Beberapa waktu lalu, saya menghadiri sebuah diskusi yang
diadakan oleh SEMAR UI. Diskusi tersebut bertemakan tentang “Kampus, Organisasi
Mahasiswa, dan Peristiwa 1965”. Pembicara yang hadir diantaranya, Abdul Wahid (Dosen Sejarah UGM), Tedjabayu Sudjojono (Penyintas 1965), Iwan Meulia Pirous (Puska Antropologi UI), Sri Lestari W (IPT 1965), dan Ausof Ali (Mahasiswa Sejarah UI).
Diskusi Publik tentang “Kampus,
Organisasi Mahasiswa, dan Peristiwa 1965” merupakan pembicaraan yang begitu
menarik. Dalam diskusi tersebut
dibahas bagaimana fenomena hilangnya marxisme yang terjadi di kampus. Dalam
diskusi tersebut didapatkan bahwa fenomena yang terjadi di hadapan kita
saat ini ternyata tak terlepas dari kenyataan sejarah yang pernah terjadi di
masa lalu. Satu persatu pembicara mengupas bahasan yang mereka kuasai. Audiens
pun tampak memperhatikan dengan cukup serius. Ada yang sudah mengetahui apa
inti pembahasannya, ada pula yang masih baru menggali.
Saya pun turut mendengarkan, dan pada sesi pembahasan mas Iwan Pirous, saya mendapatkan
sebuah kutipan menarik, “ketika sastra menjadi romantis dan ilmu sosial
menjadi normatif”. Lalu, apa kaitannya hal ini dengan tema bahasan yang
dibicarakan? Ya, untuk memahaminya kita perlu sedikit kembali ke belakang
melihat halaman sejarah panjang negeri kita. Orde Baru memang banyak mengubah
tatanan masyarakat dari status quo di
Orde Lama. Sejarah kelam dalam peristiwa
tahun 1965 turut mengubah cara pandang masyarakat
tentang gerakan kiri, sosialisme, marxisme, atau komunisme.
Propaganda-propaganda anti PKI merontokkan pemikiran progressif, sebab apabila kita menganut pemikiran tersebut maka akan
dianggap subversif, pemberontak, tak bertuhan, dll. Pemberantasan PKI juga
berimbas pada pemberantasan organisasi-organisasi kerakyatan karena dianggap
berafiliasi dengan PKI yang terlibat
dalam pemberontakan. Hal itu misalnya, Organisasi-organisasi seperti Gerwani
dan Lekra. Tokoh
seperti Pramoedya Ananta Toer pun turut menjadi korbannya.
Salah satu aspek penting yang turut
menjadi korban peristiwa 65 adalah matinya marxisme dalam lingkungan akademik.
Marxisme sebagai cikal bakal lahirnya sosialisme ilmiah sesungguhnya memiliki
peran yang begitu besar dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang ada di dunia.
Studi sosial bisa dikatakan menjadi kering sebab hanya bertumpu pada
teori-teori sistem (struktural-fungsional) yang menjelaskan terjadinya fenomena
sebagai fungsi dan bagian dari sistem. Hal tersebut terjadi sebab
literatur-literatur yang berlandaskan pemikiran-pemikiran Marx yang progressif diberangus. Sebagai
dampak logisnya, mahasiswa sebagai akademisi dan kaum intelektual gagal
mengenali fenomena sosial secara historis. Pisau analisis pun menjadi semakin
tumpul karena hanya bisa
memandang dengan analisis sosial yang menekankan pada relasi-relasi sosial yang singkronik
tentang suatu peristiwa layaknya fotografer. Selain itu, Dampaknya mahasiswa semakin jauh dari gerakan-gerakan
sosial yang benar-benar mengakar dan sesuai dengan kenyataan yang terjadi di
masyarakat. Gerakan sosial pun semakin dipandang menjadi sebuah anomali.
Dalam studi politik, paradigma demokrasi substansial pun beralih
menjadi demokrasi prosedural. Pada kondisi ini demokrasi dianggap sudah
sempurna, sehingga tak perlu
disempurnakan lagi. Kritik terhadap substansi demokrasi semakin terkikis
sehingga semakin memperkecil peluang untuk menuju substansi demokrasi yang
lebih paripurna. Kritik terhadap demokrasi hanya sampai pada tataran prosedural dimana yang terpenting
adalah pelaksanaan dari demokrasi yang sebenarnya masih cacat secara substansi tersebut.
