Sabtu, 28 November 2015

Gadis Kecil (Lintas Imaji)

*Bukan Cerpen Bukan Curhat*



                    Aku bercerita tentang si gadis kecil. Seorang gadis yang bagiku tak seberapa cantik namun cukup banyak menarik perhatianku. Gadis itu, gadis impianku dulu. Namun mimpi itu sedikit demi sedikit terkikis begitu saja seiring dengan berjalannya waktu. Garis pandangku akannya sedikit demi sedikit pun bergeser, ia gadis kecilku yang dulu lugu, kini berubah dan berhak untuk sedikit mengangkat dagu.


                    Gadis kecilku yang dulu lucu, kini berubah menjadi (sedikit) anggun. Rupa-rupanya mungkin ia sadar banyak mata telah meliriknya, memperhatikan polah tingkahnya, dan mulai sedikit demi sedikit merayunya. Bah, macam ini pula ternyata yang membuatnya semakin rajin bersolek. Wajahnya kini semakin rajin didempuli dengan debu-debu mahal berlabel negeri seberang. Semakin kesat kulitnya kulihat mungkin hasil perawatan salon.


                    Entah apa yang membuatku dan dia menjadi dekat. Yang jelas, kini aku dan dia seperti rutin untuk saling bertemu. Entahlah apa yang bisa kugambarkan untuk menjelaskan statusku dan gadis kecilku itu. Dibilang suka juga sudah tidak, tapi kalau bertemu berpeluk mesra. Aku pernah jujur untuk bilang, “aku dulu pernah mencintaimu. Namun sekarang sudah tidak.” Dan ia pun hanya tertawa. Cukup kesal aku dibuatnya. Perasaaan yang dari dulu terlalu sulit rasanya untuk diungkapkan,ternyata dalam proses yang sederhana begitu saja untuk dimuntahkan. 


“Kamu dimana?” pesan singkatnya padaku
“Masih di kampus”
“Yaudah, nanti malem jemput ya kita ke tempat biasa.”

“OK”
Kurang lebih begitulah percakapan di setiap kami hendak bertemu.

                    Malam demi malam, aku dan gadis kecilku terlelap dalam kelam. Mabuk kami tenggelam tanpa berpikir dalam-dalam. Ah, masih tak puas kami habiskan malam, kami lanjutkan malam hingga fajar muncul dan bulan mulai menujam. Sayup-sayup azan subuh terdengar, suara kakek-kakek yang begitu lirih yang menceritakan tentang bagaimana tubuhnya yang ringkih dimakan zaman. Sementara generasinya di depan mulai melupakan sayupan-sayupan itu harus ada yang menggantikan. Ah lebih tragis lagi, anak muda dilindas tragedi peradaban. Ya, seperti aku ini. Pemuda yang hanya berpikir soal foya-foya menikmati masa muda yang tak pernah bisa terluang untuk kedua kalinya. Aji mumpung, selagi bisa.

                    Berita dari gadis kecilku malam ini, ia bercerita bahwasanya ia sedang terpenjara oleh bimbang. Bingung rasanya hendak berbuat apa tentang hubungannya dengan lelaki yang lebih tua darinya beberapa tahun itu. Dalam bimbangnya, ia tak mengerti harus bagaimana dengan lelakinya. Semakin jarang bertemu sebab urusan masing-masing begitu sibuknya. Ia bingung, lelakinya yang mungkin sudah tak tahan untuk mempersuntingnya itu terkadang begitu posesif. Lelaki yang wajahnya dikarbit itu mungkin memang sudah tak tau mau kemana lagi mencari calon bini.

                    Sepanjang malam curhatan si Gadis itu hanya kutertawai. Kubilang, “Makanya sama aku aja, dulu sombong sih.” Dia hanya cemberut di balik wajahnya sambil berkata “Jahat!”

                    Dalam pikirku mengenai mereka, aku rasa memang ini yang menjadi resiko dari pacaran yang beda umur terpaut cukup jauh. Yang satu sudah kebelet kawin, yang satunya masih mau main-main. Rasa-rasanya hubungan itu begitu membosankan. Kalau dia bilang cinta itu tak memandang umur, cinta itu buta, atau apalah itu, tinggal kutimpahi dengan “Omong kosong!”. Telingaku sudah terlalu jijik mendengar kata-kata palsu itu. Seakan-akan manusia tak bisa apa-apa kalau sudah sebut-sebut soal cinta. Sumpah itu sampah! Akhir-akhirnya hanya tersiksa, lalu ujungnya mati sia-sia. Begitulah kiranya hiperbolisasi roman-roman sejak zaman baheula. Seakan-akan mati menjadi pengorbanan paling tinggi. Padahal dalam kematiannya, rasionalitasnya pasti berontak sebab raganya tak sempat merasakan nikmat surga dunia. Ah, memang ada-ada saja.

                    Sisa kopi sruput terakhir menyisakan ampas. Rupanya ini sudah cangkir ketiga. Gadis kecilku yang malang ini masih terlelap di bahu kananku. Kubelai rambutnya yang panjang terurai lalu mencuri kecup dahinya. Rupanya masih ada pula getar-getar yang tak pernah mau kuakui lagi sebagai cinta itu. Anggap saja hiburan.

                    Pelan-pelan mulai kubangunkan. “Ayo kita pulang, udah mau subuh.” Jawabnya hanya mengulat sambil meregangkan tubuhnya. Dan kami pun pulang, masih seperti biasa. Kuantar ia hingga depan rumah sewanya. Seiring dengan mesin motor yang kumatikan, ia mulai melangkah masuk pelan-pelan. Aku tak mau beranjak sebelum kembalinya kupastikan. Lalu aku kembali kepada kehidupanku, dalam peraduanku di seberang pagar biru.



 Lintas Imaji-Lakon Hidup

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall