Ini adalah sebuah tulisan yang sangat melibatkan segi
emosional saya. Ini semua tentang apa yang sedang mengubah banyak hal dalam
perjalanan hidup saya, setidaknya 6 bulan belakangan ini. Apa kira-kira yang
terlintas di benak anda ketika saya mengatakan “merawat bayi singa”? Apakah
saya pecinta satwa, penjahat lingkungan, atau mungkin orang gila yang siap
mendermakan nyawa di masa depannya? Ah, maaf bukan itu maksud saya.
Jujur, ini adalah sebuah hal yang tidak pernah saya duga
sebelumnya. Atau, kalaupun menduga bukan begini jadinya. Ya, saya Ali Zainal
Abidin, saat ini dikenal sebagai ketua/koordinator(sudah berubah) SIAGA(Singa-singa
Pergerakan) FISIP UI tidak pernah berpikir tentang ini sejak zaman SMA. Gerakan
dan pergerakan? Sungguh, saya dulu sangat buram melihatnya. Saya dulu sangat skeptis
terhadap kata-kata yang sangat identik dengan aksi massa dan demonstrasi itu. Dalam
bayangan saya, ketika menjadi anak kuliahan di UI yang saya lakukan hanyalah
dua, belajar dan bergiat di alam. Namun, semua berubah ketika saya mendaftarkan
diri sebagai bagian dari Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP UI 2015
dan mengikuti SIAGA CAMP.
Saya memang orang yang sangat tertarik dengan isu-isu sosial
politik. Saya bisa dibilang cukup anomali mengingat jurusan saya ada untuk
mencetak pebisnis, bukan orang pergerakan atau yang kaum sebelah biasa bilang “aktivis”.
Bahkan, ketika saya bertemu dengan orang baru orang lebih sering menebak saya
sebagai anak politik ketimbang anak administrasi niaga atau bisnis. Ah, apakah
saya salah jurusan? Tidak! Memang di sini maksud dan tujuan saya. Dulu saya
pernah disarankan oleh guru sejarah di sekolah untuk masuk jurusan politik atau
hukum. Tetapi di sana saya menjawab dengan jawaban yang mungkin terkesan bullshit ini, “Wah pak, kalo untuk
membangun negara saya lebih prefer lewat jalur ekonomi.” Memang terkesan
bullshit, tapi mungkin waktu itu otak saya sudah terisi dengan idealisme untuk
independen. Saya merasa bahwa saya perlu mengerti bisnis untuk dapat memenuhi
kebutuhan wajar keluarga agar kelak ketika saya terjun ke dunia politik idealisme
saya tidak goyah karena tergiur oleh rupiah. Saya setidaknya sampai saat ini tidak
mau idealisme saya dibeli, apalagi dijajah.
Mari kita kembali ke kastrat dan SIAGA. Jadi, tentang
kastrat dan SIAGA yang orang-orang cap sebagai wadah pergerakan ini dulu tidak
langsung menarik perhatian saya sebagai maba polos. Saya rasa dulu branding
SIAGA cukup bagus saat perkenalan di PSAK(Ospek Fakultas di FISIP). Namun bagi
saya bukan itu yang saya cari. Saya hanya ingin kuliah dan naik gunung. Saya
tidak suka demo. Bahkan saya lebih tertarik dengan Gerakan UI Mengajar yang
bagi saya waktu itu lebih dekat dalam bayangan saya sebab sudah punya basic
pengetahuan tentang Gerakan Indonesia Mengajar. Makanya saya sangat giat untuk
mengikuti seleksinya sampai menjadi salah satu dari 36 pengajar terpilih.
Namun, karena ingin mencoba-coba dan sudah terlanjur makan banyak buku yang
bertema sejarah, politik, dan pergerakan pasca GUIM usai saya pun merapat ke
Kastrat BEM FISIP meskipun sebelumnya saya sudah dapat tawaran untuk mengisi
posisi di salah satu lembaga di FISIP secara close-rec.
Sebagai anak Kastrat yang masih sangat buram melihat SIAGA,
yang dulu sama sekali tidak menarik perhatian saya, sejujurnya saya sudah termakan
“tipu-tpu” teman saya yang menyudutkan peran baru saya di Kastrat. Ya, terpaksa
saya harus ikut sebuah acara yang namanya SIAGA CAMP dengan persiapan yang seminim-minimnya,
sungguh, seminimnya dengan pengetahuan ala kadarnya. Saya hanya berusaha fun di
tengah orang-orang yang tidak semuanya saya kenal itu. “Ya sudahlah, apa boleh
buat. Toh hanya tiga hari. “ Pikir saya saat berangkat itu.
