Sabtu, 15 Agustus 2015

World Class & International Standard


         
        Akhir-akhir ini saya sedang merenung soal frase “World Class” atau “International Standard”. Berawal dari perjalanan yang saya lakukan, pada saat itu saya beberapa kali menemukan plang yang bertuliskan “Sekolah Berstandar Internasional”. Temuan ini membuat saya sedikit merenung di sepanjang jalan dan sampailah di sini, di sebuah tulisan yang menjadi buah pikir(re:curhat) saya.

         Sejak dulu, sejujurnya saya merasa sangat senang dapat berkesempatan di sekolah yang bertaraf internasional. Sebelum kebijakan penghapusan RSBI, saya masih menemukan kop surat sekolah saya bertuliskan “MADRASAH ALIYAH PROGRAM KHUSUS BERTARAF INTERNASIONAL”. Saat pertama kali melihat tulisan tersebut, sebagai seorang anak kampung saya merasa begitu senangnya. Walaupun kebijakan RSBI sudah menghapuskan gelar tersebut, namun jika kembali pada keadaan sebelumnya, tetap saja hakikatnya seperti tulisan bercetak tebal tersebut. Dan sampai sekarang, tiada sedikitpun penyesalan saya menjadi bagian daripadanya.

          Selepas masa SMA, Alhamdulillah saya berkesempatan melanjutkan pendidikan ke Universitas yang(katanya) World Class University. Seingat saya dulu saya pernah membaca di website kampus sebelum diperbaharui. Wah, sebagai maba(mahasiswa baru) betapa bangganya saya bisa bersekolah kembali di sekolah bertaraf internasional. Saya begitu gembira sebab tentunya tidak semua orang berkesempatan demikian.

          Namun semakin kesini semakin bergeser pandangan saya yang dulu. Semakin saya banyak bertemu orang, banyak berdiskusi, banyak membaca, rupa-rupanya saya merasa hampa dengan itu semua. Bukan sebab saya tak betah atau buruknya kualitas tempat saya menggali ilmu, akan tetapi sebab fenomena “World Class” dan “International Standard” yang saya amati. Sampai disini saya perlu mempertegas bahwasanya saya tidak ingin menyudutkan pihak manapun melalui tulisan ini. Akan tetapi saya ingin mengajak kita semua untuk bertafakur tentang fenomena tersebut.

          Saya sangat percaya bahwa semakin banyak tumbuhnya sekolah-sekolah bertaraf internasional, maka akan semakin dapat membangun kualitas SDM bangsa kita. Setidaknya, jika dibandingkan dengan zaman dimana tetua kita bersekolah hanya tau calistung, sekarang sudah sejak sekolah dasar sudah mengerti bagaimana mengoperasikan komputer. Akan tetapi, perlulah kita ketahui bahwa kemajuan tersebut tidak terjadi di setiap tempat, bahkan mungkin hanya sebagian kecil, atau spesifiknya hanya di kota-kota besar atau hanya di kota yang memiliki sekolah berstandar internasional.

             Fenomena yang menjadi keresahan saya bukan sebab adanya sekolah-sekolah yang bagus dan benar benar-benar layak disebut berstandar internasional. Akan tetapi, saya berpikir bagaimana saat ini semakin banyak orang yang berlomba-lomba untuk bersekolah di sekolah berstandar internasional hanya untuk mengejar label  bergengsi. Semakin banyak pula orang-orang yang berpikir bahwasanya semua yang berlabel “World Class” atau “International Standard” adalah yang lebih baik ketimbang sekolah-sekolah, madrasah, atau pesantren di desa-desa. Hasilnya, muncullah diskriminasi di dalam berbagai bidang kehidupan. Seolah-olah, mereka yang sudah menyicipi sekolah internasional lebih pantas untuk berbicara tentang ekonomi, sosial, politik, atau budaya ketimbang mereka yang lahir dari pendidikan sekolah-sekolah sederhana, madrasah, atau pesantren.

               Semakin lama orang-orang pun semakin berlarian untuk mengejar label internasional. Akan tetapi, perlulah kita sadari bahwasanya hal tersebut menimbulkan efek samping. Ya, bisa jadi semakin banyak orang yang mengejar semua cita-cita yang berlabel internasional tersebut, semakin banyak orang yang bermental indivdualis. Kasarnya, mungkin dengan ungkapan demikian,“yang penting gue maju, persetan dengan orang-orang malas yang ngga mau visioner sekolah kayak gue!”Wah, sungguh luar biasa jikalau ada kawan-kawan yang berpikiran demikian. Sungguh saya kaget jikalau ada orang visioner semacam ini.

       Ketahuilah kawan, apa yang ada di benak anda soal berpikiran maju, visioner, dan berpendidikan  dengan pandangan anda yang menganggap mereka bodoh dan malas mungkin perlu diperbaiki. Anda perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang menjadi dasar justifikasi tersebut. Anda perlu menggali lebih dalam lagi latar belakang adanya anggapan anda tersebut. Apakah anda serta-merta ada sebagai orang yang berpikran maju dan visioner? Apakah mereka ada serta-merta sebagai orang yang anda anggap malas dan bodoh? Sungguh, jikalau anda memang benar-benar berpendidikan, maka anda malu jika tepat menemukan jawaban pertanyaan ini.

         Dalam tulisan seorang awam ini, saya mencoba untuk mengutip sebuah quotes dari Tan Malaka, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk bergaul dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”  Apa yang ada di benak anda ketika membaca quotes tersebut? Ya, bagi saya jelas itu merupakan kritik terhadap orang-orang terdidik yang terus berlari mengejar segala macam gelar yang menunjukkan kehebatannya tetapi meninggalkan orang-orang yang masih berada jauh di belakangnya. Bukankah mendidik adalah tanggung jawab orang yang terdidik?

         Apakah ini bentuk tanggung jawab yang kita anggap benar sebagai orang berpendidikan? Membiarkan diri ini diaktualisasikan dengan segala macam prestasi dan label kebanggaan ala internasional, namun lupa akan cikal bakal sebelum pendidikan itu bisa kita nikmati. Ya, tetua, pendahulu, atau leluhur kita yang telah bersusah payah mengorbankan keringat, darah, harta, bahkan nyawa untuk membebaskan anak bangsanya agar dapat tersenyum dan menikmati kehidupan yang jauh dari kata penindasan. Namun, sebagian dari anak bangsanya tega mengkhianati dengan hidup jauh dari kata peduli dan hanya memikirkan kemajuan dan kemakmuran diri sendiri.

            Sempat saya mendengar suara sumbang dari balik tabir, “Ah, bangun bung! Ini sudah bukan lagi zamannya! Ini zaman ilmu pengetahuan! Semua orang harus maju dengan pengetahuan agar bisa menjalankan kehidupan. Siapa cepat, dia dapat.” Dan turutlah saya berduka cita atas wafatnya kemanusiaan. Wafatnya cita-cita untuk “Memanusiakan Manusia”.  Sontak saya teringat kata-kata WS. Rendra, “Kita di sini untuk memihak yang mana? Ilmu-ilmu yang diajarkan disini akankah menjadi alat pembebasan, ataukah alat penindasan?” Dan saya terus merenung tentang ini semua.

           Sudah sepatutnya kita mulai merubah paradigme tak layak guna tersebut. Sudah sepatutnya kita merenung dan berpegang pada prinsip “mendidik adalah kewajiban setiap orang yang terdidik.” Apalagi bagi kita yang dilabel dengan  kata “internasional”. Maka beban tanggung jawab untuk membangun manusia yang hidup di sekitar kita pun bertambah menjadi tonase “internasional”. Usaha kita untuk membangun masyarakat pun harus dengan upaya yang berkelas “internasional”. Jikalau masih ingin hidup sejahtera dan merasa tinggi dengan diri sendiri, maka seperti Tan Malaka katakan lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali! Mari membuka mata dan melihat yang nyata. Mari membuka hati dan melihat yang inti.

-Lakon Hidup-
@alezainalabidin






Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall