Jumat, 25 September 2015

“Merawat Bayi Singa”



Ini adalah sebuah tulisan yang sangat melibatkan segi emosional saya. Ini semua tentang apa yang sedang mengubah banyak hal dalam perjalanan hidup saya, setidaknya 6 bulan belakangan ini. Apa kira-kira yang terlintas di benak anda ketika saya mengatakan “merawat bayi singa”? Apakah saya pecinta satwa, penjahat lingkungan, atau mungkin orang gila yang siap mendermakan nyawa di masa depannya? Ah, maaf bukan itu maksud saya.

Jujur, ini adalah sebuah hal yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Atau, kalaupun menduga bukan begini jadinya. Ya, saya Ali Zainal Abidin, saat ini dikenal sebagai ketua/koordinator(sudah berubah) SIAGA(Singa-singa Pergerakan) FISIP UI tidak pernah berpikir tentang ini sejak zaman SMA. Gerakan dan pergerakan? Sungguh, saya dulu sangat buram melihatnya. Saya dulu sangat skeptis terhadap kata-kata yang sangat identik dengan aksi massa dan demonstrasi itu. Dalam bayangan saya, ketika menjadi anak kuliahan di UI yang saya lakukan hanyalah dua, belajar dan bergiat di alam. Namun, semua berubah ketika saya mendaftarkan diri sebagai bagian dari Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP UI 2015 dan mengikuti SIAGA CAMP.

Saya memang orang yang sangat tertarik dengan isu-isu sosial politik. Saya bisa dibilang cukup anomali mengingat jurusan saya ada untuk mencetak pebisnis, bukan orang pergerakan atau yang kaum sebelah biasa bilang “aktivis”. Bahkan, ketika saya bertemu dengan orang baru orang lebih sering menebak saya sebagai anak politik ketimbang anak administrasi niaga atau bisnis. Ah, apakah saya salah jurusan? Tidak! Memang di sini maksud dan tujuan saya. Dulu saya pernah disarankan oleh guru sejarah di sekolah untuk masuk jurusan politik atau hukum. Tetapi di sana saya menjawab dengan jawaban yang mungkin  terkesan bullshit ini, “Wah pak, kalo untuk membangun negara saya lebih prefer lewat jalur ekonomi.” Memang terkesan bullshit, tapi mungkin waktu itu otak saya sudah terisi dengan idealisme untuk independen. Saya merasa bahwa saya perlu mengerti bisnis untuk dapat memenuhi kebutuhan wajar keluarga agar kelak ketika saya terjun ke dunia politik idealisme saya tidak goyah karena tergiur oleh rupiah. Saya setidaknya sampai saat ini tidak mau idealisme saya dibeli, apalagi dijajah.

Mari kita kembali ke kastrat dan SIAGA. Jadi, tentang kastrat dan SIAGA yang orang-orang cap sebagai wadah pergerakan ini dulu tidak langsung menarik perhatian saya sebagai maba polos. Saya rasa dulu branding SIAGA cukup bagus saat perkenalan di PSAK(Ospek Fakultas di FISIP). Namun bagi saya bukan itu yang saya cari. Saya hanya ingin kuliah dan naik gunung. Saya tidak suka demo. Bahkan saya lebih tertarik dengan Gerakan UI Mengajar yang bagi saya waktu itu lebih dekat dalam bayangan saya sebab sudah punya basic pengetahuan tentang Gerakan Indonesia Mengajar. Makanya saya sangat giat untuk mengikuti seleksinya sampai menjadi salah satu dari 36 pengajar terpilih. Namun, karena ingin mencoba-coba dan sudah terlanjur makan banyak buku yang bertema sejarah, politik, dan pergerakan pasca GUIM usai saya pun merapat ke Kastrat BEM FISIP meskipun sebelumnya saya sudah dapat tawaran untuk mengisi posisi di salah satu lembaga di FISIP secara close-rec.

Sebagai anak Kastrat yang masih sangat buram melihat SIAGA, yang dulu sama sekali tidak menarik perhatian saya, sejujurnya saya sudah termakan “tipu-tpu” teman saya yang menyudutkan peran baru saya di Kastrat. Ya, terpaksa saya harus ikut sebuah acara yang namanya SIAGA CAMP  dengan persiapan yang seminim-minimnya, sungguh, seminimnya dengan pengetahuan ala kadarnya. Saya hanya berusaha fun di tengah orang-orang yang tidak semuanya saya kenal itu. “Ya sudahlah, apa boleh buat. Toh hanya tiga hari. “ Pikir saya saat berangkat itu.

