Sabtu, 13 Juni 2015

Bung, Bukan Cuma Anda yang Bayar! (Cerita dari Gerbong)

Sumber:bayubagaskara.wordpress.com


       Kali ini saya akan mencoba membahas soal Commuterline. Ada yang belum tahu Commuterline? Ya, Commuterline adalah sebuah alat transportasi massal yang memiliki nama lain KRL karena menggunakan tenaga listrik yang sampai saat ini masih melayani rute Jabodetabek. Commuterline ini bisa juga kita sebut sebagai salah satu jasa besar Pak Ignatius Jonan (menhub kabinet kerja) meskipun tidak terlepas dari kontroversi (penggusuran) renovasi serta regulasi stasiun. Akan tetapi, sampai saat ini sejauh pengalaman saya untuk bertanya-tanya kepada kawan-kawan pengguna Commuterline, semua memiliki respon positif terhadap perubahan ini. Bagaimana tidak, saya sendiri pun merasakan bagaimana tidak nyamannya KRL sebelum era Commuterline ini. Luar biasa! Jika sampai saat ini kita masih mengeluh dengan panas dan padatnya Commuterline, mungkin kita harus sesekali bernostalgia mengingat bagaimana KRL ekonomi di masa lampau. Bahkan, ibu saya pernah bercerita bahwa dulu beliau sempat naik kereta bersama kambing di gerbong yang sama. *WTF!

       Sekarang KRL sudah berubah menjadi jauh lebih baik. Semua sudah seragam dengan satu nama, Commuterline. Sekarang setiap pengguna KRL sudah bisa menikmati kereta dengan alat pendingin ruangan. Wah, sangat luar biasa jika dibandingkan dengan zaman naik kereta bersama kambing bukan? Namun di balik kenyamanan itu semua, kita perlu membahas lebih lanjut tentang etika kita di dalam alat transportasi publik yang satu ini.

       Untuk dapat menikmati perjalanan menggunakan Commuterline ini tentunya tidak gratis. Kita perlu membayar sesuai tarif yang telah ditetapkan sesuai dengan jarak perjalanan yang kita lalui. Saya sendiri menilai tarif tersebut cukup adil dan terjangkau oleh masyarakat luas. Meskipun demikian, saya pun yakin bahwasanya biaya yang dikeluarkan untuk membangun Commuterline sampai seperti ini butuh dana yang sangat besar. Ketika sudah membayar dengan tarif yang tersedia, apa yang kita(sebagai konsumen atau pelanggan) harapkan? Ya, pastinya kontraprestasi bukan? Lalu bagaimana dengan kontraprestasi tersebut?

     Dalam membahas ini kita perlu mengenal kontraprestasi terlebih dahulu. Dalam kamusbisnis.com kontraprestasi dijelaskan bahwa Kontra prestasi dalam kontrak adalah sesuatu yang harus diberikan oleh satu pihak atas prestasi pihak yang lain. Biasanya kontra prestasi adalah uang yang dibayarkan oleh satu pihak dan barang atau jasa yang diserahkan oleh pihak lain. Pihak yang tidak melakukan kontra prestasi sesuai kesepakatan dikatakan melakukan wanprestasi.

         Kontraprestasi dalam konteks ini jelas secara langsung didapatkan oleh konsumen. Sebagai konsumen Commuterline tentunya kita memiliki hak untuk menjadi penumpang selama dan mendapatkan pelayanan prima sebagai kontraprestasi dari biaya yang telah kita keluarkan. Akan tetapi, terkadang kita perlu menyadari lebih lanjut bahwasanya pandangan ini terkadang terlalu membuat kita merasa sangat harus menikmati pelayanan dan fasilitas yang harus kita dapatkan. Dalam hal ini saya menspesifikasikannya menjadi kesempatan untuk duduk.

        Kesempatan untuk duduk? Mengapa? Ya, karena berawal dari pengalaman saya sebagai pengguna yang dalam seminggu hampir tidak pernah tidak menggunakan jasa transportasi publik ini saya menjadi berpikir betapa individualisnya sebagian dari kita yang merasa bahwa kontraprestasi tersebut harus utuh untuk kita nikmati. Seakan-akan menjadi sebuah kerugian besar jikalau kita tidak bisa duduk di kereta karena kita sudah membayar dengan tarif yang telah ditentukan.

          Suatu siang ketika saya hendak melakukan perjalan dari Tanah Abang menuju Serpong, saya berdiri di hadapan seorang lelaki muda. Seperti biasanya kereta dari Tanah Abang menuju Serpong pastilah kereta yang cukup lama berhenti untuk isi muatan. Kemudian, beberapa lama berselang masuklah seorang nenek yang membawa barang cukup banyak. Sang nenek pun meminta kepada anak muda  yang berada di hadapan tersebut untuk bertukar posisi agar si nenek dapat duduk. Panggilan pertama dan kedua sang nenek tidak dihiraukan oleh anak muda tersebut. Saya yang berada di hadapannya pun cukup tersulut melihat sikap lelaki muda ini. Akhirnya saya dengan nada yang cukup tinggi menegur lelaki muda tersebut dan meminta untuk memberikan duduk kepada nenek tersebut. "Mas, kasihan ini nenek-nenek!Bangun dong!" ucap saya. Lalu, pemuda ini berdiri dengan wajah masamnya. Dalam hati saya cukup bergumam, "Laki-laki, muda, kok gini?".

       Sepanjang perjalan saya terus berpikir tentang sikap si anak muda tersebut. Mungkin ini salah satu bukti mental bangsa kita yang semakin individualistis. Tak pandang bulu, ketika kepentingannya tak terusik, maka ia tak mau bereaksi. Tak berpikir hormat, yang penting kenyamanannya tidak terganggu. Lalu gumam saya berlanjut, "Kalo lu ngerasa bayar, bukan lu doang yang bayar! Gua juga bayar!". Mungkin inilah yang harus kita sadari bersama. Ada nilai-nilai yang harus tetap kita pegang meskipun zaman semakin berubah menjadi lebih modern. Anda tidak hidup sendiri bung! Anda hidup di masyarakat. Anda harus tetap menjadi mentalitas kolektif yang menjadi salah satu ciri mentalitas manusia dan masyarakat Indonesia (hasil matkul MMI). Buka mata dan lihatlah yang nyata! Buka hati dan lihatlah yang inti!

(Lakon Hidup)



       

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall