Saya begitu senang mengamati berbagai macam fenomena yang
terjadi di sekitar saya. Dari pengamatan-pengamatan sederhana, hal-hal
sederhana ternyata dapat diangkat menjadi cerita. Dari pengamatan-pengamatan
tersebut, saya refleksikan, renungkan, dan kontemplasikan. Salah satunya adalah
fenomena yang baru-baru ini sedang saya amati, yaitu tentang kebutuhan
orang-orang terhadap hal-hal yang dianggap kongkret.
Seringkali kita mendengar ungkapan-ungkapan, “Ah, ngga
kongkret lo!”, “Abstrak banget sih ide lo!”, “Absurd ah!”, dan ucapan-ucapan
lainnya yang menggambarkan ketidakkongkretan. Saya mengamati hal ini dan
mengalami langsung bagaimana penilaian orang-orang yang melulu meminta sesuatu
menjadi kongkret. Seakan-akan sesuatu yang kongkret itu adalah bukti paling
absah dan paling layak untuk dinilai ketimbang sesuatu yang tidak berwujud.
Memang sudah sangat wajar jikalau sesuatu yang kongkret,
berwujud, visible, dapat disentuh secara fisik, menjadi penilaian yang
paling objektif. Manusia ditakdirkan(bagi yang percaya takdir) menjadi makhluk
yang berakal. Sebagai makhluk yang berakal, manusia(apalagi manusia modern)
memang menjadikan akal dan logika sebagai alat utama dalam menilai sesuatu. Objektifitas
menjadi kunci utama dalam penilaian dan oleh karenanya hal-hal berwujud dan
kongkret menjadi bahan penilaian yang paling mudah.
Akan tetapi, bagi saya pribadi, penggunaan kata kongkret
yang berlebihan memang tak baik juga. Kita yang terbiasa untuk menjustifikasi
buruknya hal-hal abstrak dan mengkultuskan hal-hal kongkret terkadang menjadi
tidak menghargai hal-hal kecil yang tidak visible, berwujud, dan dapat
disentuh. Kita semakin terbiasa untuk melupakan pengorbanan-pengorbanan kecil,
peran-peran yang remeh, yang padahal jika dilihat sesungguhnya memiliki peran
yang begitu luar biasa terhadap proses “happening” –nya sesuatu.
Sebuah contoh, jika kita terlibat dalam suatu organisasi,
projek, atau acara kegiatan, siapakah yang akan kita lihat paling berperan?
Yaps, pastinya kita akan melihat siapa pimpinan projek atau pemimpin organisasi
tersebut bukan? Sepatut dan sewajarnya memang karena dalam piramida manajemen
pastinya posisi teratas memiliki tanggung jawab yang paling besar. Akan tetapi,
dalam piramida tersebut, siapakah yang lebih banyak bekerja? Bukankah yang ada
pada posisi-posisi di bawah? Lalu, apakah sudah benar-benar tepat jika kita
hanya mengapresiasi posisi-posisi teratas tanpa melihat posisi-posisi di bawah?
Dalam contoh yang lebih sederhana, misalnya dalam sebuah
konser yang begitu megah membahana. Siapakah yang kita lihat dan anggap hebat
dengan nama besarnya? PO dari acara tersebut kah? Apakah tukang sound system
atau penjaga keamanan acara tersebut? Padahal tanpa peran mereka saya tidak
yakin acara konser tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya dan belum tentu
nama si PO tersebut menjadi besar dan hebat. Artinya, kesuksesan si PO juga
ditentukan oleh tukang sound system dan penjaga keamanan bukan? Lalu, mengapa
kita hanya terfokus untuk mengapresiasi kinerja hebat sang PO tanpa
menghiraukan kinerja luar biasa tukang sound system dan penjaga keamanan?
Padahal, demi mensukseskan acara tersebut tukang sound system dan penjaga
keamanan mengorbankan keselamatan dan kesehatan mereka.
Sesederhana itulah bersikap adil untuk tidak melupakan
hal-hal kecil. Kita terkadang terlalu fokus pada hal-hal besar,hal-hal kongkret
dan bergengsi yang dapat mendongkrak eksistensi. Padahal, banyak sekali hal-hal
kecil yang kerapkali luput dari mata kita namun memiliki dampak yang sangat
luar biasa. Mungkin ini zaman kita, zaman manukrit! Ketika manusia
mengkultuskan hal-hal kongkret namun melupakan hal-hal yang dianggap “seuprit”.
Buka mata, lihat yang nyata! Buka
hati, lihat yang inti!
Lakon Hidup
Tidak ada komentar
Posting Komentar