Sumber:bayubagaskara.wordpress.com |
Kali ini saya akan mencoba membahas soal Commuterline. Ada yang
belum tahu Commuterline? Ya, Commuterline adalah sebuah alat transportasi
massal yang memiliki nama lain KRL karena menggunakan tenaga listrik yang
sampai saat ini masih melayani rute Jabodetabek. Commuterline ini bisa juga
kita sebut sebagai salah satu jasa besar Pak Ignatius Jonan (menhub kabinet
kerja) meskipun tidak terlepas dari kontroversi (penggusuran) renovasi serta
regulasi stasiun. Akan tetapi, sampai saat ini sejauh pengalaman saya untuk
bertanya-tanya kepada kawan-kawan pengguna Commuterline, semua memiliki respon
positif terhadap perubahan ini. Bagaimana tidak, saya sendiri pun merasakan
bagaimana tidak nyamannya KRL sebelum era Commuterline ini. Luar biasa! Jika
sampai saat ini kita masih mengeluh dengan panas dan padatnya Commuterline,
mungkin kita harus sesekali bernostalgia mengingat bagaimana KRL ekonomi di
masa lampau. Bahkan, ibu saya pernah bercerita bahwa dulu beliau sempat naik
kereta bersama kambing di gerbong yang sama. *WTF!
Sekarang KRL sudah berubah menjadi jauh
lebih baik. Semua sudah seragam dengan satu nama, Commuterline. Sekarang setiap
pengguna KRL sudah bisa menikmati kereta dengan alat pendingin ruangan. Wah,
sangat luar biasa jika dibandingkan dengan zaman naik kereta bersama kambing
bukan? Namun di balik kenyamanan itu semua, kita perlu membahas lebih lanjut
tentang etika kita di dalam alat transportasi publik yang satu ini.
Untuk dapat menikmati perjalanan
menggunakan Commuterline ini tentunya tidak gratis. Kita perlu membayar sesuai
tarif yang telah ditetapkan sesuai dengan jarak perjalanan yang kita lalui.
Saya sendiri menilai tarif tersebut cukup adil dan terjangkau oleh masyarakat
luas. Meskipun demikian, saya pun yakin bahwasanya biaya yang dikeluarkan untuk
membangun Commuterline sampai seperti ini butuh dana yang sangat besar. Ketika
sudah membayar dengan tarif yang tersedia, apa yang kita(sebagai konsumen atau
pelanggan) harapkan? Ya, pastinya kontraprestasi bukan? Lalu bagaimana dengan kontraprestasi
tersebut?
Dalam membahas ini kita perlu mengenal
kontraprestasi terlebih dahulu. Dalam kamusbisnis.com kontraprestasi dijelaskan
bahwa Kontra prestasi
dalam kontrak adalah sesuatu yang harus diberikan oleh
satu pihak atas prestasi pihak yang lain. Biasanya kontra prestasi adalah uang
yang dibayarkan oleh satu pihak dan barang atau jasa yang diserahkan oleh pihak
lain. Pihak yang tidak melakukan kontra prestasi sesuai kesepakatan dikatakan
melakukan wanprestasi.
Kontraprestasi dalam konteks ini
jelas secara langsung didapatkan oleh konsumen. Sebagai konsumen Commuterline
tentunya kita memiliki hak untuk menjadi penumpang selama dan mendapatkan
pelayanan prima sebagai kontraprestasi dari biaya yang telah kita keluarkan.
Akan tetapi, terkadang kita perlu menyadari lebih lanjut bahwasanya pandangan
ini terkadang terlalu membuat kita merasa sangat harus menikmati pelayanan dan
fasilitas yang harus kita dapatkan. Dalam hal ini saya menspesifikasikannya
menjadi kesempatan untuk duduk.
Kesempatan untuk duduk? Mengapa? Ya, karena berawal dari pengalaman saya sebagai pengguna yang dalam seminggu hampir tidak pernah tidak menggunakan jasa transportasi publik ini saya menjadi berpikir betapa individualisnya sebagian dari kita yang merasa bahwa kontraprestasi tersebut harus utuh untuk kita nikmati. Seakan-akan menjadi sebuah kerugian besar jikalau kita tidak bisa duduk di kereta karena kita sudah membayar dengan tarif yang telah ditentukan.
Suatu siang ketika saya hendak melakukan perjalan dari Tanah Abang menuju Serpong, saya berdiri di hadapan seorang lelaki muda. Seperti biasanya kereta dari Tanah Abang menuju Serpong pastilah kereta yang cukup lama berhenti untuk isi muatan. Kemudian, beberapa lama berselang masuklah seorang nenek yang membawa barang cukup banyak. Sang nenek pun meminta kepada anak muda yang berada di hadapan tersebut untuk bertukar posisi agar si nenek dapat duduk. Panggilan pertama dan kedua sang nenek tidak dihiraukan oleh anak muda tersebut. Saya yang berada di hadapannya pun cukup tersulut melihat sikap lelaki muda ini. Akhirnya saya dengan nada yang cukup tinggi menegur lelaki muda tersebut dan meminta untuk memberikan duduk kepada nenek tersebut. "Mas, kasihan ini nenek-nenek!Bangun dong!" ucap saya. Lalu, pemuda ini berdiri dengan wajah masamnya. Dalam hati saya cukup bergumam, "Laki-laki, muda, kok gini?".
Sepanjang perjalan saya terus berpikir tentang sikap si anak muda tersebut. Mungkin ini salah satu bukti mental bangsa kita yang semakin individualistis. Tak pandang bulu, ketika kepentingannya tak terusik, maka ia tak mau bereaksi. Tak berpikir hormat, yang penting kenyamanannya tidak terganggu. Lalu gumam saya berlanjut, "Kalo lu ngerasa bayar, bukan lu doang yang bayar! Gua juga bayar!". Mungkin inilah yang harus kita sadari bersama. Ada nilai-nilai yang harus tetap kita pegang meskipun zaman semakin berubah menjadi lebih modern. Anda tidak hidup sendiri bung! Anda hidup di masyarakat. Anda harus tetap menjadi mentalitas kolektif yang menjadi salah satu ciri mentalitas manusia dan masyarakat Indonesia (hasil matkul MMI). Buka mata dan lihatlah yang nyata! Buka hati dan lihatlah yang inti!
(Lakon Hidup)
Tidak ada komentar
Posting Komentar