Beberapa waktu ke belakang saya kerapkali shalat di akhir waktu, khususnya shalat magrib. Seperti biasa, mushalla kampus yang tidak seberapa besar membuat mushalla terasa cukup padat. Belum lagi dikarenakan jam keluar kelas yang berbeda-beda membuat jamaah menjadi berkloter-kloter dan selalu padat tak ada habisnya.
Ada satu fenomena yang kerapkali
memunculkan kritik saya. Bukan hanya terjadi di satu tempat, tapi di beberapa
tempat yang pernah saya kunjungi. Saya menemukan adanya pola dan gejala yang sama
di beberapa masjid atau mushalla di kampus. Saya melihat adanya hal yang
mengganjal dari imam shalat, khususnya shalat maghrib. Kerapkali saya menemukan
imam yang menurut saya spesial. Ya, sang imam ini spesial karena hafalannya
yang mungkin banyak, sehingga bacaan yang dibacanya juga bacaan yang panjang
meskipun secara fashohat masih terasa kurang nyaman.
Pernah saya shalat di waktu yang
sudah mepet Isya. Waktu itu saya menjadi makmum. Sang imam yang termasuk
kategori "spesial" ini membaca bacaan yang menurut saya cukup
panjang, kalau tidak salah itu surat al baqarah, juz 1. Sang imam membaca
dengan tajwid yang menurut saya agak berantakan sehingga membuat makmum mungkin
menjadi tidak nyaman. Ditambah lagi, sang imam agak lupa-lupa sehingga beberapa
kali dibenarkan oleh makmum.
Selesai shalat saya ngedumel
dalam hati. Ya Allah, ini imam kok begini. Sudah tau maghrib mepet Isya, milih
bacaan surat kok yang panjang-panjang. Belum lagi tajwidnya yang agak
berantakan dan bacaannya yang salah berkali-kali. Kalau memang mau murajaah ya bukan di sini toh tempatnya. Imam shalat wajib di tempat umum ya seharusnya yang sudah siap dengan bacaannya.
Kejadian ini membuat saya ingat
pesan guru saya sewaktu di pesantren dulu. "Kalo jadi imam shalat magrib,
bacaannya ngga usah yang panjang-panjang. Baca surat yang pendek tapi tuntas
itu lebih afdhal."
Bukan apa-apa, saya juga bukan
orang yang tinggi ilmunya, bukan juga yang bagus bacaannya, bukan juga yang
banyak hafalannya. Tapi ada rambu-rambu yang perlu diperhatikan oleh para imam
dalam shalat, terkhusus shalat maghrib. Di sini kita perlu menggali lagi lebih
dalam ilmu fiqh.
Iseng-iseng, saya cari lebih
dalam masalah imam ini. Saya buka kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Al
Ghazali. Dalam kitab tersebut terdapat bahasan Adab Menjadi Imam. Imam Al
Ghazali dalam pembukaan fasal tersebut menyebutkan sebuah hadis yang terjemahannya
kurang lebih begini, "Anas bin malik
berkata, aku tidak pernah melakukan shalat di belakang seorang pun yang lebih
ringan dan lebih sempurna shalatnya daripada shalat Rasulullah."
Dari hadis ini, ada sebuah
pelajaran penting tentang ringannya shalat. Maksud ringan disini adalah shalat
yang tidak dilaksanakan dengan bacaan yang terlalu panjang sehingga dapat
memberatkan jamaah. Hal tersebut dikarenakan shalat yang terlalu panjang
bacaannya sehingga terasa berat bagi jamaah hanya akan merusak kekhusyuan
shalat.
Peringanan atau takhfif salat ini
didukung dengan adanya Nash hadits yang saya temukan dalam kitab fathul bari.
Hadits yang menerangkan hal ini, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu:
“Jika salah seorang kalian shalat bersama
manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit,
lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah
sekehandaknya”
Beberapa hadits ini sesungguhnya
sangat relevan dan perlu dipahami oleh para imam. Perihal perlunya para imam
mentakhfif shalat dengan argumentasi memahami kondisi jamaah sebagaimana yang
tergambar dalam hadits di atas. Apalagi dalam kondisi di kampus yang jamaahnya
bisa berkloter-kloter dan pertimbangan waktu maghrib yang singkat.
Ibadah shalat adalah ibadah yang
lekat dengan keseharian kita. Shalat berjamaah adalah suatu hal yang utama dan
di dalamnya ada pembagian peran antara imam dan makmum. Imam, sebagai seorang
pemimpin dalam ibadah ini tentunya sangat perlu untuk belajar lebih banyak
tentang kebijaksanaan. Bijaksana untuk mehamami bagaimana kondisi jamaah,
bagaimana kondisi sekitar.
Wallahu A’lam Bis Showab
Tidak ada komentar
Posting Komentar