Minggu, 28 Juni 2015

Plesiran Jakarta : Masjid Istiqlal di Bulan Ramadhan


  Kepedulian sosial dan nilai egaliter dengan buka puasa bersama

           Kemarin, pada tanggal 28 Juni 2015 saya bersama keluarga memutuskan untuk salat tarawih berjamaah di Masjid Istiqlal. Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 3 dan sampai di stasiun Juanda sekitar pukul setengah 6. Perjalanan yang kami tempuh dengan commuterline ini hitung-hitung ngabuburit. Tidak terasa waktu sudah menjelang azan maghrib ketika kami sampai di Masjid Istqlal.

         Lalu kami langsung masuk melalui pintu Al Fattah menuju lorong bawah untuk mengambil ta’jil dan berbuka puasa bersama. Saya begitu salut ketika melihat persiapan yang sangat sigap  para pengurus masjid yang memiliki tim pembagian ta’jil sendiri. Mereka terlihat begitu sigap dengan seragam yang mereka kenakan. Tentunya sangatlah wajar jika persiapan mereka sangatlah matang. Masjid Istiqlal yang didirikan sejak tahun 1951 sampai saat ini masih mendapat predikat masjid terbesar di Asia Tenggara dan bisa dikatakan sebagai masjid utama negara. Acara-acara keagamaan islam yang dihadiri oleh para petinggi negara pun hampir selalu dilaksanakan di sini, seperti salat iedul fitri dan iedul adha.

              Di bulan Ramadhan ini setiap hari Masjid Istiqlal menyediakan sekurang-kurangnya 3000 buah ta’jil yang dibagikan secara cuma-cuma kepada seluruh pengunjung yang hadir untuk berbuka puasa bersama di sana. Sungguh luar biasa bagaimana masjid menjadi sumber keberkahan bagi masyarakat khususnya di bulan yang penuh keberkahan ini. Saya pun terus mengamati hal-hal yang saya rasa bisa menjadi cerita dan kesan.

            Saya melihat ada hal yang menarik ketika buka puasa bersama yang bisa dikatakan sebagai buka bersama akbar ini. Saya sangat terkesan ketika mengamati bagaimana heterogennya ummat islam di Indonesia. Sungguh luar biasa ketika beragam kalangan hadir dan bersama-sama berbuka puasa dan salat berjamaah bersama. Saya mengamati ada orang-orang dengan celana cingkrang dan jilbab yang dalam, ada jamaah yang bersarung, ada yang bercelana panjang dan berkaos, ada wanita-wanita yang berjilbab tapi ber-legging, ada pria-pria paruh baya berkemeja yang baru saja pulang kerja, ada seniman yang dengan surjen dan tato yang memenuhi sepanjang lengannya, dan masih banyak lagi orang dengan cara berpakaiannya yang berbeda-beda. Sangat luar biasa melihat keragaman keislaman masyarakat Indonesia dengan kekhasannya.

           Kemudian saya melihat adanya nilai-nilai egaliter dari buka puasa bersama ini. Ya, jelas saya merasa demikian. Semua penikmat ta’jil mendapatkan makanan yang sama. Tidak peduli apa latar belakang dan status sosial anda. Sebagai peserta dan penikmat ta’jil, walaupun anda seorang presiden direktur perusahaan besar sekalipun, anda akan mendapatkan makanan yang sama dengan saudara-saudara anda sebagai tunawisma. Sungguh indahnya islam dengan saling berbagi dan saling mengasihi. Darimanakah dana 3000 ta’jil setiap hari itu? Ya, sudah jelas jawabannya dari infaq jamaah yang hadir di sana dan sumbangan-sumbangan tidak terikat lainnya. Akan tetapi, dari sini kita dapat melihat sungguh istimewanya islam yang mengajarkan kasih sayang terhadap sesama yang membuktikan islam memiliki ajaran tentang kepedulian sosial yang sangat luar biasa dengan beragam motivasi untuk melakukannya. Salah satunya, seperti yang diajarkan Allah SWT di dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 261-262:

261. Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.

262. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Katedral di Seberang Masjid

         Seusai salat saya menyempatkan diri untuk mengamati sekitar masjid. Tugu Monumen Nasional(Monas) tegak tinggi menjulang dan semakin cantik dengan lampu-lampu yang menghiasinya. Akan tetapi, di satu sudut saya begitu tertarik dengan bangunan klasik khas eropa yang juga tegak menjulang dan begitu cantik dihiasi lampu-lampu. Ya, itulah Gereja Katedral Jakarta. Sepintas, saya langsung berpikir inilah Indonesia negeri dimana saya dilahirkan. Sebuah simbol keharmonisan antar umat beragama dimana dua bangunan suci beda agama tegak dan megah berdiri. Aku cinta padamu, Indonesiaku.

                Semoga simbol keharmonisan ini tidak hanya akan sekedar menjadi simbol yang hanya memiliki makna simbolis. Akan tetapi simbol ini harus menjadi bukti dan memotivasi setiap ummat beragama untuk saling menjunjung tinggi sikap toleransi. Saling menghargai dan bukan saling memusuhi. Mari kita memulainya dari diri kita sendiri!

(Lakon Hidup)



Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall