Sejak memasuki kehidupan kampus,
semakin banyak hal-hal baru yang saya temukan. Ada banyak hal-hal baru yang
membuat saya merasa tertarik untuk menggalinya lebih dalam. Sedikit banyak
mengubah cara pandang saya dalam menjalani kehidupan. Dalam menjalani kehidupan
sehari-hari, kehidupan beragama, maupun dalam membangun relasi
sosial-masyarakat. Saya sadar bahwasanya kehidupan ini akan selalu dinamis.
Setiap kita berproses, berubah meninggalkan status quo atau bahkan menghindari
terjadinya dekadensi. Dan alur gerak terbaik adalah melangkah ke depan,
progressif.
Salah satu hal yang banyak memicu
saya untuk berdialektika dan membentuk pola pikir saya adalah masalah kehidupan
beragama. Islam, sebagai agama yang sedari kecil sudah melekat dalam kehidupan
saya ternyata begitu menarik untuk didalami dan dihayati. Sejak kecil ayah saya
tidak pernah melepaskan saya dari pendidikan agama. Dalam pendidikan
non-formal, ayah tidak pernah bosan membawa saya seliweran sana-sini untuk
ngaji dan menghadiri majelis-majelis ta’lim. Bahkan, nama saya sendiri adalah
pemberian guru beliau, Habib Ali Bin Abdurrahman Assegaf yang setiap minggunya
ayah kunjungi sedari muda. Begitupun dalam pendidikan formal, 12 tahun saya berstatus
sebagai anak madrasah. Dan disitulah saya mendapatkan pengalaman sebagai
santri.
Saya pernah berada dalam masa “sombong”
untuk malas belajar agama. Ketika saya berada di pondok dulu, saya pernah
merasa cukup untuk belajar ini-itu. Toh saya sudah bisa shalat, sudah sedikit
ngerti fiqih dan ilmu-ilmu lainnya, ngapain lagi saya baca buku agama. Sejak saat
itu saya tidak tertarik membaca buku-buku agama karena saya merasa buku-buku
berbau sosial-politik, sejarah, dan apapun itu yang dianggap mutakhir, keren,
dan intelek. Saya juga mempertanyakan kenapa lagi saya harus belajar akidah.
Masa iya ada orang ngga percaya sama tuhannya? Begitu pikir polos saya dulu.
Namun, semua pemikiran dan
pandangan saya berubah drastis saat saya memasuki kehidupan kampus. Banyak hal
yang berubah, banyak hal yang membuat saya kaget. Wajar saja, saya terbiasa
dalam kehidupan “ideal” yang semuanya dapat dikondisikan. Tetapi semua itu
tidak lagi saya temukan dan membuat saya perlu belajar lebih banyak. Sejak saat
itu saya mendekonstruksi sendiri pandangan saya sebelumnya dan menemukan
jawaban atas pertanyaan saya tentang esensi belajar akidah serta akhirnya saya berkesimpulan,
“jangan jauh-jauh dari agama, bacalah kembali
buku-buku agama, bertadabbur kembali ayat-ayat Allah baik yang qouliyah maupun
yang kauniyah”.
Ada sebuah pertanyaan besar yang
mengganjal di kepala saya. Mengapa hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan beragama,
mendasari perbuatan atas ketuhanan menjadi sebuah hal yang tabu di lingkungan
sekitar saya saat ini, baik akademik maupun non-akademik? Seakan-akan kita
perlu meninggalkan tuhan untuk mencapai kepuasan menguasai ilmu pengetahuan,
demi mendapat gelar “tercerahkan”. Saya berdialektika, mencoba mencari jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan besar tersebut.