Sejauh acara berjalan yang berlangsung di kaki gunung salak itu saya cukup menikmati. Diskusi-diskusi yang cukup menarik, games, dan obrolan-obrolan hangat membuat saya merasa nyaman. Namun semua berubah ketika malam kedua datang. Ya, sesi jurit malam yang cukup mengusik kemalasan saya. Apa boleh buat, jalani saja. Pada jurit malam itu saya bertemu dengan wajah-wajah yang asing. Saya bingung harus berbuat dan bertindak bagaimana di setiap pos-posnya. Namun, sesi yang paling teringat bagi saya adalah ketika mata saya ditutup dan diberikan pertanyaan-pertanyaan yang saya jawab seadanya oleh orang yang baru saya kenali setelah acar ini usai, Bang Affin Bahtiar dan Bang Mizan.  Berbicara sedikit tentang pergerakan, komitmen, dan yang paling mengusik adalah tentang “koordinator SIAGA”. Jadi, saat mata saya tertutup dari kejauhan saya mendengar teriakan beberapa teman saya yang menyatakan dukungan kepada saya untuk menjadi koordinator SIAGA selanjutnya. Saya ditanya, “kamu dengar suara itu? Itu kepercayaan teman kamu. Jangan kamu sia-siakan.” Saat itu saya hanya bergumam di dalam hati, “Wah, ada yang ngga beres nih!”

Rupanya malam yang cukup panjang itu berproses sampai matahari terbit. Tujuan akhirnya jelas, apalagi kalau bukan pemilihan koordinator SIAGA yang baru. Bah, mana mau saya ikut-ikut mencalonkan diri. Meskipun saya dulu pernah jadi ketua MPS, sejujurnya saya tidak suka untuk mengajukan diri. Meskipun saya mendengar nama saya beberapa kali disebut, namun itu tetap tidak mendorong saya untuk mengajukan diri. Ya, proses pemilihan pun berjalan. Beberapa orang maju ke depan dan kami yang di belakang disuruh mengajukan pertanyaan. Setelah prosesi pertanyaan terbuka berlangsung, beberapa kami yang di belakang ini malah disuruh maju ke depan. Dan, dari proses itu kami disuruh menyisakan dua untuk dipilih. Sungguh dulu saya membenci proses seperti ini. Karena semua sama-sama ragu, saya pun mulai melawan rasa benci itu dengan pertimbangan kawan-kawan yang menyatakan dukungan saat mata tertutup. Akhirnya prosesi pemilihan sampai menyisakan dua orang dan seperti biasanya, proses meyakinkan dan pertanyaan bebas. Sungguh, ini adalah hal yang selalu saya hindari sejak dulu. Dan, setelah proses itu usai, saya harus menerima kenyataan bahwa saya terpilih dan dilantik menjadi koordinator SIAGA FISIP UI 2015. Ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur.

Apakah yang saya lakukan setelah terpilih menjadi koordinator SIAGA? Bingung. Sejujurnya saya sangat bingung apa yang harus saya lakukan setelah terpilih itu. Jelas saja, siapa saya sebelum SIAGA CAMP itu? Apa yang saya tahu tentang SIAGA sebelum itu? Tertarik bergabung saja tidak, apalagi mengerti tentangnya. Saya berkeliling mencari senior-senior yang bisa menjelaskan tentang SIAGA kepada saya. Jelas, pastinya mendapatkan jawaban yang berbeda-beda. Saya mencoba merangkul kawan-kawan, tapi saya tidak tahu kawan yang mana yang harus dirangkul. Apakah SIAGA sampai setidakjelas itu? Walaupun saya tetap berusaha dan telah membuat struktur, namun tetap saja dalam hati saya dirundung bingung. Akhirnya, datanglah sinyal lampu kuning dari senior-senior yang bagi saya asing itu dari grup line. “Wah, mampus gue!” gumam saya dalam hati. Sungguh, saya bingung harus bersikap bagaimana. Akhirnya dari kerusuhan grup line itu saya dipanggil ke kamar gadang namanya. Di sana saya diajak ngobrol tentang SIAGA. Dari situlah saya mulai menyederhanakan wacana-wacana dalam pikiran saya menjadi lebih konkret. Mulailah diskusi-diskusi dan kegiatan SIAGA.

Dalam perjalanan beberapa bulan menjadi koordinator SIAGA, yang saya rasakan hanyalah gelisah. Bingung mau bagaimana, mau dibawa kemana dan dibuat seperti apa yang ujungnya hanya membuat saya merasa ingin cepat-cpat mengakhiri masa jabatan ini. Pada akhirnya, saya mengambil sebuah keputusan besar dari hal yang keci terinspirasi dari mata kuliah manajemen untuk melakukan manajemen perubahan. Saya rasa, saya akan sangat rugi dan berdosa jika saya sendiri stagnan begini-begini saja tanpa membuat perubahan apa-apa. Saya akan membawa dan berkomitmen untuk melakukan #Revitalisasiaga! Mari kita mulai bung! Kita mulai semuanya dari awal, dari nol!

