Akhir-akhir
ini saya sedang merenung soal frase “World Class” atau “International
Standard”. Berawal dari perjalanan yang saya lakukan, pada saat itu saya
beberapa kali menemukan plang yang bertuliskan “Sekolah Berstandar
Internasional”. Temuan ini membuat saya sedikit merenung di sepanjang jalan dan
sampailah di sini, di sebuah tulisan yang menjadi buah pikir(re:curhat) saya.
Sejak dulu, sejujurnya saya merasa sangat senang dapat
berkesempatan di sekolah yang bertaraf internasional. Sebelum kebijakan
penghapusan RSBI, saya masih menemukan kop surat sekolah saya bertuliskan
“MADRASAH ALIYAH PROGRAM KHUSUS BERTARAF INTERNASIONAL”. Saat pertama kali
melihat tulisan tersebut, sebagai seorang anak kampung saya merasa begitu
senangnya. Walaupun kebijakan RSBI sudah menghapuskan gelar tersebut, namun
jika kembali pada keadaan sebelumnya, tetap saja hakikatnya seperti tulisan
bercetak tebal tersebut. Dan sampai sekarang, tiada sedikitpun penyesalan saya
menjadi bagian daripadanya.
Selepas masa SMA, Alhamdulillah saya berkesempatan
melanjutkan pendidikan ke Universitas yang(katanya) World Class University.
Seingat saya dulu saya pernah membaca di website kampus sebelum diperbaharui.
Wah, sebagai maba(mahasiswa baru) betapa bangganya saya bisa bersekolah kembali
di sekolah bertaraf internasional. Saya begitu gembira sebab tentunya tidak
semua orang berkesempatan demikian.
Namun semakin kesini semakin bergeser pandangan saya yang
dulu. Semakin saya banyak bertemu orang, banyak berdiskusi, banyak membaca,
rupa-rupanya saya merasa hampa dengan itu semua. Bukan sebab saya tak betah
atau buruknya kualitas tempat saya menggali ilmu, akan tetapi sebab fenomena
“World Class” dan “International Standard” yang saya amati. Sampai disini saya
perlu mempertegas bahwasanya saya tidak ingin menyudutkan pihak manapun melalui
tulisan ini. Akan tetapi saya ingin mengajak kita semua untuk bertafakur
tentang fenomena tersebut.
Saya sangat percaya bahwa semakin banyak tumbuhnya sekolah-sekolah
bertaraf internasional, maka akan semakin dapat membangun kualitas SDM bangsa
kita. Setidaknya, jika dibandingkan dengan zaman dimana tetua kita bersekolah
hanya tau calistung, sekarang sudah sejak sekolah dasar sudah mengerti
bagaimana mengoperasikan komputer. Akan tetapi, perlulah kita ketahui bahwa
kemajuan tersebut tidak terjadi di setiap tempat, bahkan mungkin hanya sebagian
kecil, atau spesifiknya hanya di kota-kota besar atau hanya di kota yang
memiliki sekolah berstandar internasional.
Fenomena yang menjadi keresahan saya bukan sebab adanya
sekolah-sekolah yang bagus dan benar benar-benar layak disebut berstandar
internasional. Akan tetapi, saya berpikir bagaimana saat ini semakin banyak
orang yang berlomba-lomba untuk bersekolah di sekolah berstandar internasional
hanya untuk mengejar label bergengsi.
Semakin banyak pula orang-orang yang berpikir bahwasanya semua yang berlabel
“World Class” atau “International Standard” adalah yang lebih baik ketimbang
sekolah-sekolah, madrasah, atau pesantren di desa-desa. Hasilnya, muncullah
diskriminasi di dalam berbagai bidang kehidupan. Seolah-olah, mereka yang sudah
menyicipi sekolah internasional lebih pantas untuk berbicara tentang ekonomi,
sosial, politik, atau budaya ketimbang mereka yang lahir dari pendidikan
sekolah-sekolah sederhana, madrasah, atau pesantren.
Semakin lama orang-orang pun semakin berlarian untuk
mengejar label internasional. Akan tetapi, perlulah kita sadari bahwasanya hal
tersebut menimbulkan efek samping. Ya, bisa jadi semakin banyak orang yang
mengejar semua cita-cita yang berlabel internasional tersebut, semakin banyak
orang yang bermental indivdualis. Kasarnya, mungkin dengan ungkapan
demikian,“yang penting gue maju, persetan dengan orang-orang malas yang ngga
mau visioner sekolah kayak gue!”Wah, sungguh luar biasa jikalau ada kawan-kawan
yang berpikiran demikian. Sungguh saya kaget jikalau ada orang visioner semacam
ini.
Ketahuilah kawan, apa yang ada di benak anda soal berpikiran
maju, visioner, dan berpendidikan dengan
pandangan anda yang menganggap mereka bodoh dan malas mungkin perlu diperbaiki.
Anda perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang menjadi dasar justifikasi
tersebut. Anda perlu menggali lebih dalam lagi latar belakang adanya anggapan
anda tersebut. Apakah anda serta-merta ada sebagai orang yang berpikran maju
dan visioner? Apakah mereka ada serta-merta sebagai orang yang anda anggap
malas dan bodoh? Sungguh, jikalau anda memang benar-benar berpendidikan, maka
anda malu jika tepat menemukan jawaban pertanyaan ini.
Dalam tulisan seorang awam ini, saya mencoba untuk mengutip
sebuah quotes dari Tan Malaka, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah
menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk bergaul dengan masyarakat
yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih
baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.” Apa yang ada di benak anda ketika membaca
quotes tersebut? Ya, bagi saya jelas itu merupakan kritik terhadap orang-orang
terdidik yang terus berlari mengejar segala macam gelar yang menunjukkan
kehebatannya tetapi meninggalkan orang-orang yang masih berada jauh di
belakangnya. Bukankah mendidik adalah tanggung jawab orang yang terdidik?
Apakah ini bentuk tanggung jawab yang kita anggap benar
sebagai orang berpendidikan? Membiarkan diri ini diaktualisasikan dengan segala
macam prestasi dan label kebanggaan ala internasional, namun lupa akan cikal
bakal sebelum pendidikan itu bisa kita nikmati. Ya, tetua, pendahulu, atau
leluhur kita yang telah bersusah payah mengorbankan keringat, darah, harta,
bahkan nyawa untuk membebaskan anak bangsanya agar dapat tersenyum dan
menikmati kehidupan yang jauh dari kata penindasan. Namun, sebagian dari anak
bangsanya tega mengkhianati dengan hidup jauh dari kata peduli dan hanya
memikirkan kemajuan dan kemakmuran diri sendiri.
Sempat saya mendengar suara sumbang dari balik tabir, “Ah,
bangun bung! Ini sudah bukan lagi zamannya! Ini zaman ilmu pengetahuan! Semua
orang harus maju dengan pengetahuan agar bisa menjalankan kehidupan. Siapa
cepat, dia dapat.” Dan turutlah saya berduka cita atas wafatnya
kemanusiaan. Wafatnya cita-cita untuk “Memanusiakan Manusia”. Sontak saya teringat kata-kata WS. Rendra,
“Kita di sini untuk memihak yang mana? Ilmu-ilmu yang diajarkan disini akankah
menjadi alat pembebasan, ataukah alat penindasan?” Dan saya terus merenung
tentang ini semua.
Sudah sepatutnya kita mulai merubah paradigme tak layak guna
tersebut. Sudah sepatutnya kita merenung dan berpegang pada prinsip “mendidik
adalah kewajiban setiap orang yang terdidik.” Apalagi bagi kita yang dilabel
dengan kata “internasional”. Maka beban
tanggung jawab untuk membangun manusia yang hidup di sekitar kita pun bertambah
menjadi tonase “internasional”. Usaha kita untuk membangun masyarakat pun harus
dengan upaya yang berkelas “internasional”. Jikalau masih ingin hidup sejahtera
dan merasa tinggi dengan diri sendiri, maka seperti Tan Malaka katakan lebih
baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali! Mari membuka mata dan melihat
yang nyata. Mari membuka hati dan melihat yang inti.
-Lakon Hidup-
@alezainalabidin
Tidak ada komentar
Posting Komentar