Jumat, 22 Mei 2015

Refleksi Setahun Wisuda Magnivic Alencearin: Kita yang berbeda(?)



       Sudah kurang lebih setahun Magnivic Alencearin berpencar dari peraduannya. Sebuah rumah ideal yang dirasa indah bagi setiap penghuninya. Tempat melepas penat, namun sarat akan nilai-nilai perjuangan dalam adu fikir dan menggali asa. Magnivic Alencearin sudah cukup lama berpencar, saling berpisah, namun rasanya perpisahan itu hanya soal ruang dan waktu, bukan hati dan ukhuwah.

       Magnivic Alencearin, sudah hampir setahun beranjak dari kampus tercinta dengan meninggalkan ragam cerita. Rangkaian cerita menarik tentang prestasi akademik, senyum ceria dengan suksesnya acara-acara, mobilisasi dengan dinamisnya kerja organisasi, sampai cerita nakal yang pada awalnya menjadi masalah hingga menjadi santai dan jenaka. Semua terangkum menjadi satu dan teringat lekat dalam memori yang sampai saat ini membuat kita selalu rindu. Ah, rasanya semua begitu indah dan begitu cepat berlalu. Andaikan saya punya kekuatan untuk memutar waktu, pasti akan saya gunakan kekuatan itu.

       Bicara tentang rangkaian prestasi, rasa-rasanya terlalu singkat untuk membahasnya dalam tulisan ini. Saya rasa prestasi akademik relatif sama dari tahun ke tahun di semua angkatan. Berbagai macam lomba seperti OIS, OSN, bahkan sampai olimpiade tingkat internasional berhasil kita raih bersama. Belum lagi prestasi-prestasi di berbagai macam bidang lainnya seperti olahraga dan seni. Meskipun saya yakin bicara prestasi adalah hal mutlak bagi setiap generasi, namun setidaknya beberapa prestasi unik yang mungkin sederhana tetapi terkadang membuat rasa bangga menjadi nilai lebihnya. Ah, saya hanya bisa berkata “Luar biasa!”.

       Sekarang, kurang lebih setahun kelulusan dan Magnivic Alencearin tersebar dimana-mana. Bandung, Jogjakarta, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan, hingga negeri sakura menjadi tempat-tempat singgah selanjutnya yang memberi kesan cerita tersendiri. Kesibukan yang beragam antara setiap punggawanya juga turut memberi warna yang berbeda. Kesibukan akademis yang begitu luar biasa, dunia aktivisme pergerakan dan organisasi, ragam lomba dan konferensi turut memperkaya pustaka cerita kala kita bersua. Ah, rasanya teringat saya dengan salah satu perkataan guru kita, “Mutiara akan selalu menjadi mutiara dimanapun tempatnya berada.”

       Iri rasanya hati saya melihat rangkaian prestasi kawan-kawan di berbagai macam bidang. Dari prestasi akademis yang sungguh luar biasa diraih oleh Hafizh Afkar (STEI ITB) dengan IP 4 nya di semester 1 kemarin, yang disusul dengan nilai-nilai fantastis yang juga diraih kawan-kawan lainnya di semua universitas. Aktivis organisasi dan konferensi seperti Alif (HI UGM) yang sudah meluncur ke negeri gingseng beberapa bulan lalu. Posisi-posisi strategis yang dimiliki oleh kawan-kawan di dunia organisasi seperti Ahmad Wali (FTTM ITB) yang menjadi ketua angkatan Gamais. Disusul dengan lomba-lomba lainnya yang berbau akademik, olahraga, dan seni dari beragam tingkat yang diperoleh oleh kawan-kawan lainnya yang tak mungkin rasanya saya sebutkan satu persatu. Saya merasa malu, iri melihat mereka yang sungguh luar biasa dengan beragam prestasi mereka. Lantas, saya bisa apa? Dan saya pun selalu berusaha untuk menjawabnya dengan jawaban yang tepat dan apapun yang saya bisa.

       Bulan April lalu, hampir seperti angkatan kami saling berjumpa di Bandung untuk melaksanakan Mubes Roadshow IAIC 2015. Di sana kami saling berbagi cerita tentang berbagai macam hal yang kami punya. Bagi saya, ketika berbicara tentang pencapaian-pencapaian mereka yang saya bayangkan adalah bagaimana sepuluh hingga dua puluh, bahkan tiga puluh tahun ke depan. Saya optimis negeri ini punya masa depan yang cerah tatkala diwarnai oleh orang-orang seperti mereka.

       Salah satu hal yang menarik bagi saya ialah bicara tentang perbedaan. Kita sama-sama paham bahwasanya Insan Cendekia kita adalah lingkungan yang dikondisikan begitu idealnya. Hal ini pastinya menjadikan kita bisa jadi berbeda dengan kawan-kawan di luar sana dengan berbagai macam latar belakang mereka. Namun, ketika kita berpencar apakah kita masih berpegang pada nilai-nilai yang sama? Saya rasa mungkin sebagian benar adanya, namun sebagian lainnya tidak. Bukankah kita perlu penyesuaian dengan lingkungan di sekitar kita? Apakah lingkungan di sekitar kita bisa menerima dengan cepat nilai-nilai yang kita pegang kuat ? Bukankah ketidaksiapan kita untuk menghadapi lingkungan luar Insan Cendekia yang ideal itu hanya membuat kita teralienasi? Saya rasa masing-masing kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan pandangan yang kita miliki.
Sudah sewajarnya jika kita mulai sekarang membuka mata. Kita sudah berada di ruang yang berbeda, alam yang berbeda. Prinsip-prinsip mendasar boleh jadi tetap kita pegang erat. Namun  kita tetap perlu membuat eksepsi terhadap hal-hal yang rasanya sederhana dan masih bisa diberi toleransi. Tak perlu kita memaksakan pandangan kita menjadi sama. Sebab untuk apa memaksakan kehendak untuk menjadi sama dan selalu bicara tentang hal-hal ideal jikalau dengan perbedaan akan menjadikan kita semakin kaya?

       Perbedaan Prinsip, pandangan, dan nilai-nilai yang kita anut terkadang membuat kita merasa tidak cocok satu sama lain. Namun bagi saya inilah media yang sangat baik untuk saling mengenal lebih jauh. Jikalau tak pernah beradu pandangan, saling “nyinyir”, dan berkata-kata kasar dalam forum, bisa jadi kita tidak saling mengenal secara lebih dalam tentang pandangan yang beragam dan nilai-nilai yang dianut tersebut. Cerita pun tidak akan sebegitu menarik ketika semua berpihak sebagai orang baik. Ibarat dalam setiap cerita yang tidak akan pernah mencapai klimaks tanpa adanya konflik. Anggap sajalah orang-orang “ngaco” seperti saya ini sebagai tokoh antagonisnya yang memberi warna berbeda dalam garis besar cerita. Dalam konsep lain, kita juga bisa menggunakan pendekatan teori struktural fungsional dalam sosiologi untuk memahami masalah ini. Kita diibaratkan sebagai sebuah sistem, dan masing-masing kita memiliki fungsi untuk menjalankan sistem tersebut.
Maka hampir genap setahun kita berpencar sudah sepatutnya kita melakukan refleksi. Mencoba menggali lebih dalam, mengenal lebih dekat, dan saling mengisi. Setahun yang begitu singkat namun  terkadang membuat kita rindu akan setiap memori. Perbedaan cara pandang, nilai-nilai, dan tindakan yang kita lakukan sudah sepatutnya secara dewasa kita sikapi sebagai proses pendewasaan. Bagi saya, yang jelas kita sama-sama memiliki tugas untuk membangun bangsa. Membayar hutang-hutang kita kepada rakyat dengan mengabdi di setiap lini.

Terakhir, saya hanya rindu mendengar teriakan-teriakan kita:

“Magnivic, Can I hear your voice?
M.AG.NI.VIC ALENCEARIN… M.AG.NI.VIC ALENCEARIN
Rational in thinking yes we are, we are precise in acting, we are never separating,
Because, we are magnivic, we are magnivic, M.AG.NI.VIC ALENCEARIN!”

Semoga, janji-janji ini bukan sekedar menjadi bising.








Tidak ada komentar

Posting Komentar

© 2025 BUKAMATA
Maira Gall