“Pesta Kita Berjumpa”
(Lakon Hidup)
Aku bercerita tentang apa yang kualami sebulan lalu. Oh ya,
namaku Gun. Begitulah orang-orang biasa memanggilku sebagai nama pendek dari
Gunawan. Dan aku akan mulai bercerita tentang apa yang kualami di kota
kelahiranku, kota kembang, Paris Van Java orang bilang. Bandung, sebuah
kota yang dikelilingi oleh pegunungan sebagai wujud sisa legenda bumi
parahyangan.
Suatu hari usai sekolah, ibuku memberikan sebuah surat yang
ia ambil dari kotak surat di dinding depan rumah. Sejujurnya aku bukanlah orang
yang biasa mendapatkan surat yang dikirim melalui pos. Sebab kupikir jaman
sudah begini mudah untuk berkomunikasi. Sekejap pesanku sudah bisa tiba di
negeri Jepang, bahkan bisa pula di Eropa sana. Maka aku heran jikalau ada surat
datang padaku, ditujukan atas namaku. Penasaran dan tak sabar pula aku ingin segera tahu apa isi
surat itu. Wah, ternyata isinya berupa undangan.
“Sehubungan dengan agenda penguatan jarngan pemuda lintas
komuntas di kota Bandung, Kami selaku pengurus Komunitas Muda Bandung(KMB) mengundang
Anda untuk datang pada acara Meet and Greet Komunitas Pemuda dan Seniman
se-Kota Bandung. Besar harap kami agar Anda dapat bergabung dalam acara
tersebut.”
Membaca pesan tersebut aku cukup tertarik. Kupikir kapan
lagi aku dapat menghadiri acara seperti ini di penghujung masa sekolahku di
kota ini. Hanya tinggal beberapa bulan lagi aku sudah harus angkat kaki ke
ibukota. Melanjutkan pendidikanku yang sudah kepalang tanggung memilih jalan
sebagai anak sastra.
Oh ya, mengenai surat tersebut bisa sampai padaku, perlu
kujelaskan bahwasanya aku adalah anggota komunitas Aksara Muda. Komunitas ini
ialah sebuah komunitas yang berisikan anak-anak SMA yang berminat lebih pada
dunia sastra dan penulisan. Aku sendiri pernah menjadi ketuanya setahun lalu.
Sekarang aku sudah menikmati masa pensiun sebab kesibukanku sudah fokus pada
ujian-ujian. Sebetulnya komunitasku ini diminta untuk menampilkan sebuah karya,
semacam sajak atau puisi. Sebagai senior, aku tidak ingin lagi ambil bagian ini
sebab tak lama lagi akan segera kutinggalkan. Biarkan mereka yang turun tangan.
Hari ini hari Sabtu dan acara itu dimulai pukul tujuh. Ya,
waktu yang dipilih malam minggu sebab mayoritas undangan pastinya merupakan
siswa SMA yang masih bersekolah di hari lain. Sore ini, tepat pukul lima,
kupersiapkan semua pakaian yang hendak kupakai ke pesta itu. Sempat bingung
pakaian seperti apa yang akan kukenakan. Ah, kupikir biasa saja. Tak perlu
kugunakan jas yang masih menggantung di lemari dan hendak kupakai saat acara
wisuda kelulusanku nanti. Akhirnya kuputuskan bahwa aku mengenakan pakaian
dengan style favoritku. Celana jeans, sepatu kets, kaos oblong hitam,
dan planel biru. Tak lupa pula gelang bangsa 2-3 ikat terikat di tangan kiriku.
Begitupun kalung taring harimau yang dibawa pamanku dari Sumatera sana. Bah,
sudah cocok rupanya tampilan ini mewakili hobi dan kepribadianku.
Tepat usai salat magrib aku berangkat. Si Jagur, motor Vespa
kesayanganku hasil pemberian bapak yang kurawat sesayang-sayangnya seakan-akan
kekasihku, sudah siap menunggu di garasi. Kupacu kuda besiku di tengah ramainya
malam Minggu kota kembang yang tak salah juga jika disebut Paris-nya Jawa.
Sepanjang jalan tak henti-hentinya kupandangi sekeliling. Aih, muda-mudi yang
sedang bermesraan yang tak lain hanya membuat iri. Kuteliti lebih lanjut
mojang-mojang itu seraya bergumam di dalam hati “meuni geulis pisan”.
Tepat pukul tujuh kurang lima menit aku tiba di lokasi, Wisma Karya Cipta. Usai
kuparkir sepeda motorku, bergegas aku masuk ke aula pesta.
Wah, suasana begitu meriah. Satu persatu mulai kulihat
wajah-wajah yang tak asing bagiku. Salah satunya Kris, seorang gitaris band
yang cukup tenar di kalangan anak-anak SMA di kota Bandung.
“Hoi kang! Kumaha kabarna? Damang?” sapanya sambil
tersenyum dan menjabat tanganku
“Beuh, damang euy. Maneh kumaha kabarna? Makin kasep
wae!” balasku meledek
“Alhamdulillah euy, makin lancar manggung sana-sini.”
“Kalo awewe lancar teu?”
“Beuh, tau sama tau lah”
Dan percakapan kami berlanjut dengan saling meledek dan
penuh tawa canda.
Tak mau melewatkan kesempatan untuk menambah kenalan , aku
berkeliling aula. Wajah-wajah yang tak asing dan mengenalku memberi ucapan
selamat atas keberhasilanku memperoleh undangan melanjutkan studi di Jakarta.
Aku pun membalas ucapan selamat mereka dengan ucapan terima kasih. Cukup senang
dan bangga walaupan aku belum tahu apa-apa bagaimana nasibku nanti disana.
Biarlah, sekarang lebih baik aku menikmati jalannya pesta.
Acara meet and greet ini jika dikategorikan
sebetulnya punya dua bentuk. Bentuk pertama, sebagai acara inti beberapa
pembicara yang diundang hadir menjelaskan bagaimana pentingnya peranan pemuda
di kota Bandung sekaligus menjelaskan urgensi acara ini. Bentuk kedua, acara
hiburan yang diisi oleh komunitas-komunitas seniman yang telah diundang
sebelumnya. Ada tampilan berupa menyanyi, membaca puisi, bahkan drama mini
kata. Acara tersebut dikondisikan oleh panitia agar tidak terkesan membosankan.
Akan tetapi tetap saja, bagiku bentuk acara yang pertama itu tetap tiada
menariknya. Tiada barang sepatah katapun kudengarkan ocehan mereka selama
hampir satu jam itu. Bolak-balik aku buka handphone untuk sekedar
bermain game atau membuka sosmed. Dan, ketika ocehan yang tak
kudengar itu usai, aku kembali bersemangat. Acara pun berubah. Panitia sigap
menyulap aula menjadi arena standing party. Ah, ini yang
kutunggu-tunnggu.
Aku segera menemui ketiga juniorku dari komunitas aksara itu,
Dodi, Udin, dan Arya. Sekedar bertanya kabar perkembangan komunitas berikut
agenda-agendanya. Lalu kutanya pula tentang persiapan tampil malam ini.
“Kalian malam ini mau tampil apa?” tanyaku memulai
“Puisi berantai A” jawab Dodi
“Siapa aja yang tampil? Kalian bertiga ini?”
“Ya gitu deh A” jawab Udin sambil menghembuskan nafas berat
lalu melanjutkan “Pada mau fokus belajar A, minggu depan ujian.” Tandasnya
“Oh, biasa itu mah. Kalo kalian ngga belajar?”
“Ah, si Aa kayak ngga paham kita-kita aja. Sekolah santai,
asal tujuan tercapai.” Celetuk Arya
“Yeuh, belegug sia!” candaku sambil tertawa
“Kalian tampil kapan?” tanyaku kembali
“Itu A katanya abis cewe yang di sebelah panggung itu.”
Jawab Udin
“Cewe yang mana?” aku mempertegas
“Itu yang pake gaun biru yang lagi hadap sana.” Arya
memperjelas
“Oh, yang itu.”
“Kunaon A? Suka ya?” ledek Dodi
“Beuh, aya-aya wae maneh. Sembarangan!” Bantahku .“Udah sana
siapin tampilnya!”
“Siap Komandan!”
Entah mengapa setelah ledekan itu aku jadi penasaran. Ya,
jelas semakin penasaran sebab aku melihatnya dari samping belakangnya. Aku
masih penasaran bagaimana parasnya. Dari sini aku hanya bisa melihat rambutnya yang lurus terurai itu yang berpadu
dengan gaun biru yang tak lain juga warna favoritku, biru. Aku semakin penasaran,
lalu aku berusaha mendekat. Semakin dekat ke depan panggung.
