Rabu, 01 Juni 2016

Catatan 1/6/16

Malam ini seperti malam-malam biasanya, mampir ke salah satu tempat makan yang tak sepi dari pelanggan. Janjian dengan seorang kawan yang katanya esok hari mau ujian. Entah siapa yang membuka obrolan, tetiba saya dan kawan saya ini sampai pada satu obrolan yang berkesan. Ya, soal asmara, tentang perasaan.

Kami saling bertukar pandangan. Saling bercerita dan saling mendengarkan. Menarik memang, ada gejala-gejala, pola-pola, dan kecenderungan yang sama yang kami lakukan. Dari obrolan berkesan ini saya cukup banyak mengambil pelajaran.

Pertama, berkaitan dengan posesifitas. Kita sering melihat betapa posesifnya orang-orang dalam berhubungan. Secara resmi mungkin belum ada ikatan, namun tindak dan perilakunya kerapkali berlebihan. Sehingga, tatkala salah satunya meninggalkan, yang satunya hancur lebur berantakan. Memang sampai pada kadar tertentu, dalam suatu hubungan posesifitas memang dibutuhkan. Namun, akan sangat bahaya jika berlebihan.

Berkaitan dengan ini, dari hasil obrolan kami, dalam suatu hubungan baiknya tertanam di dalam akal sehat kita sebuah kesiapan. Ya, siap untuk memiliki dan siap untuk kehilangan. Siap untuk berkorban atau siap untuk mengorbankan. Siap untuk meninggalkan atau siap untuk ditinggalkan. Dan di antara dua hal yang kerapkali berlawanan, butuh pula adanya keseimbangan. Sebab hati manusia itu begitu cepat berubah. Hari ini bisa saja kita menjadi menjadi raja, menjadi orang yang berkesan, dan dirindukan oleh seseorang. Namun hari esok, bisa saja kita tidak menjadi apa-apa.

Kedua, masih berkaitan dengan posesifitas, kita dihadapkan pada dominasi dan pengaturan. Wajar saja dalam suatu hubungan muncul dominasi dan aturan(baik dengan maupun tanpa kesepakatan). Namun, kembali lagi, sampai kadar dan batas kewajaran. Banyak orang ketika menjalani hubungan, terlalu berlebihan dalam mendominasi dan membuat aturan. Disini, kita perlu menyadari dan mempertanyakan kembali: Memangnya kita ini siapa? Meminjam ungkapan seorang teman, ia pernah berujar " tidak pernah ada BIG DEAL dalam suatu hubungan kecuali benar-benar ada dalam suatu ikatan pernikahan."

Saya mencoba memikirkan perkataan tersebut lebih jauh. Ada benarnya juga, ketika kita dihadapkan pada status hubungan pacaran, bukankah itu hanya status bohong-bohongan? Ya, seseorang bisa saja bilang pacar hari ini, tapi esok hari bisa saja lain cerita. Berbeda dengan pernikahan yang tidak bisa sembarangan. Ada aturan, ada legalitas, pembagian yang jelas antara hak dan kewajiban.

Ketiga, dalam suatu hubungan, ibarat dalam sebuah bisnis, kita turut menginvestasikan apa yang kita miliki. Setidaknya 3 hal paling mendasar, yaitu perasaan, waktu, dan materi.  Investasi itu jelas ada dan perlu dilakukan. Akan tetapi kembali lagi, pada suatu kadar dan batas kewajaran. Berikan yang bisa kita berikan, lalu biarkan orang yang kita sayangi itu mengelolanya sendiri. Sebab, dari situ ia akan banyak mengambil pelajaran.

Keempat, mungkin ini harus menjadi dasar bagi ketiga hal di atas dan fondasi yang jelas dalam suatu hubungan, yaitu pelibatan tuhan. Terlepas dari kontradiksi pandangan pro-pacaran maupun kontra-pacaran, yang jelas gagasan pelibatan tuhan tetap diperlukan. Mengapa demikian? Kerapkali kita lupa melibatkan tuhan yang padahal masih bisa kita jangkau sesederhana lewat doa dalam sujud-sujud yang kita lakukan.Padahal ketika kita melibatkan tuhan dalam suatu hubungan, kita tidak perlu lagi memperketat posesifitas, dominasi dan peraturan, serta investasi berlebihan. Sebab, kita percaya bahwasanya semua itu adalah titipan. Mereka yang datang sebagai titipan bisa saja suatu saat akan diambil kembali. Mereka yang hadir saat ini suatu saat bisa saja pergi.  Dan di balik semua itu, terletak hikmah dan pelajaran. Jelas sekali, Allah ingin mengajarkan kita soal keikhlasan. Ikhlas untuk memiliki, ikhlas pula untuk kehilangan.

Ya, keempat hal tadi yang setidaknya mewarnai obrolan saya dengan seorang kawan. Memulai dari hal yang sederhana, namun ternyata menarik juga untuk dijadikan sebuah bahasan. Semoga, dengan bahasan ini kita tidak perlu ketakutan berlebihan untuk kehilangan dan ditinggalkan.

Terakhir, sebuah pepatah Arab yang terkenal mungkin juga bisa jadi bahan perenungan:

"Ahbib habiibaka haunan maa, asaa an yakuuna baghidoka yauman maa. Wa abghid bagiidhoka haunan maa, asaa an yakuuna habiibaka yauman maa."

Cintailah seseorang yang kamu cintai itu sekedarnya saja, karena bisa jadi pada suatu saat kelak ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah orang yang kamu benci itu sekedarnya saja, karena bisa jadi pada suatu saat kelak ia akan menjadi orang yang kamu cintai.

Wallahu A'lam Bis Showab

Beji, 2/6 sepertiga malam
-Lakon Hidup


Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall