Selasa, 21 Juni 2016

DAKWAH : TUGAS SIAPA ?



Beberapa hari yang lalu saya melaksanakan solat jumat di salah satu tempat di sudut kampus. Seperti biasanya solat jumat dilaksanakan dengan didahului khutbah yang disampaikan oleh khotib.

Saya tiba di lokasi tidak benar-benar tepat pada waktunya sehingga kurang terlalu mengerti tema besar dari khutbah yang disampaikan. Akan tetapi, saya mulai merasa tersentil ketika sang khotib membacakan sebuah ayat yang rasanya tak asing di telinga saya, yaitu surat An Nahl ayat 125.

Kurang lebih bunyinya demikian :

“Ud’u Ilaa sabiili robbika bil hikmati wal mau’izhotil hasanati wa jaadilhum billatii hiya ahsan, inna robbaka ya’lamu man dholla an sabiilihi wa huwa a’lamu bil muhtadiin”

Setelah saya mendengar sang khotib membacakan ayat tersebut, roda imajinasi saya bergerak dan sedikit merenungi tentang perintah dakwah ini. Selain memahami ayat ini sebagai sebuah ayat yang menjelaskan tentang metode dakwah yang tepat, ayat ini jelas mengandung perintah atau anjuran untuk melakukan dakwah.

Berkaitan dengan hal ini, imajinasi saya beranjak menuju ayat lain yang relevan. Ayat tersebut terkandung dalam surat Ali Imran ayat 104 yang bunyinya demikian :
“Wal takun minkum ummatun yad’uuna ilal khoiri wa ya’muruuna bil ma’ruufi wa yanhauna anil munkar wa ulaa’ika humul muflihuun.”

Kurang lebih artinya demikian :

 "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung".

Dalam kapasitas saya sebagai seorang muta’allim(pembelajar) dan mutadabbir(pentadabbur), bukan sebagai seorang mufassir(penafsir), saya mencoba berpikir lebih jauh. Ayat ini sesunggguhnya merupakan sebuah bentuk perintah atau anjuran yang Allah berikan kepada manusia untuk melaksanakan tugasnya di muka bumi ini. Menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dengan kata lain kedua hal tersebut bisa kita simpulkan menjadi satu kata “dakwah”.

Saya mencoba menerka-nerka maksud ayat ini meskipun sedikit takut karena kapasitas saya bukan sebagai seorang mufassir. Namun, saya teringat satu pelajaran penting yang saya dapat dari maiyahan kenduri cinta yang dikatakan oleh Cak Nun bahwasanya siapapun punya hak untuk mentadabburi ayat Allah selama proses ta’allum, dalam proses pencarian kebenaran.

Masing-masing kita perlu saling rendah hati untuk tidak merasa paling benar dalam memahami alquran. Toh, masing-masing kita punya jarak terhadap alquran itu. Sehingga tidak ada satupun tafsir mutlak atas alquran dari ulama se-arif apapun, karena kebenaran hanya secara mutlak dimiliki oleh Allah dan rasulnya.

Kembali kepada bahasan dakwah. Kesoktahuan saya mungkin diawali dari sedikit otak-atik pemahaman dasar saya tentang ilmu nahwu dan shorof. Perintah “waltakun minkum ummatun”  pada ayat 104 surat ali imran mengandung  makna yang secara general membuka peluang bagi siapapun yang dimaksud dan menjadi bagian dari “Ummatun” tersebut.

Meskipun ada pendapat yang menyatakan adanya reduksi makna “ummatun” melalui kata “minkum” seperti pendapat Al Qurthubi dalam kitab tafsirnya sehingga menimbulkan dikotomi hukum wajib dan fardhu kifayah, namun di sisi lain argumen saya tentang perintah dakwah yang berlaku bagi seluruh ummat juga didukung oleh Imam Fakhruddin Ar Razi dalam kitabnya Tafsir Al Kabir atau yang biasa dikenal dengan Mafatihul ghaib.

Ar Razi menyatakan bahwa memang ada dua dikotomi pendapat. Namun kata “minkum” di sini bukan untuk mereduksi generalitas makna kata “ummatun” melainkan sebagai penjelasan. Sehingga keumuman perintah dakwah dalam ayat ini lebih bertumpu pada kalimat setelahnya yaitu “ya’muruuna bil ma’ruufi wa yanhauna a’nil munkar”.

Setelah berpikir-pikir dan sedikit kembali cari-cari bahan bacaan, saya mulai berpikir tentang perintah dan praktek dakwah dalam konteks hari ini. Mungkin, ini seakan-akan seperti sebuah kritik atau dumelan-dumelan saya yang sebetulnya masih “qolilun ilmuhu” tapi “katsirun kalamuhu”. Tapi ya semoga bisa jadi bahan renungan. Barangkali ada manfaat dan kebenaran dan menjadi ilmu yang bisa dijariyahkan.