Kondisi ini membuat analisis dan
pemikiran progressif semakin gersang. Maka, pengembangan ilmu pengetahuan pun
bisa dibilang semakin stagnan. Mengapa bisa dikatakan demikian, sebab ilmu
pengetahuan tidak bisa menjelaskan fenomena-fenomena yang perlu lebih dekat
dengan realita. Kita dijejali dengan diktat-diktat dan rumus-rumus yang
berjibun, namun gagal untuk mendekatkannya dengan kehidupan kita dan gagal
untuk diaplikasikan menuju tatanan masyarakat yang ideal. Pada akhirnya ilmu
sosial hanya menjadi normatif. Ilmu sosial menjadi hanya mampu menyarankan yang
bahkan terkadang tidak tepat sasaran.
Pola pikir para intelektual muda pun
semakin bergeser. Sekarang, dalam sebuah pertanyaan sederhana, apakah mayoritas
kita bersekolah di kampus-kampus atau perguruan tinggi untuk merubah situasi
dan kondisi masyarakat atau mengembangkan ilmu pengetahuan, atau hanya sekedar
mencari ijazah yang nantinya berguna untuk cari makan? Mungkin saya tidak
berhak untuk menjustifikasi jawabannya. Yang jelas, saya yakin, kita yang sadar
dan bisa merefleksikannya
pasti malu menjawab pertanyaan tersebut.
Semakin ke depan, gerakan-gerakan mahasiswa pun
semakin tumpul. Mahasiswa semakin terjebak dalam penjara kampus dengan sistem
yang diciptakannya. Kemerdekaan berpikir pun direnggut oleh kesadaran semu
tentang fenomena yang terjadi selama ini. Semakin hari mahasiswa semakin jauh
dari rakyat dan kenyataan tentang dunia yang ada. Sebagai akademisi, mahasiswa
semakin terjebak dalam penjara diktat-diktat hasil interpretasi ilmuwan non-progressif yang terus-menerus
direproduksi. Pada akhirnya,alam pikir pun berubah menjadi semakin mengarah
kepada pencarian hal-hal yang
bersifat populer
Rupa-rupanya dampak matinya marxisme
dalam dunia akademik belum sampai di situ. Tanpa kita sadari, selain gagalnya ilmu
sosial menjelaskan realita yang sesungguhnya dan hanya bisa menyediakan
wacana-wacana normatif, rupa-rupanya sastra yang berisik pun semakin sunyi.
Sastra menjadi semakin romantis sebab munculnya (yang dalam istilah rendra)
penyair-penyair salon yang berbicara tentang anggur dan rembulan.
Sastrawan-sastrawan gagal membahasakan kenyataan menjadi pembangkit gairah
untuk perubahan. Padahal, sastra memiliki kekuatan yang begitu luar biasa. Jika
jurnalisme membutuhkan fakta untuk menyampaikan kebenaran, maka sastra tidak
membutuhkan itu untuk menyampaikannya .
Padahal, melihat sejarah
kesusastraan kita di masa lalu, melalui angkatan-angkatannya, mereka begitu
gigih untuk menceritakan kenyataan-kenyataan dan permasalahan-permasalahan yang
terjadi di sekitar kita. Selalu saja ada isu-isu tentang kemanusiaan, problema,
dan kebudayaan yang diangkat dan dijadikan karya. Hal ini kerapkali menjadi
pemantik api semangat perjuangan demi keadilan. Semakin bergesernya zaman,
semakin berubah selera dan pandangan. Pada akhirnya, sastra tidak lagi
dipandang sebagai alat perjuangan, namun kini sastra menjadi begitu romantis.
Sastra menjadi semakin melankoli dan jauh dari kenyataan tentang persoalan yang
selama ini terjadi.
Ya pada akhirnya di sinilah titik
akhirnya. Sebuah bencana peradaban ketika sastra menjadi romantis dan ilmu
sosial hanya menjadi normatif.
Ali Zainal Abidin
Tidak ada komentar
Posting Komentar