Kepedulian sosial dan nilai egaliter dengan buka puasa bersama
Kemarin, pada tanggal 28 Juni 2015 saya bersama keluarga memutuskan
untuk salat tarawih berjamaah di Masjid Istiqlal. Kami berangkat dari
rumah sekitar pukul 3 dan sampai di stasiun Juanda sekitar pukul setengah 6.
Perjalanan yang kami tempuh dengan commuterline ini hitung-hitung ngabuburit.
Tidak terasa waktu sudah menjelang azan maghrib ketika kami sampai di Masjid
Istqlal.
Lalu kami langsung masuk melalui pintu Al Fattah menuju
lorong bawah untuk mengambil ta’jil dan berbuka puasa bersama. Saya begitu
salut ketika melihat persiapan yang sangat sigap para pengurus masjid yang memiliki tim
pembagian ta’jil sendiri. Mereka terlihat begitu sigap dengan seragam yang
mereka kenakan. Tentunya sangatlah wajar jika persiapan mereka sangatlah
matang. Masjid Istiqlal yang didirikan sejak tahun 1951 sampai saat ini masih
mendapat predikat masjid terbesar di Asia Tenggara dan bisa dikatakan sebagai
masjid utama negara. Acara-acara keagamaan islam yang dihadiri oleh para
petinggi negara pun hampir selalu dilaksanakan di sini, seperti salat iedul
fitri dan iedul adha.
Di bulan Ramadhan ini setiap hari Masjid Istiqlal
menyediakan sekurang-kurangnya 3000 buah ta’jil yang dibagikan secara cuma-cuma
kepada seluruh pengunjung yang hadir untuk berbuka puasa bersama di sana. Sungguh
luar biasa bagaimana masjid menjadi sumber keberkahan bagi masyarakat khususnya
di bulan yang penuh keberkahan ini. Saya pun terus mengamati hal-hal yang saya
rasa bisa menjadi cerita dan kesan.
Saya melihat ada hal yang menarik ketika buka puasa bersama
yang bisa dikatakan sebagai buka bersama akbar ini. Saya sangat terkesan ketika
mengamati bagaimana heterogennya ummat islam di Indonesia. Sungguh luar biasa
ketika beragam kalangan hadir dan bersama-sama berbuka puasa dan salat
berjamaah bersama. Saya mengamati ada orang-orang dengan celana cingkrang dan
jilbab yang dalam, ada jamaah yang bersarung, ada yang bercelana panjang dan
berkaos, ada wanita-wanita yang berjilbab tapi ber-legging, ada pria-pria paruh
baya berkemeja yang baru saja pulang kerja, ada seniman yang dengan surjen dan
tato yang memenuhi sepanjang lengannya, dan masih banyak lagi orang dengan cara
berpakaiannya yang berbeda-beda. Sangat luar biasa melihat keragaman keislaman
masyarakat Indonesia dengan kekhasannya.
Kemudian saya melihat adanya nilai-nilai egaliter dari buka
puasa bersama ini. Ya, jelas saya merasa demikian. Semua penikmat ta’jil
mendapatkan makanan yang sama. Tidak peduli apa latar belakang dan status
sosial anda. Sebagai peserta dan penikmat ta’jil, walaupun anda seorang
presiden direktur perusahaan besar sekalipun, anda akan mendapatkan makanan
yang sama dengan saudara-saudara anda sebagai tunawisma. Sungguh indahnya islam dengan saling berbagi dan saling
mengasihi. Darimanakah dana 3000 ta’jil setiap hari itu? Ya, sudah jelas
jawabannya dari infaq jamaah yang hadir di sana dan sumbangan-sumbangan tidak
terikat lainnya. Akan tetapi, dari sini kita dapat melihat sungguh istimewanya
islam yang mengajarkan kasih sayang terhadap sesama yang membuktikan islam
memiliki ajaran tentang kepedulian sosial yang sangat luar biasa dengan beragam motivasi untuk melakukannya. Salah satunya, seperti yang
diajarkan Allah SWT di dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 261-262:
261. Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang
Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
262.
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak
mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan
dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi
Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.
Katedral di
Seberang Masjid
Seusai salat saya
menyempatkan diri untuk mengamati sekitar masjid. Tugu Monumen Nasional(Monas)
tegak tinggi menjulang dan semakin cantik dengan lampu-lampu yang menghiasinya.
Akan tetapi, di satu sudut saya begitu tertarik dengan bangunan klasik khas
eropa yang juga tegak menjulang dan begitu cantik dihiasi lampu-lampu. Ya,
itulah Gereja Katedral Jakarta. Sepintas, saya langsung berpikir inilah
Indonesia negeri dimana saya dilahirkan. Sebuah simbol keharmonisan antar umat
beragama dimana dua bangunan suci beda agama tegak dan megah berdiri. Aku cinta
padamu, Indonesiaku.
Semoga simbol keharmonisan ini tidak hanya akan sekedar menjadi simbol yang hanya memiliki makna simbolis. Akan tetapi simbol ini harus menjadi bukti dan memotivasi setiap ummat beragama untuk saling menjunjung tinggi sikap toleransi. Saling menghargai dan bukan saling memusuhi. Mari kita memulainya dari diri kita sendiri!
Semoga simbol keharmonisan ini tidak hanya akan sekedar menjadi simbol yang hanya memiliki makna simbolis. Akan tetapi simbol ini harus menjadi bukti dan memotivasi setiap ummat beragama untuk saling menjunjung tinggi sikap toleransi. Saling menghargai dan bukan saling memusuhi. Mari kita memulainya dari diri kita sendiri!
(Lakon Hidup)
Tidak ada komentar
Posting Komentar