku-buku yang saya temukan kemudian saya catat untuk masuk
waiting list bacaan yang akan saya tuntaskan. Dalam merancang perjalanan
intelektual ini tentunya saya tidak mau menjadi orang yang miskin perspektif
sehingga terkesan kurang hiburan. Meskipun saat ini saya cukup akrab dengan
kehidupan akademik yang sekuler, biar bagaimanapun juga saya adalah seorang
santri. Saya tidak akan melepaskan diri saya dari pembelajaran agama walaupun
penyelaman atas dunia filsafat semakin sering saya lakukan. Saya sadar
penggalian dan pergumulan pemikiran sangat riskan untuk menyentuh sekulerisme.
Akan tetapi, saya yakin bekal 12 tahun di sekolah berbau agama akan menjaga
saya untuk tetap “on the track”. Oleh karena itu, dalam rancangan perjalanan
intelektual ini saya selalu berusaha untuk menyeimbangkan segalanya. Kalau saya
menyentuh perspektif kiri, saya tidak lupa menyentuh perspektif kanan. Kalau
menyentuh hal-hal berbau sekulerisme, saya juga harus menyentuh hal-hal berbau
agama dan spiritualitas(re:tasawuf).
Saya kira
dengan rancangan perjalanan intelektual yang multiperspektif output yang
dihasilkan adalah sikap yang didasari oleh metode berpikir “manhajul fikri at
tawassuthy” atau disebut juga metode berpikir moderat. Dengan metode berpikir
moderat, pemahaman atas berbagai macam realitas akan akan menjadi lebih
komprehensif. Kita akan selalu berusaha mencari titik harmoni dari suatu
permasalahan dan menyelesaikannya secara bijak. Apa yang akan kita ungkapkan
baik secara lisan maupun tulisan akan sangat tercermin dari apa yang kita baca.
Bagi saya, disitulah pentingnya mambaca dan merancang perjalanan intelektual.
Tidak ada komentar
Posting Komentar