Dari sebuah rumusan permasalahan
yang saya miliki, saya mencoba untuk membuat hipotesis. Mungkin, agama mulai
ditinggalkan sebab irasionalitasnya yang kerapkali membuat ummat beragama
menjadi buta dalam tindakan. Mendasarkan segala sesuatu atas nama agama secara
ekstrim, strik, rigid. Kemudian membuat tafsiran-tafsiran kaku atas ayat-ayat
suci maupun hadis-hadis nabi yang padahal bisa jadi tafsirannya tidak sampai
se-ekstrim itu. Ketika terjadi ketidakcocokan berdasarkan pemahaman agamanya
maka dengan mudah ia menjustifikasi orang lain berdosa besar, bidah, kafir dan
sebagainya.
Saya kembali berdialektika. Bagaimana
bisa kehidupan beragama seperti itu dibangun di sebuah negeri yang besar,
multikultural, multietnis, plural, dan memiliki sejarah keagamaan dan sosial
kemasyarakatan yang panjang. Apakah ketaatan dalam beragama harus disimbolkan
dengan simbol-simbol “kearab-araban” sehingga kita harus meninggalkan budaya
yang lebih dulu eksis di negeri ini? Bagaimana bisa islam menjadi sebuah agama
mayoritas kalau ia disebarkan dengan ancaman-ancaman dan ketakutan atas neraka,
hujatan-hujatan, dan paksaan-paksaan?
Saya kira para waliyullah terdahulu
telah menjawab pertanyaan-pertanyaan saya ini dengan memberikan uswah dalam
dakwah. Para wali, ulama, ad da’i ilallah dulu begitu cerdas dalam memahami
kondisi masyarakat kita yang sudah plural. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan
benar-benar disesuaikan dengan kehidupan masyarakat sehingga tidak perlu merasa
terpaksa dalam memeluk agama islam. Kesadaran beragama dibangun bukan atas
dasar paksaan dan jajahan. Inilah jawaban mengapa islam bisa menjadi sebuah
agama mayoritas di Indonesia bahkan secara jumlah menjadi yang terbanyak di
dunia.
Mari kita teliti lebih jauh gaya
keislaman kita yang khas. Saya cukup sering mengamati adanya gaya keislaman
Indonesia yang khas. Kita tidak perlu kehilangan kultur dan kebudayaan lokal milik
kita sendiri. Islam kita dibangun atas dasar negasi terhadap kebudayaan lokal, namun
didasarkan atas harmonisasi, saling menyesuaikan. Sehingga kita tidak perlu
lagi memusingkan gaya-gaya beragama sekelompok orang yang banyak mencuri
perhatian saat ini dengan gaya-gaya beragamanya yang keras itu. Seakan-akan
jika bertemu orang yang tidak sesuai dengan tafsiran agamanya maka tidak pas “keislaman”-nya.
Ya Allah, pahala sebesar apa yang
sudah kami lakukan sehingga merasa memiliki maqam tinggi dan berani-beraninya
melangkahi hak preogratif-Mu untuk menjustifikasi keislaman, keimanan, maupun
kekafiran orang lain. Padahal nabi-Mu yang paling agung saja tidak pernah
mencontohkan seperti demikian. Sungguh, memalukan dan memilukan kami ini.
Saya kira persoalan-persoalan
seperti demikian yang membuat islam dijauhi oleh ummatnya. Semakin banyak orang
yang merasa islam ini agama yang berat, terlalu banyak hujat-menghujat. Padahal
dulu di masa awal dakwah islam dianggap sebagai agama yang ringan dan meringankan,
membebaskan, dan pantas dijadikan pedoman. Sungguh, islam agama yang dekat.
Jikalah ia sekarang terasa jauh, maka ia perlu kembali didekatkan.
Mungkin islam kita hari ini sudah
terlalu banyak embel-embel. Terlalu banyak orang yang mencoba memaksakan
pandangan kekaffahan-nya kepada orang lain. Padahal saya kira proses keislaman
dan penghayatan seseorang atas tuhannya itu tidak bisa dipaksakan. Tugas kita,
hanyalah menyampaikan. Pemaksaan kekaffahan islam itu juga direproduksi dalam
berbagai bentuk sehingga menjadi sistem. Kini, agama kita menjelma menjadi
lembaga-lembaga khusus yang justru malah mengedepankan simbol-simbol khusus
ketimbang substansi dan hakikatnya. Islam kita menjadi terkesan ekslusif.
Bagaimana bisa islam kita menjadi
terkesan ekslusif? Praktek-praktek keislaman zaman ini membuktikannya.
Pengajian-pengajian memiliki konstruksi universal soal pakaian yang harus
putih-puitih, berpeci, bergamis, dan lain-lain. Dalam forum-forum yang berbau
keagamaan juga dalam kehidupan sehari-hari, simbol-simbol bahasa dengan bahasa
dan lahjah/logat kearab-araban menjadi takaran keislaman. Yang juga dekat dan
tak boleh terlewat, lembagaisasi dakwah di kampus melalui lembaga-lembaga dakwah
kampus membentuk konstruksi keislaman seseorang menjadi berstandar dan
berkiblat kepada anggota lembaga-lembaga dakwah kampus itu sendiri. Secara
tidak langsung juga membuat dakwah itu terkesan ekslusif. Seakan-akan hanya
yang bestatus Aktivis Dakwah Kampus saja yang berhak bicara soal islam dan
mendakwahkannya. Semua pengamatan saya itu memang tidak ilmiah, tidak pernah
saya buktikan melalui penelitian dan sebagainya. Namun saya yakin, ada orang
lain yang juga memiliki pandangan serupa dan juga merasakannya.
Islam kita yang terkesan
eksklusif perlu mengalami inklusifisasi. Para pemeluknya yang telah sadar dan
begitu taat dalam menjalankan kehidupan beragamanya sehingga melangit kiranya
perlu berpikir kembali untuk tidak meninggalkan bumi. Masih banyak
masalah-masalah ummat di bumi yang harus dicari solusinya. Dakwah tidak boleh
melangit, justru perlu membumi. Sehingga setiap orang dapat merasakan islam itu
ada, dapat dijangkau oleh semua, bahkan termasuk juga bagi yang tidak memeluknya. Menjangkau hidayah Allah tidak harus
mengutamakan simbol-simbol yang justru lahir dari konstruksi budaya, tetapi
jauh lebih penting dari itu ialah penghayatan atas keagamaannya, atas
kehambaannya, sehingga menemukan titik paling romantis antara seorang hamba dan
tuhannya.
Wallahu A’lam Bis Showab
Tulisan anda sangat bagus dan membuka pikiran saya. Namun ada satu hal yang ingin saya kritisi. Lembaga dakwah kampus hanya bertujuan mewadahi dan membina agar terlaksananya dakwah, karena dakwah sendiri harus dilaksanakan secara terstruktur, tidak bermaksud mengeksklusifkan dakwah itu sendiri. Lembaga dakwah kampus juga sangat mengedepankan dakwah yang bersifat kultural, namun dalam pelaksanaannya mungkin masih perlu dievaluasi lagi karena perlu adanya strategi yang matang, dan tidak semua kemudian berani untuk terjun dalam dakwah kultural ini. Wallahu A'lam Bis Showab.
BalasHapusTerima kasih sebelumnya telah membaca tulisan saya sekaligus mengkritisinya.
BalasHapusSebelumnya mohon maaf jika ada kesan yang salah dari tulisan saya ini. Akan tetapi yang perlu diluruksan disini bagi saya, stands argumen dan substansi kritik saya tidak terletak pada ada atau tidaknya lembaga dakwah itu sendiri. Saya lebih menyasar pada konstruksi yang terbentuk sebab kegiatan-kegiatan dan praktek dakwah dari lembaga dakwah yang selama ini ada di sekitar saya. Sejujurnya saya sangat senang ketika anda dapat menyebutkan dakwah kultural, karena artinya anda sudah menangkap dengan baik maksud dan gagasan dakwah yang bagi saya perlu dibawa oleh lembaga-lembaga dakwah maupun para ulama dan cendekiawan muslim lainnya. Wallahu A'lam bis showab