Desember,
Dua tahun lalu adalah kali pertama
aku bertemu denganmu. Dengan senyum tersipu aku menyapamu, yang kau balas
dengan lembut suaramu. Kulurkan tanganku, tak kau balas, lalu kau hanya
tertunduk malu. Tanpa kata kau beranjak, meskipun masih tinggalkan jejak. Dan
sejak saat itu, kupanggil namamu, Desember.
Desember,
Masih ingatkah kau saat-saat
menyebalkan itu? Aku yang selalu mengganggumu dengan harapan kau hiraukan. Sedikit
membuatmu bosan namun lama-lama aku mendapat balasan. Ah, gila rupanya! Seakan
aku sedang berjaya di medan perjuangan.
Desember,
Tahukah kamu, di utara sekarang
bersalju. Lembutnya, seperti lembutmu. Indahnya, seperti indahmu. Dan di
selatan sekarang musim panas. Sepanas tamparan sikapmu yang kian waktu kian
berlalu. Lalu di khatulistiwa sekarang sedang dibadai hujan. Seperti hujan air
matamu yang terpenjara dalam kenyataan.
Desember,
Tahukah kau aku merindukanmu? Rindu
akan khayalan-khayalan tentangmu. Rindu untuk menunggu datangmu yang tak pernah
menentu. Rindu akan keputusasaanku yang kau goreskan dengan sebilah pisau yang
melukaiku
Desember,
Rasa-rasanya begitu cepat. Hanya
tinggal hitungan jari-jemari bulan berganti. Lalu aku akan melihatmu dipinang
orang. Menyempurnakan separuh agamamu dengan baktimu kepada imammu, yang jauh
terpandang, masyhur di negeri orang.
Desember,
Tahukah kau aku berduka? Bukan,
bukan karena pupusnya harapanku. Bukan karena kita tak bisa bersatu. Namun
sebab aku takut kau merana dalam pelukan yang tak pernah kau dambakan. Bukan
aku cintamu, bukan aku yang kau impikan. Namun tidak juga dia yang datang tak
kau harapkan.
Desember,
Di masa depan, saat kita bertemu,
aku akan melihatmu memegangi tangan anak-anakmu sambil menggendong bayi mungilmu.
Kau tau apa yang kulakukan saat itu? Aku akan berbalik arah dan memalingkan
wajahku yang basah karena tak mampu menahan air mata. Bukan, bukan karena aku
cemburu. Namun karena kau penjarakan jiwamu dalam ketaatan semu.
Tidak ada komentar
Posting Komentar