Sejauh acara berjalan yang berlangsung di kaki gunung salak
itu saya cukup menikmati. Diskusi-diskusi yang cukup menarik, games, dan
obrolan-obrolan hangat membuat saya merasa nyaman. Namun semua berubah ketika
malam kedua datang. Ya, sesi jurit malam yang cukup mengusik kemalasan saya.
Apa boleh buat, jalani saja. Pada jurit malam itu saya bertemu dengan
wajah-wajah yang asing. Saya bingung harus berbuat dan bertindak bagaimana di
setiap pos-posnya. Namun, sesi yang paling teringat bagi saya adalah ketika
mata saya ditutup dan diberikan pertanyaan-pertanyaan yang saya jawab seadanya
oleh orang yang baru saya kenali setelah acar ini usai, Bang Affin Bahtiar dan
Bang Mizan. Berbicara sedikit tentang
pergerakan, komitmen, dan yang paling mengusik adalah tentang “koordinator
SIAGA”. Jadi, saat mata saya tertutup dari kejauhan saya mendengar teriakan
beberapa teman saya yang menyatakan dukungan kepada saya untuk menjadi
koordinator SIAGA selanjutnya. Saya ditanya, “kamu dengar suara itu? Itu kepercayaan
teman kamu. Jangan kamu sia-siakan.” Saat itu saya hanya bergumam di dalam
hati, “Wah, ada yang ngga beres nih!”
Rupanya malam yang cukup panjang itu berproses sampai
matahari terbit. Tujuan akhirnya jelas, apalagi kalau bukan pemilihan
koordinator SIAGA yang baru. Bah, mana mau saya ikut-ikut mencalonkan diri.
Meskipun saya dulu pernah jadi ketua MPS, sejujurnya saya tidak suka untuk
mengajukan diri. Meskipun saya mendengar nama saya beberapa kali disebut, namun
itu tetap tidak mendorong saya untuk mengajukan diri. Ya, proses pemilihan pun
berjalan. Beberapa orang maju ke depan dan kami yang di belakang disuruh
mengajukan pertanyaan. Setelah prosesi pertanyaan terbuka berlangsung, beberapa
kami yang di belakang ini malah disuruh maju ke depan. Dan, dari proses itu
kami disuruh menyisakan dua untuk dipilih. Sungguh dulu saya membenci proses
seperti ini. Karena semua sama-sama ragu, saya pun mulai melawan rasa benci itu
dengan pertimbangan kawan-kawan yang menyatakan dukungan saat mata tertutup. Akhirnya
prosesi pemilihan sampai menyisakan dua orang dan seperti biasanya, proses
meyakinkan dan pertanyaan bebas. Sungguh, ini adalah hal yang selalu saya
hindari sejak dulu. Dan, setelah proses itu usai, saya harus menerima kenyataan
bahwa saya terpilih dan dilantik menjadi koordinator SIAGA FISIP UI 2015. Ya
sudahlah, nasi sudah menjadi bubur.
Apakah yang saya lakukan setelah terpilih menjadi
koordinator SIAGA? Bingung. Sejujurnya saya sangat bingung apa yang harus saya
lakukan setelah terpilih itu. Jelas saja, siapa saya sebelum SIAGA CAMP itu?
Apa yang saya tahu tentang SIAGA sebelum itu? Tertarik bergabung saja tidak,
apalagi mengerti tentangnya. Saya berkeliling mencari senior-senior yang bisa
menjelaskan tentang SIAGA kepada saya. Jelas, pastinya mendapatkan jawaban yang
berbeda-beda. Saya mencoba merangkul kawan-kawan, tapi saya tidak tahu kawan
yang mana yang harus dirangkul. Apakah SIAGA sampai setidakjelas itu? Walaupun saya
tetap berusaha dan telah membuat struktur, namun tetap saja dalam hati saya dirundung
bingung. Akhirnya, datanglah sinyal lampu kuning dari senior-senior yang bagi
saya asing itu dari grup line. “Wah, mampus gue!” gumam saya dalam hati.
Sungguh, saya bingung harus bersikap bagaimana. Akhirnya dari kerusuhan grup
line itu saya dipanggil ke kamar gadang namanya. Di sana saya diajak ngobrol
tentang SIAGA. Dari situlah saya mulai menyederhanakan wacana-wacana dalam
pikiran saya menjadi lebih konkret. Mulailah diskusi-diskusi dan kegiatan
SIAGA.
Dalam perjalanan beberapa bulan menjadi koordinator SIAGA,
yang saya rasakan hanyalah gelisah. Bingung mau bagaimana, mau dibawa kemana
dan dibuat seperti apa yang ujungnya hanya membuat saya merasa ingin cepat-cpat
mengakhiri masa jabatan ini. Pada akhirnya, saya mengambil sebuah keputusan
besar dari hal yang keci terinspirasi dari mata kuliah manajemen untuk
melakukan manajemen perubahan. Saya rasa, saya akan sangat rugi dan berdosa jika saya sendiri stagnan begini-begini saja tanpa membuat perubahan apa-apa. Saya akan membawa dan
berkomitmen untuk melakukan #Revitalisasiaga! Mari kita mulai bung! Kita mulai
semuanya dari awal, dari nol!
Saya memulai semuanya dengan mengidentifikasi
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh SIAGA dari tahun ke tahun dan
permasalahan yang saya hadapi saat ini. Setelah list masalah terkumpul saya
juga mencoba untuk membuat analisis solutif untuk mulai memecahkan
masalah-masalah itu. Dan di antara itu semua, saya simpulkan maslah itamanya
terletak pada ketidakjelasan sistem. Ya, SIAGA butuh sistem yang sustainable. Akhirnya,
kepala saya selalu dipenuhi oleh langkah-langkah #Revitalisasiaga itu walaupun
pekerjaan sebagai anak kastrat tidak bisa saya tinggalkan begitu saja.
Sekarang, saya kemana-mana mulai membawa slide presentasi saya untuk bisa saya
sosialisasikan kepada teman-teman saya tentang SIAGA yang mau kita bawa kemana.
Dan tentunya konsep-konsep ini tidak berjalan semudah yang dibayangkan. Oleh
karena itu sangat butuh ekstra kerja keras dan ekstra kesabaran.
Semester 2 pun usai dan saya masih punya waktu sekian bulan
sebelum masuk dan memulai lembar baru bagi SIAGA. Sebagai anak kastrat, saya
harus merelakan waktu liburan untuk hadir dalam gerakan yang tak kenal libur.
Dan momentum liburan ini kami manfaatkan untuk memperbaiki berbagai macam
aspek, termasuk SIAGA. Saya mencoba memulai untuk melakukan pendekatan personal
dengan “sok curhat” kepada rekan-rekan saya di SIAGA yang saya anggap masih
bisa diajak untuk bergabung dan bergerak
bersama. Saya pun mendapatkan banyak masukan dan pandangan dari kawan-kawan
saya itu. Dari situ kondisi dan semangat saya semakin membaik. Saya semakin
optimis bahwasanya SIAGA bisa menjadi lebih baik nantinya.
Dalam satu malam, saya bersama Ahmad(Kadep Kastrat), Dhuha(Wakadep
Kastrat), dan Kodel(Ketua BEM FISIP) berkumpul untuk membahas dan mengerjakan
hal-hal terkait SIAGA dan kastrat semalam suntuk. Sebuah ide cetusan dari Dhuha
yang kami sempurnakan bersama mungkin menjadi langkah yang sangat tepat. Kami
kembali memulainya dengan “Verifikasi Keanggotaan SIAGA FISIP UI”. Ya, jelas
saja ini perlu. Bukan berarti mendiskreditkan mereka yang sudah berada di
dalamnya, namun kejelasan status anggota dan SDM untuk bergerak itu sangat
perlu. Apalagi dalam salah satu poin #Revitalisasiaga saya ingin membuat
restrukturisasi. Cukup kontroversi sepertinya, namun ternyata ini sangat ampuh
jika melihat hasilnya saat ini.
Setelah proses verifikasi ini usai, kami pun beberapa kali
melakukan konsolidasi. Saya pun mencoba untuk mengkongkretkan wacana-wacana
dalam kepala menjadi nyata. Terbentuklah struktur yang terdiri dengan tim-tim
di dalamnya. Muncullah ide-ide untuk membuat kegiatan-kegiatannya, timeline
kegiatan, dan konsep-konsep lainnya. Saya pun semakin optimis bahwasanya SIAGA
bisa kembali menjadi komunitas yang bermanfaat bagi FISIP, UI, dan masyarakat
secara luas. Saya percaya bahwasanya kawan-kawan saya disini punya komitmen dan
kemauan yang keras untuk melakukan itu semua.
“Merawat Bayi Singa”! Inilah frase yang saya gunakan untuk
menggambarkan apa yang sedang saya lakukan saat ini karena saya tidak akrab
dengan istilah reborn meskipun substansinya sama. SIAGA yang kita bawa dengan
revitalisasi ini perlu hidup dengan sistem yang sustainable sehingga dapat
diwariskan ke depannya. Kita perlu membangun sistem terkait pola bergerak,
kaderisasi, keuangan, branding, dll. Dan, hal yang saya pelajari dari semuanya
ialah dalam melakukannya butuh semangat, kesabaran, dan cinta. Semua butuh
waktu dan jika telah sampai pada waktunya baru akan kita rasakan nikmatnya!
Semangat kawan singa-singa pergerakan! Tetaplah untuk berpikir cerdas, dan
bersikap tegas!
Ali Zainal Abidin
Tidak ada komentar
Posting Komentar