Kamis, 31 Desember 2015

Manukrit! Manusia Butuh yang Kongkrit




Saya begitu senang mengamati berbagai macam fenomena yang terjadi di sekitar saya. Dari pengamatan-pengamatan sederhana, hal-hal sederhana ternyata dapat diangkat menjadi cerita. Dari pengamatan-pengamatan tersebut, saya refleksikan, renungkan, dan kontemplasikan. Salah satunya adalah fenomena yang baru-baru ini sedang saya amati, yaitu tentang kebutuhan orang-orang terhadap hal-hal yang dianggap kongkret.

Seringkali kita mendengar ungkapan-ungkapan, “Ah, ngga kongkret lo!”, “Abstrak banget sih ide lo!”, “Absurd ah!”, dan ucapan-ucapan lainnya yang menggambarkan ketidakkongkretan. Saya mengamati hal ini dan mengalami langsung bagaimana penilaian orang-orang yang melulu meminta sesuatu menjadi kongkret. Seakan-akan sesuatu yang kongkret itu adalah bukti paling absah dan paling layak untuk dinilai ketimbang sesuatu yang tidak berwujud.

Memang sudah sangat wajar jikalau sesuatu yang kongkret, berwujud, visible, dapat disentuh secara fisik, menjadi penilaian yang paling objektif. Manusia ditakdirkan(bagi yang percaya takdir) menjadi makhluk yang berakal. Sebagai makhluk yang berakal, manusia(apalagi manusia modern) memang menjadikan akal dan logika sebagai alat utama dalam menilai sesuatu. Objektifitas menjadi kunci utama dalam penilaian dan oleh karenanya hal-hal berwujud dan kongkret menjadi bahan penilaian yang paling mudah.

Akan tetapi, bagi saya pribadi, penggunaan kata kongkret yang berlebihan memang tak baik juga. Kita yang terbiasa untuk menjustifikasi buruknya hal-hal abstrak dan mengkultuskan hal-hal kongkret terkadang menjadi tidak menghargai hal-hal kecil yang tidak visible, berwujud, dan dapat disentuh. Kita semakin terbiasa untuk melupakan pengorbanan-pengorbanan kecil, peran-peran yang remeh, yang padahal jika dilihat sesungguhnya memiliki peran yang begitu luar biasa terhadap proses “happening” –nya sesuatu.

Sebuah contoh, jika kita terlibat dalam suatu organisasi, projek, atau acara kegiatan, siapakah yang akan kita lihat paling berperan? Yaps, pastinya kita akan melihat siapa pimpinan projek atau pemimpin organisasi tersebut bukan? Sepatut dan sewajarnya memang karena dalam piramida manajemen pastinya posisi teratas memiliki tanggung jawab yang paling besar. Akan tetapi, dalam piramida tersebut, siapakah yang lebih banyak bekerja? Bukankah yang ada pada posisi-posisi di bawah? Lalu, apakah sudah benar-benar tepat jika kita hanya mengapresiasi posisi-posisi teratas tanpa melihat posisi-posisi di bawah?

Dalam contoh yang lebih sederhana, misalnya dalam sebuah konser yang begitu megah membahana. Siapakah yang kita lihat dan anggap hebat dengan nama besarnya? PO dari acara tersebut kah? Apakah tukang sound system atau penjaga keamanan acara tersebut? Padahal tanpa peran mereka saya tidak yakin acara konser tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya dan belum tentu nama si PO tersebut menjadi besar dan hebat. Artinya, kesuksesan si PO juga ditentukan oleh tukang sound system dan penjaga keamanan bukan? Lalu, mengapa kita hanya terfokus untuk mengapresiasi kinerja hebat sang PO tanpa menghiraukan kinerja luar biasa tukang sound system dan penjaga keamanan? Padahal, demi mensukseskan acara tersebut tukang sound system dan penjaga keamanan mengorbankan keselamatan dan kesehatan mereka.

Sesederhana itulah bersikap adil untuk tidak melupakan hal-hal kecil. Kita terkadang terlalu fokus pada hal-hal besar,hal-hal kongkret dan bergengsi yang dapat mendongkrak eksistensi. Padahal, banyak sekali hal-hal kecil yang kerapkali luput dari mata kita namun memiliki dampak yang sangat luar biasa. Mungkin ini zaman kita, zaman manukrit! Ketika manusia mengkultuskan hal-hal kongkret namun melupakan hal-hal yang dianggap “seuprit”.
Buka mata, lihat yang nyata! Buka hati, lihat yang inti!

Lakon Hidup


Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall