Sudah kurang lebih setahun Magnivic Alencearin berpencar
dari peraduannya. Sebuah rumah ideal yang dirasa indah bagi setiap penghuninya.
Tempat melepas penat, namun sarat akan nilai-nilai perjuangan dalam adu fikir
dan menggali asa. Magnivic Alencearin sudah cukup lama berpencar, saling
berpisah, namun rasanya perpisahan itu hanya soal ruang dan waktu, bukan hati
dan ukhuwah.
Magnivic Alencearin, sudah hampir setahun beranjak dari
kampus tercinta dengan meninggalkan ragam cerita. Rangkaian cerita menarik tentang
prestasi akademik, senyum ceria dengan suksesnya acara-acara, mobilisasi dengan
dinamisnya kerja organisasi, sampai cerita nakal yang pada awalnya menjadi
masalah hingga menjadi santai dan jenaka. Semua terangkum menjadi satu dan
teringat lekat dalam memori yang sampai saat ini membuat kita selalu rindu. Ah,
rasanya semua begitu indah dan begitu cepat berlalu. Andaikan saya punya
kekuatan untuk memutar waktu, pasti akan saya gunakan kekuatan itu.
Bicara tentang rangkaian prestasi, rasa-rasanya terlalu
singkat untuk membahasnya dalam tulisan ini. Saya rasa prestasi akademik
relatif sama dari tahun ke tahun di semua angkatan. Berbagai macam lomba
seperti OIS, OSN, bahkan sampai olimpiade tingkat internasional berhasil kita
raih bersama. Belum lagi prestasi-prestasi di berbagai macam bidang lainnya
seperti olahraga dan seni. Meskipun saya yakin bicara prestasi adalah hal
mutlak bagi setiap generasi, namun setidaknya beberapa prestasi unik yang
mungkin sederhana tetapi terkadang membuat rasa bangga menjadi nilai lebihnya. Ah,
saya hanya bisa berkata “Luar biasa!”.
Sekarang, kurang lebih setahun kelulusan dan Magnivic
Alencearin tersebar dimana-mana. Bandung, Jogjakarta, Jakarta, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Bali, Kalimantan, hingga negeri sakura menjadi tempat-tempat
singgah selanjutnya yang memberi kesan cerita tersendiri. Kesibukan yang
beragam antara setiap punggawanya juga turut memberi warna yang berbeda.
Kesibukan akademis yang begitu luar biasa, dunia aktivisme pergerakan dan
organisasi, ragam lomba dan konferensi turut memperkaya pustaka cerita kala
kita bersua. Ah, rasanya teringat saya dengan salah satu perkataan guru kita,
“Mutiara akan selalu menjadi mutiara dimanapun tempatnya berada.”
Iri rasanya hati saya melihat rangkaian prestasi kawan-kawan
di berbagai macam bidang. Dari prestasi akademis yang sungguh luar biasa diraih
oleh Hafizh Afkar (STEI ITB) dengan IP 4 nya di semester 1 kemarin, yang
disusul dengan nilai-nilai fantastis yang juga diraih kawan-kawan lainnya di
semua universitas. Aktivis organisasi dan konferensi seperti Alif (HI UGM) yang
sudah meluncur ke negeri gingseng beberapa bulan lalu. Posisi-posisi strategis
yang dimiliki oleh kawan-kawan di dunia organisasi seperti Ahmad Wali (FTTM ITB)
yang menjadi ketua angkatan Gamais. Disusul dengan lomba-lomba lainnya yang berbau
akademik, olahraga, dan seni dari beragam tingkat yang diperoleh oleh
kawan-kawan lainnya yang tak mungkin rasanya saya sebutkan satu persatu. Saya
merasa malu, iri melihat mereka yang sungguh luar biasa dengan beragam prestasi
mereka. Lantas, saya bisa apa? Dan saya pun selalu berusaha untuk menjawabnya
dengan jawaban yang tepat dan apapun yang saya bisa.
Bulan April lalu, hampir seperti angkatan kami saling
berjumpa di Bandung untuk melaksanakan Mubes Roadshow IAIC 2015. Di sana kami saling
berbagi cerita tentang berbagai macam hal yang kami punya. Bagi saya, ketika
berbicara tentang pencapaian-pencapaian mereka yang saya bayangkan adalah
bagaimana sepuluh hingga dua puluh, bahkan tiga puluh tahun ke depan. Saya
optimis negeri ini punya masa depan yang cerah tatkala diwarnai oleh
orang-orang seperti mereka.
Salah satu hal yang menarik bagi saya ialah bicara tentang
perbedaan. Kita sama-sama paham bahwasanya Insan Cendekia kita adalah lingkungan
yang dikondisikan begitu idealnya. Hal ini pastinya menjadikan kita bisa jadi
berbeda dengan kawan-kawan di luar sana dengan berbagai macam latar belakang
mereka. Namun, ketika kita berpencar apakah kita masih berpegang pada
nilai-nilai yang sama? Saya rasa mungkin sebagian benar adanya, namun sebagian
lainnya tidak. Bukankah kita perlu penyesuaian dengan lingkungan di sekitar
kita? Apakah lingkungan di sekitar kita bisa menerima dengan cepat nilai-nilai
yang kita pegang kuat ? Bukankah ketidaksiapan kita untuk menghadapi lingkungan
luar Insan Cendekia yang ideal itu hanya membuat kita teralienasi? Saya rasa
masing-masing kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan pandangan
yang kita miliki.
Sudah sewajarnya jika kita mulai sekarang membuka mata. Kita
sudah berada di ruang yang berbeda, alam yang berbeda. Prinsip-prinsip mendasar
boleh jadi tetap kita pegang erat. Namun kita tetap perlu membuat eksepsi terhadap
hal-hal yang rasanya sederhana dan masih bisa diberi toleransi. Tak perlu kita
memaksakan pandangan kita menjadi sama. Sebab untuk apa memaksakan kehendak
untuk menjadi sama dan selalu bicara tentang hal-hal ideal jikalau dengan
perbedaan akan menjadikan kita semakin kaya?
Perbedaan Prinsip, pandangan, dan nilai-nilai yang kita anut
terkadang membuat kita merasa tidak cocok satu sama lain. Namun bagi saya
inilah media yang sangat baik untuk saling mengenal lebih jauh. Jikalau tak
pernah beradu pandangan, saling “nyinyir”, dan berkata-kata kasar dalam forum,
bisa jadi kita tidak saling mengenal secara lebih dalam tentang pandangan yang
beragam dan nilai-nilai yang dianut tersebut. Cerita pun tidak akan sebegitu
menarik ketika semua berpihak sebagai orang baik. Ibarat dalam setiap cerita
yang tidak akan pernah mencapai klimaks tanpa adanya konflik. Anggap sajalah
orang-orang “ngaco” seperti saya ini sebagai tokoh antagonisnya yang memberi
warna berbeda dalam garis besar cerita. Dalam konsep lain, kita juga bisa
menggunakan pendekatan teori struktural fungsional dalam sosiologi untuk
memahami masalah ini. Kita diibaratkan sebagai sebuah sistem, dan masing-masing
kita memiliki fungsi untuk menjalankan sistem tersebut.
Maka hampir genap setahun kita berpencar sudah sepatutnya
kita melakukan refleksi. Mencoba menggali lebih dalam, mengenal lebih dekat, dan
saling mengisi. Setahun yang begitu singkat namun terkadang membuat kita rindu akan setiap
memori. Perbedaan cara pandang, nilai-nilai, dan tindakan yang kita lakukan
sudah sepatutnya secara dewasa kita sikapi sebagai proses pendewasaan. Bagi
saya, yang jelas kita sama-sama memiliki tugas untuk membangun bangsa. Membayar
hutang-hutang kita kepada rakyat dengan mengabdi di setiap lini.
Terakhir, saya hanya rindu mendengar teriakan-teriakan kita:
“Magnivic, Can I hear your voice?
M.AG.NI.VIC ALENCEARIN… M.AG.NI.VIC ALENCEARIN
Rational in thinking yes we are, we are precise in
acting, we are never separating,
Because, we are magnivic, we are magnivic, M.AG.NI.VIC
ALENCEARIN!”
Semoga, janji-janji ini bukan sekedar menjadi bising.
Tidak ada komentar
Posting Komentar