Di sudut malam di tepi jalan
Aku melihat seorang bocah murung sendirian
Matanya sayu, wajahnya yang sedu sedan
Aku pun penasaran dan mengikuti langkahnya berjalan
Ternyata Ia seorang seniman
Panggungnya adalah jalanan
Dalam pencahayaan temaram lampu-lampu jalan
Penontonnya adalah lalu lalang manusia yang berseliweran
Dan penari latar pentasnya adalah lalu lalang kendaraan
Kulihat wajahnya muram seperti habis dihantam
Sepertinya para penonton merasa pentasnya pentas murahan
Nyanyiannya tentang kenyataan seperti mengusik mereka yang sedang asik bermesraan
Teriakaannya meminta keadilan ibarat bising
Di antara nada-nada romansa yang sedang syahdu didawaikan
Mungkin bocah ini lelah
Lalu ia mulai mencari tempat singgah
Kuikuti ia yang berjalan seakan tak berarah
Dan si bocah tetiba sumringah
Dari kejauhan ia melihat sesosok wanita yang ia panggil “mamah”
Wanita paruh baya yang dipeluk resah
Dalam gerah mengipas-ngipas sambil memberi arah
Sebahagian orang yang lewat tersenyum kecut lalu meludah
Sebahagian girah dengan senyum iblis sumringah
Sang bocah menghampiri berlari- lari kecil di pinggir jalan dari kejauhan
Memeluk erat tubuh ibunya yang wangi bedak dan deodoran
Dengan mesra, seakan lama tak jumpa dalam pelukan
Mungkin ia mengerti, sang bunda adalah pahlawan
Walau harus dijilat, dan dihisap lidah berahi tuan-tuan bajingan
Kembali ia berjalan
Masuk keluar tenda-tenda pinngir jalan
Tak banyak harapan bahkan mungkin hanya serpihan keinginan
Mengais sisa belas kasihan dalam recehan
Berharap hari esok masih bisa makan
Dalam pengamatan, tak sabar pula ini kukisahkan
Kunamai kisahku ini “Nada sumbang si anak jalang”
Yang tak bertemu siang dan tak mengenal riang
Dalam doaku, semoga doanya menembus langit dan didengar oleh Sang Hyang
Dalam pengamatan, Bulan Empat Dini Hari -Lakon Hidup
Tidak ada komentar
Posting Komentar