Ada Apa Dengan #20Maret?
Sebuah Tulisan
Mahasiswa Awam Minim Pengalaman dan Pengetahuan yang Mencoba Untuk Bergerak
Dengan Pemahaman
Beberapa hari
yang lalu, tepatnya hari Jumat tanggal 20 Maret 2015 saya berangkat ke kampus
UI Salemba. Saya datang untuk menonton sebuah acara yang diberi nama “Rapat
Akbar”. Sebuah acara yang saya rasa cukup menarik didengar ketika saya membaca
jarkom-jarkom yang mengangkat isu #20Maret. Betapa luar biasa gaungnya acara
yang katanya diinisiasi oleh BEM UI bersama ILUNI UI ini. Sampai-sampai banyak
orang yang mengganti DP Line mereka menjadi tulisan #20Maret.
Saya pun
penasaran dan ingin sekali untuk hadir dalam aksi ini. Namun, sebagai mahasiswa
awam dan miskin pengetahuan saya tidak mau mengenakan Jaket kuning, apalagi bermakara
jingga. Sebab saya tidak ingin bergerak menuntut hal-hal yang belum saya pahami
dengan baik sebab minimnya kajian. Saya merasa saya manusia yang diberi akal,
walaupun minim pengetahuan dan pengalaman setidaknya saya bukan robot bernyawa
apalagi boneka. Oleh karena itu saya memutuskan untuk hadir di sana tanpa
membawa nama institusi apapun.
Saya ingat
sekali beberapa minggu yang lalu banyak mendapat jarkom-jarkom yang
mempertanyakan kemana saat ini. Di tengah kekacaubalauan negara mahasiswa
terkesan apatis, tidak peduli kondisi rakyat saat ini. Ada jarkom-jarkom yang
berbentuk puisi, gambar, dll. Semua itu seakan menggambarkan kondisi negara
yang sedang sangat krisis, kacau balau, dan menuntut mahasiswa untuk
benar-benar turun ke jalan.
Beranjak dari sana,
rupa-rupanya kampus perjuangan pun tidak ketinggalan responsif dalam menanggapi
isu-isu krisisnya negara. UI mencoba untuk tanggap akan persoalan-persoalan
yang terjadi dengan merencanakan aksi, yang ditetapkan pada tanggal 20 Marert. Dalam
aksi #20Maret ini BEM se-UI rupanya membawa tuntutan Catur Cita UI setelah
sebelumnya beberapa kali diadakan pertemuan antara BEM se-UI yang diwakilkan
oleh Kastrat BEM se-UI dalam forum CEM Sospolnet. Catur cita UI berisikan
keempat tuntutan kepada pemerintah yang berisi : (1) Perkuat KPK, (2) Reformasi
Polri dan Lembaga Peradilan, (3) Bersihkan Demokrasi Dari Oligarki, (4)
Turunkan Harga, Berantas Mafia.
Dari keempat
poin catur cita UI tersebut, adakah kejanggalan yang anda rasakan? Saya kira
kalau anda amati dengan teliti maka anda maka Catur Cita ini mungkin terlalu
prematur untuk menjadi sebuah tuntutan. Mengapa demikian? Sebab saya sebagai
mahasiswa awam merasa tuntutan-tuntutan yang ada belum dikaji secara strategis.
Tidak strategis bagaimana? Saya sempat hadir dalam beberapa kali pertemuan CEM
Sospolnet. Ketika pertemuan ini diadakan
kajian mengenai empat poin tuntutan ini bena-benar belum tuntas. Pada awalnya
poin yang dibahas adalah 2 poin pertama. Saya bersama kawan-kawan dari FISIP
tentunya belum bisa menerima dengan mudah kedua tuntutan yang belum dikaji
secara tuntas ini, terutama mengenai reformasi Polri dan Lembaga Peradilan.
Mengenai reformasi ini harus benar-benar dikaji secara tuntas, sebab kata
reformasi sesungguhnya tidak semudah itu untuk diucapkan dari perspektif kami
Sosial Politik.
Lalu muncul
pertanyaan, mengapa harus #20Maret? Ternyata tidak ada hal yang special di
balik tanggal ini. Setelah CEM Sospolnet yang menghadirkan narasumber dari KPK
dan ILUNI UI rupa-rupanya #20Maret ini hanya karena menyesuaikan dengan jadwal
ILUNI UI yang bisa hadir di tanggal ini. Jadi, sebetulnya saya rasa dalam
perspektif awam tidak ada yang spesial dari tanggal ini. Apalagi mengingat
eskalasi isu ini cukup menyita perhatian.
Selanjutnya dari
dua poin yang dibahas di atas muncul lagi dua poin tambahan, yaitu Bersihkan
Demokrasi dari Oligarki dan Turunkan harga berantas mafia. Sungguh kedua poin
ini menurut saya sebagai mahasiswa awam sangatlah blunder. Sebab kedua poin ini
lahir begitu saja tanpa ada proses dan kajian yang benar-benar strategis. Lebih
tepatnya kedua poin ini hanyalah memanfaatkan momentum setelah eskalasi
#20Maret ini cukup menyita perhatian. Maka dari itu, lahirlah apa yang kita
kenal dengan Catur Cita UI.
Meneliti lebih
jauh tentang kedua poin tambahan tersebut sebetulnya cukup mengenaskan. Sebab
saya sebagai mahasiswa awam yang berlatar belakang pendidikan sosial-politik
memandang kedua poin ini seharusnya tidak perlu dikeluarkan. Mengapa demikian?
Sebetulnya ketika kita membahas tentang demokrasi yang bersih dari oligarki
dalam perspektif sosial-politik tidak semudah kedengaran dan tuntutannya. Kita
harus mengerti betul apa sesungguhnya itu demokrasi, oligarki, dan bagaimana
mekanismenya. Sebab, yakinlah bahwasanya
mengganti kepala negara sekalipun tidak menjamin demokrasi itu bersih dari
oligarki. Mengapa saya berkata demikian? Sebab di luar sana saya sudah
mendengar desas-desus penggulingan presiden yang bagi saya masih terlalu dini.
Poin ke empat
pun saya rasa cukup blunder untuk dikeluarkan. Mengapa demikian? Saya mengamati
ini berdasarkan hukum permintaan dalam ilmu ekonomi. Sesungguhnya saat ini
Indonesia sedang mengalami deflasi.Artinya hal tersebut sudah menunjukkan
adanya sedikit perbaikan kondisi ekonomi. Akan tetapi ini akan menjadi
boomerang ketika poin keempat ini dikeluarkan. Ketika poin empat menyatakan
“Turunkan harga, berantas Mafia” maka hal ini memungkinkan masyarakat akan
berpikir jikalau harga-harga sedang dan terus-menerus naik. Hal ini akan
mendorong masyarakat untuk membeli barang lebih banyak dan menimbun
barang-barang kebutuhan untuk mengantisipasi kenaikan harga yang lebih tinggi
lagi nantinya. Kondisi ini dalam ilmu ekonomi akan menyebabkan permintaan di
pasar naik sehingga harganya pun naik. Hasilnya, deflasi yang sedang terjadi
pun bisa terhambat dan sebaliknya justru menyebabkan inflasi.
Selain masalah
kurangnya kajian sebelum aksi ini saya juga ingin menyatakan kekecewaan saya
tentang kondisi yang terjadi di lingkungan internal kampus. Saya meihat adanya
kesan pelabelan negatif terhadap fakultas-fakultas yang tidak turun aksi
#20Maret ini. Padahal saya sangat yakin bahwasanya mereka yang tidak turun pada
aksi #20Maret ini memiliki alasan-alasan yang harus kita cermati. Jadi, bukan
sekedar malas-malasan ataupun anti pemberantasan korupsi. Apalagi jika kita
kaitkan dengan basis keilmuan.
Apa yang terjadi
di #20Maret pun saya rasa biasa-biasa saja. Hampir sama seperti aksi-aksi yang
dilakukan mahasiswa pada umumnya. Justru terlalu hiperbolis menurut saya ketika
memberi nama Rapat Akbar pada aksi ini. Aksi ini tidak memperlihatkan
gentingnya kondisi seperti Catur Cita UI itu sendiri. Saya justru melihat aksi
ini seperti senang-senang sesaat. Merasa seperti pahlawan setelah berhasil
meneriakkan kata-kata kebenaran. Saya rasa bukan ini yang kita cari, kita perlu
bergerak dengan pemahaman. Sebab kita bukan robot bernyawa.
Justru saya
ingin bertanya, apa setelah #20Maret ini? Apakah hanya akan menjadi euforia sesaat
lalu seperti angin lalu? Ataukah hanya sekedar menunjukkan eksistensi responsive
terhadap permasalahan-permasalahan di negeri ini? Saya berharap tidak demikian.
Saya juga berharap agar idealisme mahasiswa tetaplah murni dari intervensi
politis sesuai tuntutan akademis. Mahasiswa tidak boleh menjadi alat tunggangan
pihak-pihak berkepentingan dan tendensi negatif.
(Lakon Hidup)
Tidak ada komentar
Posting Komentar