Saya memulai semuanya dengan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh SIAGA dari tahun ke tahun dan permasalahan yang saya hadapi saat ini. Setelah list masalah terkumpul saya juga mencoba untuk membuat analisis solutif untuk mulai memecahkan masalah-masalah itu. Dan di antara itu semua, saya simpulkan maslah itamanya terletak pada ketidakjelasan sistem. Ya, SIAGA butuh sistem yang sustainable. Akhirnya, kepala saya selalu dipenuhi oleh langkah-langkah #Revitalisasiaga itu walaupun pekerjaan sebagai anak kastrat tidak bisa saya tinggalkan begitu saja. Sekarang, saya kemana-mana mulai membawa slide presentasi saya untuk bisa saya sosialisasikan kepada teman-teman saya tentang SIAGA yang mau kita bawa kemana. Dan tentunya konsep-konsep ini tidak berjalan semudah yang dibayangkan. Oleh karena itu sangat butuh ekstra kerja keras dan ekstra kesabaran.

Semester 2 pun usai dan saya masih punya waktu sekian bulan sebelum masuk dan memulai lembar baru bagi SIAGA. Sebagai anak kastrat, saya harus merelakan waktu liburan untuk hadir dalam gerakan yang tak kenal libur. Dan momentum liburan ini kami manfaatkan untuk memperbaiki berbagai macam aspek, termasuk SIAGA. Saya mencoba memulai untuk melakukan pendekatan personal dengan “sok curhat” kepada rekan-rekan saya di SIAGA yang saya anggap masih bisa diajak untuk bergabung dan  bergerak bersama. Saya pun mendapatkan banyak masukan dan pandangan dari kawan-kawan saya itu. Dari situ kondisi dan semangat saya semakin membaik. Saya semakin optimis bahwasanya SIAGA bisa menjadi lebih baik nantinya.

Dalam satu malam, saya bersama Ahmad(Kadep Kastrat), Dhuha(Wakadep Kastrat), dan Kodel(Ketua BEM FISIP) berkumpul untuk membahas dan mengerjakan hal-hal terkait SIAGA dan kastrat semalam suntuk. Sebuah ide cetusan dari Dhuha yang kami sempurnakan bersama mungkin menjadi langkah yang sangat tepat. Kami kembali memulainya dengan “Verifikasi Keanggotaan SIAGA FISIP UI”. Ya, jelas saja ini perlu. Bukan berarti mendiskreditkan mereka yang sudah berada di dalamnya, namun kejelasan status anggota dan SDM untuk bergerak itu sangat perlu. Apalagi dalam salah satu poin #Revitalisasiaga saya ingin membuat restrukturisasi. Cukup kontroversi sepertinya, namun ternyata ini sangat ampuh jika melihat hasilnya saat ini.

Setelah proses verifikasi ini usai, kami pun beberapa kali melakukan konsolidasi. Saya pun mencoba untuk mengkongkretkan wacana-wacana dalam kepala menjadi nyata. Terbentuklah struktur yang terdiri dengan tim-tim di dalamnya. Muncullah ide-ide untuk membuat kegiatan-kegiatannya, timeline kegiatan, dan konsep-konsep lainnya. Saya pun semakin optimis bahwasanya SIAGA bisa kembali menjadi komunitas yang bermanfaat bagi FISIP, UI, dan masyarakat secara luas. Saya percaya bahwasanya kawan-kawan saya disini punya komitmen dan kemauan yang keras untuk melakukan itu semua.


“Merawat Bayi Singa”! Inilah frase yang saya gunakan untuk menggambarkan apa yang sedang saya lakukan saat ini karena saya tidak akrab dengan istilah reborn meskipun substansinya sama. SIAGA yang kita bawa dengan revitalisasi ini perlu hidup dengan sistem yang sustainable sehingga dapat diwariskan ke depannya. Kita perlu membangun sistem terkait pola bergerak, kaderisasi, keuangan, branding, dll. Dan, hal yang saya pelajari dari semuanya ialah dalam melakukannya butuh semangat, kesabaran, dan cinta. Semua butuh waktu dan jika telah sampai pada waktunya baru akan kita rasakan nikmatnya! Semangat kawan singa-singa pergerakan! Tetaplah untuk berpikir cerdas, dan bersikap tegas! 

Ali Zainal Abidin

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall