Saya sering menemui berbagai obrolan hebat di antara “anak gerakan” atau “orang pergerakan”. Saya menyebutnya hebat, karena seringkali yang mereka obrolkan membuat saya kebingungan. Ingin nimbrung tapi ngga ngerti bahasan. Seringkali berlarut-larut dalam obrolan, tak jarang menimbulkan perbedatan. Dan herannya, kok mereka tahan?
Ketika mereka berbicara tentang sesuatu untuk didiskusikan, saya mungkin cuman bisa gigit jari, decak kagum geleng-geleng, dan bertanya-tanya kepada diri sendiri “saya bisa bicara begini kapan?”. Saya pun penasaran mengapa mereka bisa begitu tahan dalam suatu perdebatan, menjabarkan berbagai teori dan pendekatan, saling kritik dan tarik-ulur logika untuk mengambil kesimpulan. Waw! Apa harus segitunya ya jadi “anak gerakan” atau “orang pergerakan” ? Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya kepada seorang kawan mengapa hal itu ia lakukan . Dia hanya menjawab “Dialektika itu penting dalam gerakan!”
Dengan semangat rasa penasaran seorang awam, saya berkutat untuk mendalami lebih jauh soal dialektika ini. Mungkin tidak dalam dan jauh, sebatas googling dengan sumber sesederhana mungkin untuk saya pahami.
Dalam bahasan dialektika ini, saya mengenal seorang tokoh bernama Hegel. Ia membangun sistem filsafatnya terdiri dari “triade-triade” yang merupakan rangkaian proses dialektis tiga tahap : (1)tesis, (2)antitesis, dan (3)sintesis. Disini kita bisa mendefinisikan tesis sebagai suatu konsep universal yang abstrak sebagai titik tolak. Sedangkan antitesis merupakan kontradiksi atas tesis. Dan, kedua konsep yang bertentangan tersebut kemudian disatukan dalam sintesis. Ketiga konsep inilah yang menjadi landasan sistem filsafat hegel untuk mencari kebenaran.
Dalam sebuah gerakan tentunya sangat lazim kita akan menemukan berbagai macam pandangan ideologis yang mungkin saja saling bertentangan. Perbedaan pandangan dan haluan ideologis tersebut biasanya memunculkan kritik dan dinamika dengan perdebatan. Ketika dikritik, banyak orang yang menganggap adanya kritik-mengkritik dan perdebatan akan menghambat sebuah gerakan. Kritik-mengkritik, perdebatan, dan pertempuran wacana kerapkali dianggap sebagai sesuatu yang merusak citra gerakan dan memperburuk keadaan. Saya kira banyak orang yang terjebak untuk fokus pada siapa yang mengkritiknya, sehingga banyak yang menganggap kritik itu sebagai sebuah serangan. Banyak orang lupa kalau dibalik tajamnya pisau kritik yang mencabik ada kata “apa” atau substansi kepedulian dan kesamaan tujuan, yakni pencarian kebenaran atas apa yang dilakukan dan diperjuangkan.
Mencari Kebenaran. Rupanya ini yang menjadi motivasi dasar bagi kawan-kawan saya yang “anak gerakan” itu untuk larut dalam obrolan atau dalam suatu perdebatan. Jika memang ini menjadi sebuah dasar dan motivasinya, saya kira kritik-mengkritik menjadi sebuah kebutuhan. Dengan proses dialektis, sebuah wacana akan dikonstruksi, kemudian mengalami dekonstruksi, untuk kembali direkonstruksi. Adanya dialektika ini akan menjadi suatu kebutuhan untuk menentukan arah dan pendekatan yang paling tepat dalam sebuah gerakan. Sehingga, perlu dipertanyakan kembali apabila ada golongan yang menganggap kritik-mengkritik dan dialektika dalam gerakan sebagai sebuah ancaman. Dalam bahasa yang lebih simpel, kita bisa pertanyakan dalam sebuah kalimat “Kok anak gerakan segitunya gampang baperan?”
Bukankah dalam demokrasi ruang dialektika sangat relevan untuk disediakan? Saya kira alangkah lebih baik jika kita kembali berpikir sejenak dan merenungkan. Masihkah dialektika layak kita anggap sebagai sebuah ancaman ataukah justru dialektika menjadi suatu kebutuhan? Silahkan anda tentukan!
Tidak ada komentar
Posting Komentar