Dalam konteks hari ini entah mengapa saya melihat adanya sebuah bentuk ekslusifitas dakwah yang mengacu pada suatu golongan tertentu maupun tokoh-tokoh tertentu. Dakwah seakan-akan hanya boleh dan dapat dibicarakan oleh segolongan tertentu yang tampilannya memang orang pantas berdakwah.

Ya, simpelnya pake kata “monopoli dakwah” deh.
Bagi para ulama memang sudah tugasnya berdakwah. Apalagi semakin tinggi ilmunya, semakin besar tanggung jawabnya kepada ummat, karena mereka bisa terkategorikan sebagai ulil amri. Akan tetapi, jangan sampai seakan-akan dakwah itu sendiri hanya boleh disampaikan oleh mereka. Siapapun kita berhak bahkan ada yang berpendapat berkewajiban untuk berdakwah dalam bentuk apapun, sekecil apapun. Di sini, para ulama sebetulnya punya tugas lebih untuk mengajarkan ummat ilmu yang bermanfaat dan mendakwahkannya.

Dalam konteks yang lebih dekat dengan kehidupan saya, yaitu konteks kehidupan kampus, dakwah punya cerita yang berbeda. Dalam konteks kampus, tidak semuanya sih, tapi entah mengapa saya merasa wacana dakwah seakan-akan terkungkung dan tidak dapat menembus tembok-tembok musolah atau masjid.

Ya mungkin kadang tembus sih, tapi bisa ditembusnya ke aula-aula yang sudah diisi oleh segolongan orang-orang yang pantas berdakwah tersebut sahaja. Seakan-akan dakwah itu tidak main di kantin yang banyak perokoknya, yang banyak botol miras dan kartu-kartu berserakan di atas mejanya, dan rupa-rupa orang yang secara tampilan berbeda dengan golongan di atas.

Loh kok gitu ya? Saya cuman kepikiran aja kapan wacana dakwah ini mau berkembang kalau seandainya bahasan-bahasan menyoal agama tak dapat menembus tembok-tembok musolah dan aula-aula formal acara dan diskusi atau seminar dakwah.

Ah kurang asik sih jadinya. Padahal, dulu walisongo dan para ulama lainnya bisa dakwah dengan asik . Bisa dakwah sambil main wayang, bisa dakwah sambil main gamelan, bisa dakwah sambil ngobrol ngalor-ngidul sama penenggak arak yang masih nyembah kendi, pokoknya asik lah dakwahnya.

Di situ saya temukan adanya kecerdasan sosial para ulama saat itu yang sangat tinggi. Mereka bisa membaca dan memahami kondisi sosio-kultural masyarakatnya sehingga mencari pendekatan yang pas dalam berdakwah. Di situ juga terlihat letak ketawadhuan (rendah hati) para ulama saat itu yang mau blusukan(minjem bahasanya media) atau bahasa orang kirinya grassroot lah dakwahnya.

Ya mungkin kondisi ummat hari udah berbeda sih ya. Dulu kan belum ada organisasi formal atau lembaga-lembaga formal berbentuk ormas, partai, atau institusi apapun. Dulu juga belum ada model pendidikan yang memberikan gelar khusus kepada para muta’allim ilmu agama yang telah “najah” dalam studinya seperti sekarang sehingga punya gelar S.Ag atau M. Ag dan sebagainya.

Mungkin saja ulama-ulama dulu peluang orientasi belajarnya lebih sedikit, paling ya “nawaitut ta’allum”-nya (niat belajar) bener-bener untuk “i’laa’i kalimatillah”(menegakkan kalimat Allah) dan tidak seperti saat ini yang peluang orientasinya lebih banyak seperti “li tolabil fulusi” (cari duit) atau “li assasil hizbi”(bikin partai).Yang terakhir ini su’udzon aja loh ya, dan bentuknya kan masih “mungkin” jadi cuman mau buka kemungkinan dan bukan bentuk justifikasi.

Pada initinya dari tulisan saya ini, saya cuman pengen sampaikan dumelan saya kalau dakwah itu milik semua, tugas semua. Dakwah menjadi tugas semua meskipun dalam kapasitas yang berbeda-beda. Bentuknya juga bisa berbeda-beda, bisa dalam bentuk nasihat maupun tindakan atau bentuk-bentuk lainnya.

Selayaknya dan sepatutnya kita sadar akan hal itu. Baik yang sudah merasa sebagai “pendakwah” maupun yang belum. Bagi yang sudah merasa “pendakwah” ya jangan ngerasa segan lah buat main-main di luar musolah/masjid bersama golongan dan jamaahnya.

Barangkali ada hikmah dan ibroh yang bisa diambil toh siapa yang tau. Bahkan nasihat dari seekor binatang pun apabila itu baik maka harus kita ambil, apalagi yang datangnya dari manusia.
Mungkin sekian curhatan dan dumelan saya. Berawal dari pertanyaan, “dakwah itu tugas siapa?” jadinya saya melipir kemana-mana juga jadinya kan nggak enak.

Saya tutup tulisan ini dengan kalimat “wallahu a’lam bis showab” yang artinya Allah yang Maha tahu atas kebenaran yang sebenar-benarnya, sehaki-hakikinya.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall