*Bukan Cerpen Bukan Curhat*
Aku bercerita tentang si
gadis kecil. Seorang gadis yang bagiku tak seberapa cantik namun cukup banyak
menarik perhatianku. Gadis itu, gadis impianku dulu. Namun mimpi itu sedikit
demi sedikit terkikis begitu saja seiring dengan berjalannya waktu. Garis
pandangku akannya sedikit demi sedikit pun bergeser, ia gadis kecilku yang dulu
lugu, kini berubah dan berhak untuk sedikit mengangkat dagu.
Gadis kecilku yang dulu
lucu, kini berubah menjadi (sedikit) anggun. Rupa-rupanya mungkin ia sadar
banyak mata telah meliriknya, memperhatikan polah tingkahnya, dan mulai sedikit
demi sedikit merayunya. Bah, macam ini pula ternyata yang membuatnya semakin
rajin bersolek. Wajahnya kini semakin rajin didempuli dengan debu-debu mahal berlabel
negeri seberang. Semakin kesat kulitnya kulihat mungkin hasil perawatan salon.
Entah apa yang membuatku dan
dia menjadi dekat. Yang jelas, kini aku dan dia seperti rutin untuk saling
bertemu. Entahlah apa yang bisa kugambarkan untuk menjelaskan statusku dan
gadis kecilku itu. Dibilang suka juga sudah tidak, tapi kalau bertemu berpeluk
mesra. Aku pernah jujur untuk bilang, “aku dulu pernah mencintaimu. Namun sekarang
sudah tidak.” Dan ia pun hanya tertawa. Cukup kesal aku dibuatnya. Perasaaan
yang dari dulu terlalu sulit rasanya untuk diungkapkan,ternyata dalam proses
yang sederhana begitu saja untuk dimuntahkan.
“Kamu dimana?”
pesan singkatnya padaku
“Masih di kampus”
“Yaudah, nanti
malem jemput ya kita ke tempat biasa.”
“OK”
Kurang lebih begitulah
percakapan di setiap kami hendak bertemu.
Malam demi malam, aku dan
gadis kecilku terlelap dalam kelam. Mabuk kami tenggelam tanpa berpikir
dalam-dalam. Ah, masih tak puas kami habiskan malam, kami lanjutkan malam
hingga fajar muncul dan bulan mulai menujam. Sayup-sayup azan subuh terdengar,
suara kakek-kakek yang begitu lirih yang menceritakan tentang bagaimana
tubuhnya yang ringkih dimakan zaman. Sementara generasinya di depan mulai
melupakan sayupan-sayupan itu harus ada yang menggantikan. Ah lebih tragis
lagi, anak muda dilindas tragedi peradaban. Ya, seperti aku ini. Pemuda yang
hanya berpikir soal foya-foya menikmati masa muda yang tak pernah bisa terluang
untuk kedua kalinya. Aji mumpung, selagi bisa.
Berita dari gadis kecilku malam
ini, ia bercerita bahwasanya ia sedang terpenjara oleh bimbang. Bingung rasanya
hendak berbuat apa tentang hubungannya dengan lelaki yang lebih tua darinya
beberapa tahun itu. Dalam bimbangnya, ia tak mengerti harus bagaimana dengan
lelakinya. Semakin jarang bertemu sebab urusan masing-masing begitu sibuknya.
Ia bingung, lelakinya yang mungkin sudah tak tahan untuk mempersuntingnya itu
terkadang begitu posesif. Lelaki yang wajahnya dikarbit itu mungkin memang sudah
tak tau mau kemana lagi mencari calon bini.
Sepanjang malam curhatan si
Gadis itu hanya kutertawai. Kubilang, “Makanya sama aku aja, dulu sombong sih.”
Dia hanya cemberut di balik wajahnya sambil berkata “Jahat!”
Dalam pikirku mengenai
mereka, aku rasa memang ini yang menjadi resiko dari pacaran yang beda umur
terpaut cukup jauh. Yang satu sudah kebelet kawin, yang satunya masih mau
main-main. Rasa-rasanya hubungan itu begitu membosankan. Kalau dia bilang cinta
itu tak memandang umur, cinta itu buta, atau apalah itu, tinggal kutimpahi
dengan “Omong kosong!”. Telingaku sudah terlalu jijik mendengar kata-kata palsu
itu. Seakan-akan manusia tak bisa apa-apa kalau sudah sebut-sebut soal cinta.
Sumpah itu sampah! Akhir-akhirnya hanya tersiksa, lalu ujungnya mati sia-sia.
Begitulah kiranya hiperbolisasi roman-roman sejak zaman baheula. Seakan-akan
mati menjadi pengorbanan paling tinggi. Padahal dalam kematiannya,
rasionalitasnya pasti berontak sebab raganya tak sempat merasakan nikmat surga
dunia. Ah, memang ada-ada saja.
Sisa kopi sruput terakhir
menyisakan ampas. Rupanya ini sudah cangkir ketiga. Gadis kecilku yang malang
ini masih terlelap di bahu kananku. Kubelai rambutnya yang panjang terurai lalu
mencuri kecup dahinya. Rupanya masih ada pula getar-getar yang tak pernah mau
kuakui lagi sebagai cinta itu. Anggap saja hiburan.
Pelan-pelan mulai
kubangunkan. “Ayo kita pulang, udah mau subuh.” Jawabnya hanya mengulat sambil
meregangkan tubuhnya. Dan kami pun pulang, masih seperti biasa. Kuantar ia
hingga depan rumah sewanya. Seiring dengan mesin motor yang kumatikan, ia mulai
melangkah masuk pelan-pelan. Aku tak mau beranjak sebelum kembalinya
kupastikan. Lalu aku kembali kepada kehidupanku, dalam peraduanku di seberang
pagar biru.
Tidak ada komentar
Posting Komentar