Pada tanggal 20 Maret kemarin saat diadakannya Rapat Akbar UI di Salemba saya sempat berbincang-bincang sejenak dengan seorang aktivis dari GMP. Awalnya dia sedang berbincang-bincang dengan sekawanan mahasiswa berjaket kuning. Lalu saya tertarik untuk mendekat dan mendengarkan apa saja yang dikatakannya. Kebetulan saat itu saya tidak memakai jakun, sehingga saya tidak perlu panjang lebar menjelaskan asal-usul saya dari fakultas mana dan membawa tuntutan apa. Saya saat itu tidak mengaku sebagai mahasiswa UI. Sebab jika saya mengaku mungkin akan beda cerita. Saya mengaku dari universitas lain yang hanya ikut-ikutan saja hadir pada aksi hari itu.
Saya sengaja berbuat demikian agar dia bisa berbicara lebih banyak dan mengeluarkan jurus doktrin terbaiknya. Saya pun sengaja berlagak tidak tahu apa-apa tentang keislaman agar dia juga bisa bebas menjelaskan kepada saya tentang beragam hal yang ia ketahui soal keislaman dan politik. Dari sini saya dapat mengorek lebih banyak tentang garis pergerakannya dan doktrin yang diajarkan organisasinya.
Dia memang tidak menjelaskan secara langsung kepada saya tentang afiliasi organisasinya. Akan tetapi saya juga tidak buta tentang afiliasi organisasinya yang berada di bawah naungan HTI. Seperti PMII yang bernaung di bawah NU. Serupa dengan KAMMI yang berada di naungan PKS. Meskipun masih terlalu banyak aktivisnya yang malu-malu untuk mengakui afiliasi organisasinya saat popularitas partai/organisasi di atasnya sedang menurun.
Awal perbincangan kami adalah tentang kondisi di negeri ini yang dianggapnya kacau balau. Ia mengatakan bahwa ini semua adalah kegagalan sistem. Baginya demokrasi adalah sebuah kegagalan besar. Saat itu pula saya langsung teringat akan pernyataan kawannya dari GMP pula di forum diskusi publik tentang pemberantasan korupsi bersama Taufik Basari dan Bambang Widjojanto di FISIP beberapa hari sebelum aksi ini. Pemahaman yang serupa, tentang kegagalan demokrasi dalam menyejahterakan masyarakat kita. Demokrasi berasal dari barat dan dibuat oleh kaum kafir. Oleh karena itu demokrasi harus segera diganti dengan sistem yang terbaik baginya, yakni khilafah.
Dia menjelaskan betapa berbahanya ideologi lain selain ideologinya. Dia menganggap neo liberalisme hanya akan membelenggu kita. Neo-liberalisme adalah buatan kafir kapitalis yang tak sepantasnya untuk kita ikuti. Karena demokrasi merupakan bagian dari liberalisme maka tak selayaknya juga untuk kita ikuti. Karena ini adalah produk barat yang membawa kita pada westernisasi. Wah, saya tercengang mendengar penjelasannya. Dengan wajah penuh rasa ingin tahu, kagum, saya mengangguk-angguk. Saya pun melanjutkan pertanyaan saya soal sosialisme-komunisme. Ia berpendapat bahwasanya ini pun berbahaya sebab akan merusak akidah.
Setelah membahas hal-hal di atas saya pun bertanya tentang bagaimana sistem khilafah ini diterapkan di Indonesia mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural. Lalu ia kembali mengaitkannya dengan sejarah islam di Indonesia. Betapa terkejutnya saya setelah mendengar penjelasannya tentang sejarah yang bagi saya cukup abstrak. Sejarah diutak-atik menurut keyakinannya tanpa menjelaskan bukti-bukti yang benar-benar dapat menjelaskan dan membuat saya percaya.
Saya kembali berpikir ulang betapa kasihannya dia yang menjadi martir. Seperti seorang misionaris yang diutus untuk kepentingan organisasi. Namun sayangnya belum benar-benar dibekali. Saya sungguh menyayangkan jika haluan organisasi menutup matanya dari kajian mendalam dan objektif. Padahal ia terlihat memiliki semangat belajar dan kepedulian yang tinggi.
Sungguh saya menuliskan pengalaman ini tanpa maksut untuk menjatuhkan agama atau aliran apapun. Saya sendiri seorang muslim dan bukan seorang sekuler. Akan tetapi kita harus benar-benar selektif dalam memahami setiap doktrin. Bukan berarti saya tidak menghormati haluan pergerakannya. Namun menurut saya masalah revolusi yang mengganti sistem, dasar negara, dan lain-lain masih sangat perlu untuk dikaji mendalam. Perubahan sistem itu belum tentu membawa dampak dan memberikan jaminan selalu berdampak baik. Sebab bagi saya jika kita sandingkan antara Pancasila dan Islam saya rasa tidak ada nilai-nilai yang bersebrangan. Mengapa kita tidak benar-benar percaya dengan pancasila itu sendiri? Sepertinya kita pun harus benar-benar selektif dalam mencerna gagasan ini. Bukankah dokrin ini juga impor? Saya sendiri belum menemukan keterlibatan keterlibatan golongan ini dalam mengusir penjajah atau membangun dasar-dasar negeri ini. Sekali lagi, kita harus membuka mata. Bias budaya dan agama yang kita anggap benar bisa saja menutup mata kita dari objektifitas dalam berpikir.
-Lakon Hidup-
Tidak ada komentar
Posting Komentar