“Kini kita panggilkan , seorang dara cantik asal SMA Purna
Karsa dengan suara emasnya, sambut dengan meriah, Marissa Anastasia!” panggil
si pembawa acara. Dan seisi ruangan pun meriah menyambutnya dengan tepukan dan
sorak.
Kupandangi panggung itu. Tanpa sadar perhatianku hilang dari
gadis tadi. Saat kulihat kembali ke sisinya tadi, ternyata ia telah tiada.
Mataku langsung awas memandangi sekeliling ruangan. Saat musik mulai dimainkan,
beberapa saat kemudian kudengar suara yang merdu dari atas panggung.
Pandanganku pun kembali beralih menuju pada panggung itu. Sontak aku
kaget. Tak kusangka ternyata yang
kucari-cari telah hadir di depan mataku sedang khidmat membawakan lagu.
Terbayar sudah rasa penasaranku untuk menatap wajahnya. Kini bukan hanya wajah,
aku bisa melihat seluruh tubuhnya dengan jelas dari sini.
Rasanya sayang jika aku beralih pandang. Bagiku ia terlihat
cantik meskipun tak jauh di atas rata-rata mojang Bandung yang kutemui di pesta
ini atau di jalan tadi. Kulitnya putih sebagaimana gadis sunda pada umumnya.
Matanya, kulihat agak sipit namun kurasa disitu letak keanggunannya. Tubuhnya
cukup tinggi untuk ukuran gadis di usianya yang begitu indah dibalut gaun biru,
warna yang kusuka. Ah, mengapa aku begini rasa? Ada yang aneh rasa-rasanya. Tak
jarang kulihat gadis cantik dengan berbagai bakat, namun mengapa kali ini
seakan berbeda. Apakah aku telah jatuh cinta? Ah, tidak mungkin. Aku tidak
percaya.
Dan teruslah begitu aku bergumam di dalam hati. Sampai ia
turun panggung, aku masih berusaha menyangkal dan bergulat dalam batin sendiri.
Sekilas terpikir untuk berkenalan, namun rasanya tak cukup keberanian. Aku
terus saja menemukan hatiku yang dilanda badai keraguan. Namun bukanlah hati
jikalau tak mampu putuskan. Aku mulai berusaha membasmi hama ketakutan. Menarik
nafas sebagai simbol pengumpulan kekuatan. Maka kuputuskan untuk berkenalan.
Kiranya aku pun tidak bodoh jikalau langsung menghampiri
tanpa menggali informasi. Maka pada ketiga juniorku aku kembali. Aku bertanya
tentangnya yang rasanya tak sabar untuk kukenali.
“Eh, eta saha Marissa Anastasia? Ti mana sakolahna?” tanyaku
“Eits, si Aa teh tiba-tiba nanyain aya naon ieu? Tuhkan apa
aing bilang.” Kembali Dodi meledek
“Eh, biasa wae atuh. Aing the resep denger nyanyinya tadi.”
Jawabku berkilah
“Dia teh anak pengusaha peternakan di lembang A, sekolahnya
di Purna Karsa. Baru masuk tahun ini.” Jawab Dodi
“Oh, wah makasih infonya. Aing teh penasaran. Mau kenalan
euy. Temenin yuk!” ajakku
“Wah, kalo urusan beginian mah kita ngga mau ganggu a, biar
aa aja deh yang maju sendiri. Kita doain dan liatin aja dari sini kalo ada
apa-apa” Udin menolak
“Yang bener nih?” tanyaku meyakinkan
“Iya, sok atuh disamper. Nanti keburu pulang.” Suruh Arya
Aku mulai melangkah dengan gagah. Selangkah demi selangkah
kulalui. Namun hingga langkah kelima, nyaliku menciut kembali. Jantungku
berdebar. Seakan-akan sekujur tubuhku terpompakan darah begitu cepatnya. Sungguh,
aku begitu takut dan berpikir untuk kembali mengurungkan niatku. Namun rasanya
langkah pertama nan gagah tadi dengan angkuhnya mengejekku sebagai pengecut.
Tidak, aku tidak boleh kembali. Apapun yang terjadi, aku harus beranikan diri.
Jikalau bukan saat ini, maka kapan lagi? Aku terus bergumam di dalam hati.
Saat kudekati acara sudah menjelang usai. Hanya tinggal
menunggu kata penutup dari pembawa acara. Dari kejauhan kulihat ia pun sudah
sibuk memerhatikan jam tangannya. Kulihat wajahnya mulai resah seakan
terburu-buru. Dan kulihat jam di dinding ruangan ternyata sudah menunjukkan
pukul sebelas. Aku pun tak tenang mendekatinya yang sedang gelisah dan
buru-buru pulang. Namun, tetap kupaksakan sebab rasanya jika tidak suatu hari
nanti akan kutemui penyesalan.
Aku dekati ia perlahan. Lalu aku mulai mengulurkan tangan
yang tak kusadari gemetaran
“Marissa Anastasia, kenalkan, aku Gun” ucapku terbata-bata saat wajahnya menghadap wajahku, kutatap dalam matanya. Bah,
sudah tak di bumi rupanya aku? Tak pernah kurasakan tatapan sesejuk ini, sejuk
laksana embun di pagi hari. Mesin pemompa darah dalam tubuhku pun semakin
bekerja keras. Untung pula tak ada cerobong asap sebagai organ tubuhku. Jika
ada mungkin sudah mengebul seisi ruangan ini sebab kepulan asap dari mesin
pemompa darah ini. Mungkin mataku tak berkedip. Tak kuasa seakan tak mau
sepersekian detikpun hilang kesempatan melihat sang Juwita Kurnia Dewata
yang telah menyihirku ini. Lalu ia membalas tanganku seraya berkata “Panggil
saja Rissa”
Lain lagi ketika rasanya saat telapak tanganku bersentuhan
dengan telapak tangannya. Jikalau tadi mesin pemompa darah itu bisa
menghasilkan kepulan asap, maka sekarang mungkin mesin pemompa yang terhubung
dengan sistem listrik dari saraf itu menerima impuls yang terlalu tinggi. Wah, tegangan yang terlalu tinggi ini membuat
kerja mesin pemompa darah tak beraturan. Tak bisa berkata-kata dalam ucapan.
Aku membisu tak tau lagi apa yang harus kulakukan. Aku mencoba menarik nafas
pelan-pelan dan akhirnya mampu mengatakan “Suara kamu bagus ya, penampilan kamu
tadi luar biasa!”
Lalu sambil tersenyum ia menjawab “Makasih ka, mohon maaf
ngga bisa lama-lama. Aku harus cepat pulang.” Kami berdua pun saling
melambaikan tangan.
Rasa-rasanya begitu cepat, terlalu cepat bahkan setelah aku
mulai sadar. Ternyata baru hampir 30 detik waktu perkenalan. Aku seakan
menyesal sejadi-jadinya dan mulai berandai-andai dalam bayangan. Andaikan tadi
aku lebih cepat untuk mengumpulkan keberanian, andaikan dia sudah kulihat
sebelum ocehan-ocehan itu, andaikan waktu belum pukul segini, andaikan,
andaikan, dan andaikan.
Dan mungkin hanya tinggal sesal. Tak sempat kutanya alamat
atau bahkan sekedar nomor teleponnya. Begitu bodohnya aku dan terus-menerus
bertemu sesal. Sepanjang perjalanan pulang aku terus-menerus memperhatikan
sekitar berharap-harap ia masih belum pulang menunggu kendaraan sehingga dapat
kuantarkan. Namun hingga sampai jalan depan rumahku, tak kunjung kulihat batang
hidungnya dan tanpa sadar tiba-tiba aku sudah ada di depan gerbang rumah.
Aku masuk kamar ditemani hantu penyesalan. Aku tak tenang
dan tak bisa tidur pula aku. Teringat terus kejadian tadi yang rasanya begitu
cepat berlalu. Seakan-akan nasib tak mau berdamai dan bahagia melihat
kesenanganku. Aku yang penasaran mencoba mencari namanya di mesin pencarian
dari handphone. Benar kulihat ada namanya, namun ternyata sudah lama tak
aktif sosmed-sosmednya. Mungkin sebab sekarang ia sudah menjadi dara yang
masyhur, juwita kurnia dewata yang barangkali menjadi pujaan hati setiap
perjaka yang tersihir olehnya. Lampu kamar mulai kumatikan. Mencoba pejamkan
mata namun masih sulit. Satu-satunya motivasi ialah bertemu dengannya di dalam
mimpi. Bah, sudah gilakah aku dibuatnya hingga menjadi begini? Hingga detik ini
aku berharap agar dapat berjumpa dengannya suatu saat nanti.
Bersambung…
Tidak ada komentar
Posting Komentar