Beberapa hari yang lalu saya
melaksanakan solat jumat di salah satu tempat di sudut kampus. Seperti biasanya
solat jumat dilaksanakan dengan didahului khutbah yang disampaikan oleh khotib.
Saya tiba di lokasi tidak
benar-benar tepat pada waktunya sehingga kurang terlalu mengerti tema besar
dari khutbah yang disampaikan. Akan tetapi, saya mulai merasa tersentil ketika
sang khotib membacakan sebuah ayat yang rasanya tak asing di telinga saya, yaitu
surat An Nahl ayat 125.
Kurang lebih bunyinya demikian :
“Ud’u Ilaa sabiili robbika bil
hikmati wal mau’izhotil hasanati wa jaadilhum billatii hiya ahsan, inna robbaka
ya’lamu man dholla an sabiilihi wa huwa a’lamu bil muhtadiin”
Setelah saya mendengar sang
khotib membacakan ayat tersebut, roda imajinasi saya bergerak dan sedikit
merenungi tentang perintah dakwah ini. Selain memahami ayat ini sebagai sebuah
ayat yang menjelaskan tentang metode dakwah yang tepat, ayat ini jelas
mengandung perintah atau anjuran untuk melakukan dakwah.
Berkaitan dengan hal ini,
imajinasi saya beranjak menuju ayat lain yang relevan. Ayat tersebut terkandung
dalam surat Ali Imran ayat 104 yang bunyinya demikian :
“Wal takun minkum ummatun
yad’uuna ilal khoiri wa ya’muruuna bil ma’ruufi wa yanhauna anil munkar wa
ulaa’ika humul muflihuun.”
Kurang lebih artinya demikian :
"Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar.
Merekalah orang-orang yang beruntung".
Dalam kapasitas saya sebagai
seorang muta’allim(pembelajar) dan mutadabbir(pentadabbur), bukan sebagai
seorang mufassir(penafsir), saya mencoba berpikir lebih jauh. Ayat ini sesunggguhnya merupakan
sebuah bentuk perintah atau anjuran yang Allah berikan kepada manusia untuk
melaksanakan tugasnya di muka bumi ini. Menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar. Dengan kata lain kedua hal tersebut bisa kita simpulkan
menjadi satu kata “dakwah”.
Saya mencoba menerka-nerka maksud
ayat ini meskipun sedikit takut karena kapasitas saya bukan sebagai seorang
mufassir. Namun, saya teringat satu pelajaran penting yang saya dapat dari
maiyahan kenduri cinta yang dikatakan oleh Cak Nun bahwasanya siapapun punya
hak untuk mentadabburi ayat Allah selama proses ta’allum, dalam proses
pencarian kebenaran.
Masing-masing kita perlu saling
rendah hati untuk tidak merasa paling benar dalam memahami alquran. Toh,
masing-masing kita punya jarak terhadap alquran itu. Sehingga tidak ada satupun
tafsir mutlak atas alquran dari ulama se-arif apapun, karena kebenaran hanya
secara mutlak dimiliki oleh Allah dan rasulnya.
Kembali kepada bahasan dakwah.
Kesoktahuan saya mungkin diawali dari sedikit otak-atik pemahaman dasar saya
tentang ilmu nahwu dan shorof. Perintah “waltakun minkum ummatun” pada ayat 104 surat ali imran mengandung makna yang secara general membuka peluang
bagi siapapun yang dimaksud dan menjadi bagian dari “Ummatun” tersebut.
Meskipun ada pendapat yang
menyatakan adanya reduksi makna “ummatun” melalui kata “minkum” seperti
pendapat Al Qurthubi dalam kitab tafsirnya sehingga menimbulkan dikotomi hukum
wajib dan fardhu kifayah, namun di sisi lain argumen saya tentang perintah
dakwah yang berlaku bagi seluruh ummat juga didukung oleh Imam Fakhruddin Ar
Razi dalam kitabnya Tafsir Al Kabir atau yang biasa dikenal dengan Mafatihul
ghaib.
Ar Razi menyatakan bahwa memang
ada dua dikotomi pendapat. Namun kata “minkum” di sini bukan untuk mereduksi
generalitas makna kata “ummatun” melainkan sebagai penjelasan. Sehingga keumuman
perintah dakwah dalam ayat ini lebih bertumpu pada kalimat setelahnya yaitu
“ya’muruuna bil ma’ruufi wa yanhauna a’nil munkar”.
Setelah berpikir-pikir dan
sedikit kembali cari-cari bahan bacaan, saya mulai berpikir tentang perintah
dan praktek dakwah dalam konteks hari ini. Mungkin, ini seakan-akan seperti
sebuah kritik atau dumelan-dumelan saya yang sebetulnya masih “qolilun ilmuhu”
tapi “katsirun kalamuhu”. Tapi ya semoga bisa jadi bahan renungan. Barangkali ada manfaat dan
kebenaran dan menjadi ilmu yang bisa dijariyahkan.
Dalam konteks hari ini entah
mengapa saya melihat adanya sebuah bentuk ekslusifitas dakwah yang mengacu pada
suatu golongan tertentu maupun tokoh-tokoh tertentu. Dakwah seakan-akan hanya
boleh dan dapat dibicarakan oleh segolongan tertentu yang tampilannya memang
orang pantas berdakwah.
Ya, simpelnya pake kata “monopoli
dakwah” deh.
Bagi para ulama memang sudah
tugasnya berdakwah. Apalagi semakin tinggi ilmunya, semakin besar tanggung
jawabnya kepada ummat, karena mereka bisa terkategorikan sebagai ulil amri. Akan tetapi, jangan sampai
seakan-akan dakwah itu sendiri hanya boleh disampaikan oleh mereka. Siapapun
kita berhak bahkan ada yang berpendapat berkewajiban untuk berdakwah dalam
bentuk apapun, sekecil apapun. Di sini, para ulama sebetulnya punya tugas lebih
untuk mengajarkan ummat ilmu yang bermanfaat dan mendakwahkannya.
Dalam konteks yang lebih dekat
dengan kehidupan saya, yaitu konteks kehidupan kampus, dakwah punya cerita yang
berbeda. Dalam konteks kampus, tidak semuanya sih, tapi entah mengapa saya
merasa wacana dakwah seakan-akan terkungkung dan tidak dapat menembus
tembok-tembok musolah atau masjid.
Ya mungkin kadang tembus sih,
tapi bisa ditembusnya ke aula-aula yang sudah diisi oleh segolongan orang-orang
yang pantas berdakwah tersebut sahaja. Seakan-akan dakwah itu tidak main di
kantin yang banyak perokoknya, yang banyak botol miras dan kartu-kartu
berserakan di atas mejanya, dan rupa-rupa orang yang secara tampilan berbeda
dengan golongan di atas.
Loh kok gitu ya? Saya cuman
kepikiran aja kapan wacana dakwah ini mau berkembang kalau seandainya
bahasan-bahasan menyoal agama tak dapat menembus tembok-tembok musolah dan
aula-aula formal acara dan diskusi atau seminar dakwah.
Ah kurang asik sih jadinya.
Padahal, dulu walisongo dan para ulama lainnya bisa dakwah dengan asik . Bisa
dakwah sambil main wayang, bisa dakwah sambil main gamelan, bisa dakwah sambil
ngobrol ngalor-ngidul sama penenggak arak yang masih nyembah kendi, pokoknya
asik lah dakwahnya.
Di situ saya temukan adanya
kecerdasan sosial para ulama saat itu yang sangat tinggi. Mereka bisa membaca
dan memahami kondisi sosio-kultural masyarakatnya sehingga mencari pendekatan
yang pas dalam berdakwah. Di situ juga terlihat letak ketawadhuan (rendah hati)
para ulama saat itu yang mau blusukan(minjem bahasanya media) atau bahasa orang
kirinya grassroot lah dakwahnya.
Ya mungkin kondisi ummat hari
udah berbeda sih ya. Dulu kan belum ada organisasi formal atau lembaga-lembaga
formal berbentuk ormas, partai, atau institusi apapun. Dulu juga belum ada
model pendidikan yang memberikan gelar khusus kepada para muta’allim ilmu agama
yang telah “najah” dalam studinya seperti sekarang sehingga punya gelar S.Ag
atau M. Ag dan sebagainya.
Mungkin saja ulama-ulama dulu
peluang orientasi belajarnya lebih sedikit, paling ya “nawaitut ta’allum”-nya
(niat belajar) bener-bener untuk “i’laa’i kalimatillah”(menegakkan kalimat
Allah) dan tidak seperti saat ini yang peluang orientasinya lebih banyak
seperti “li tolabil fulusi” (cari duit) atau “li assasil hizbi”(bikin
partai).Yang terakhir ini su’udzon aja loh ya, dan bentuknya kan masih
“mungkin” jadi cuman mau buka kemungkinan dan bukan bentuk justifikasi.
Pada initinya dari tulisan saya
ini, saya cuman pengen sampaikan dumelan saya kalau dakwah itu milik semua,
tugas semua. Dakwah menjadi tugas semua meskipun dalam kapasitas yang
berbeda-beda. Bentuknya juga bisa berbeda-beda, bisa dalam bentuk nasihat
maupun tindakan atau bentuk-bentuk lainnya.
Selayaknya dan sepatutnya kita
sadar akan hal itu. Baik yang sudah merasa sebagai “pendakwah” maupun yang
belum. Bagi yang sudah merasa “pendakwah” ya jangan ngerasa segan lah buat
main-main di luar musolah/masjid bersama golongan dan jamaahnya.
Barangkali ada hikmah dan ibroh
yang bisa diambil toh siapa yang tau. Bahkan nasihat dari seekor binatang pun
apabila itu baik maka harus kita ambil, apalagi yang datangnya dari manusia.
Mungkin sekian curhatan dan
dumelan saya. Berawal dari pertanyaan, “dakwah itu tugas siapa?” jadinya saya
melipir kemana-mana juga jadinya kan nggak enak.
Saya tutup tulisan ini dengan
kalimat “wallahu a’lam bis showab” yang artinya Allah yang Maha tahu atas
kebenaran yang sebenar-benarnya, sehaki-hakikinya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar