Selasa, 17 Mei 2016

SAYA DAN KACAMATA BERAGAMA



Sejak memasuki kehidupan kampus, semakin banyak hal-hal baru yang saya temukan. Ada banyak hal-hal baru yang membuat saya merasa tertarik untuk menggalinya lebih dalam. Sedikit banyak mengubah cara pandang saya dalam menjalani kehidupan. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, kehidupan beragama, maupun dalam membangun relasi sosial-masyarakat. Saya sadar bahwasanya kehidupan ini akan selalu dinamis. Setiap kita berproses, berubah meninggalkan status quo atau bahkan menghindari terjadinya dekadensi. Dan alur gerak terbaik adalah melangkah ke depan, progressif.

Salah satu hal yang banyak memicu saya untuk berdialektika dan membentuk pola pikir saya adalah masalah kehidupan beragama. Islam, sebagai agama yang sedari kecil sudah melekat dalam kehidupan saya ternyata begitu menarik untuk didalami dan dihayati. Sejak kecil ayah saya tidak pernah melepaskan saya dari pendidikan agama. Dalam pendidikan non-formal, ayah tidak pernah bosan membawa saya seliweran sana-sini untuk ngaji dan menghadiri majelis-majelis ta’lim. Bahkan, nama saya sendiri adalah pemberian guru beliau, Habib Ali Bin Abdurrahman Assegaf yang setiap minggunya ayah kunjungi sedari muda. Begitupun dalam pendidikan formal, 12 tahun saya berstatus sebagai anak madrasah. Dan disitulah saya mendapatkan pengalaman sebagai santri.

Saya pernah berada dalam masa “sombong” untuk malas belajar agama. Ketika saya berada di pondok dulu, saya pernah merasa cukup untuk belajar ini-itu. Toh saya sudah bisa shalat, sudah sedikit ngerti fiqih dan ilmu-ilmu lainnya, ngapain lagi saya baca buku agama. Sejak saat itu saya tidak tertarik membaca buku-buku agama karena saya merasa buku-buku berbau sosial-politik, sejarah, dan apapun itu yang dianggap mutakhir, keren, dan intelek. Saya juga mempertanyakan kenapa lagi saya harus belajar akidah. Masa iya ada orang ngga percaya sama tuhannya? Begitu pikir polos saya dulu.

Namun, semua pemikiran dan pandangan saya berubah drastis saat saya memasuki kehidupan kampus. Banyak hal yang berubah, banyak hal yang membuat saya kaget. Wajar saja, saya terbiasa dalam kehidupan “ideal” yang semuanya dapat dikondisikan. Tetapi semua itu tidak lagi saya temukan dan membuat saya perlu belajar lebih banyak. Sejak saat itu saya mendekonstruksi sendiri pandangan saya sebelumnya dan menemukan jawaban atas pertanyaan saya tentang esensi belajar akidah serta akhirnya saya berkesimpulan, “jangan jauh-jauh dari agama, bacalah kembali buku-buku agama, bertadabbur kembali ayat-ayat Allah baik yang qouliyah maupun yang kauniyah”.

Ada sebuah pertanyaan besar yang mengganjal di kepala saya. Mengapa hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan beragama, mendasari perbuatan atas ketuhanan menjadi sebuah hal yang tabu di lingkungan sekitar saya saat ini, baik akademik maupun non-akademik? Seakan-akan kita perlu meninggalkan tuhan untuk mencapai kepuasan menguasai ilmu pengetahuan, demi mendapat gelar “tercerahkan”. Saya berdialektika, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar tersebut.

Dari sebuah rumusan permasalahan yang saya miliki, saya mencoba untuk membuat hipotesis. Mungkin, agama mulai ditinggalkan sebab irasionalitasnya yang kerapkali membuat ummat beragama menjadi buta dalam tindakan. Mendasarkan segala sesuatu atas nama agama secara ekstrim, strik, rigid. Kemudian membuat tafsiran-tafsiran kaku atas ayat-ayat suci maupun hadis-hadis nabi yang padahal bisa jadi tafsirannya tidak sampai se-ekstrim itu. Ketika terjadi ketidakcocokan berdasarkan pemahaman agamanya maka dengan mudah ia menjustifikasi orang lain berdosa besar, bidah, kafir dan sebagainya.

Saya kembali berdialektika. Bagaimana bisa kehidupan beragama seperti itu dibangun di sebuah negeri yang besar, multikultural, multietnis, plural, dan memiliki sejarah keagamaan dan sosial kemasyarakatan yang panjang. Apakah ketaatan dalam beragama harus disimbolkan dengan simbol-simbol “kearab-araban” sehingga kita harus meninggalkan budaya yang lebih dulu eksis di negeri ini? Bagaimana bisa islam menjadi sebuah agama mayoritas kalau ia disebarkan dengan ancaman-ancaman dan ketakutan atas neraka, hujatan-hujatan, dan paksaan-paksaan?

Saya kira para waliyullah terdahulu telah menjawab pertanyaan-pertanyaan saya ini dengan memberikan uswah dalam dakwah. Para wali, ulama, ad da’i ilallah dulu begitu cerdas dalam memahami kondisi masyarakat kita yang sudah plural. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan benar-benar disesuaikan dengan kehidupan masyarakat sehingga tidak perlu merasa terpaksa dalam memeluk agama islam. Kesadaran beragama dibangun bukan atas dasar paksaan dan jajahan. Inilah jawaban mengapa islam bisa menjadi sebuah agama mayoritas di Indonesia bahkan secara jumlah menjadi yang terbanyak di dunia.

Mari kita teliti lebih jauh gaya keislaman kita yang khas. Saya cukup sering mengamati adanya gaya keislaman Indonesia yang khas. Kita tidak perlu kehilangan kultur dan kebudayaan lokal milik kita sendiri. Islam kita dibangun atas dasar negasi terhadap kebudayaan lokal, namun didasarkan atas harmonisasi, saling menyesuaikan. Sehingga kita tidak perlu lagi memusingkan gaya-gaya beragama sekelompok orang yang banyak mencuri perhatian saat ini dengan gaya-gaya beragamanya yang keras itu. Seakan-akan jika bertemu orang yang tidak sesuai dengan tafsiran agamanya maka tidak pas “keislaman”-nya.

Ya Allah, pahala sebesar apa yang sudah kami lakukan sehingga merasa memiliki maqam tinggi dan berani-beraninya melangkahi hak preogratif-Mu untuk menjustifikasi keislaman, keimanan, maupun kekafiran orang lain. Padahal nabi-Mu yang paling agung saja tidak pernah mencontohkan seperti demikian. Sungguh, memalukan dan memilukan kami ini.

Saya kira persoalan-persoalan seperti demikian yang membuat islam dijauhi oleh ummatnya. Semakin banyak orang yang merasa islam ini agama yang berat, terlalu banyak hujat-menghujat. Padahal dulu di masa awal dakwah islam dianggap sebagai agama yang ringan dan meringankan, membebaskan, dan pantas dijadikan pedoman. Sungguh, islam agama yang dekat. Jikalah ia sekarang terasa jauh, maka ia perlu kembali didekatkan.

Mungkin islam kita hari ini sudah terlalu banyak embel-embel. Terlalu banyak orang yang mencoba memaksakan pandangan kekaffahan-nya kepada orang lain. Padahal saya kira proses keislaman dan penghayatan seseorang atas tuhannya itu tidak bisa dipaksakan. Tugas kita, hanyalah menyampaikan. Pemaksaan kekaffahan islam itu juga direproduksi dalam berbagai bentuk sehingga menjadi sistem. Kini, agama kita menjelma menjadi lembaga-lembaga khusus yang justru malah mengedepankan simbol-simbol khusus ketimbang substansi dan hakikatnya. Islam kita menjadi terkesan ekslusif.

Bagaimana bisa islam kita menjadi terkesan ekslusif? Praktek-praktek keislaman zaman ini membuktikannya. Pengajian-pengajian memiliki konstruksi universal soal pakaian yang harus putih-puitih, berpeci, bergamis, dan lain-lain. Dalam forum-forum yang berbau keagamaan juga dalam kehidupan sehari-hari, simbol-simbol bahasa dengan bahasa dan lahjah/logat kearab-araban menjadi takaran keislaman. Yang juga dekat dan tak boleh terlewat, lembagaisasi dakwah di kampus melalui lembaga-lembaga dakwah kampus membentuk konstruksi keislaman seseorang menjadi berstandar dan berkiblat kepada anggota lembaga-lembaga dakwah kampus itu sendiri. Secara tidak langsung juga membuat dakwah itu terkesan ekslusif. Seakan-akan hanya yang bestatus Aktivis Dakwah Kampus saja yang berhak bicara soal islam dan mendakwahkannya. Semua pengamatan saya itu memang tidak ilmiah, tidak pernah saya buktikan melalui penelitian dan sebagainya. Namun saya yakin, ada orang lain yang juga memiliki pandangan serupa dan juga merasakannya.

Islam kita yang terkesan eksklusif perlu mengalami inklusifisasi. Para pemeluknya yang telah sadar dan begitu taat dalam menjalankan kehidupan beragamanya sehingga melangit kiranya perlu berpikir kembali untuk tidak meninggalkan bumi. Masih banyak masalah-masalah ummat di bumi yang harus dicari solusinya. Dakwah tidak boleh melangit, justru perlu membumi. Sehingga setiap orang dapat merasakan islam itu ada, dapat dijangkau oleh semua, bahkan termasuk juga bagi yang tidak memeluknya. Menjangkau hidayah Allah tidak harus mengutamakan simbol-simbol yang justru lahir dari konstruksi budaya, tetapi jauh lebih penting dari itu ialah penghayatan atas keagamaannya, atas kehambaannya, sehingga menemukan titik paling romantis antara seorang hamba dan tuhannya.

Wallahu A’lam Bis Showab



2 komentar

  1. Tulisan anda sangat bagus dan membuka pikiran saya. Namun ada satu hal yang ingin saya kritisi. Lembaga dakwah kampus hanya bertujuan mewadahi dan membina agar terlaksananya dakwah, karena dakwah sendiri harus dilaksanakan secara terstruktur, tidak bermaksud mengeksklusifkan dakwah itu sendiri. Lembaga dakwah kampus juga sangat mengedepankan dakwah yang bersifat kultural, namun dalam pelaksanaannya mungkin masih perlu dievaluasi lagi karena perlu adanya strategi yang matang, dan tidak semua kemudian berani untuk terjun dalam dakwah kultural ini. Wallahu A'lam Bis Showab.

    BalasHapus
  2. Terima kasih sebelumnya telah membaca tulisan saya sekaligus mengkritisinya.
    Sebelumnya mohon maaf jika ada kesan yang salah dari tulisan saya ini. Akan tetapi yang perlu diluruksan disini bagi saya, stands argumen dan substansi kritik saya tidak terletak pada ada atau tidaknya lembaga dakwah itu sendiri. Saya lebih menyasar pada konstruksi yang terbentuk sebab kegiatan-kegiatan dan praktek dakwah dari lembaga dakwah yang selama ini ada di sekitar saya. Sejujurnya saya sangat senang ketika anda dapat menyebutkan dakwah kultural, karena artinya anda sudah menangkap dengan baik maksud dan gagasan dakwah yang bagi saya perlu dibawa oleh lembaga-lembaga dakwah maupun para ulama dan cendekiawan muslim lainnya. Wallahu A'lam bis showab

    BalasHapus

© BUKAMATA
Maira Gall