Sebuah
Refleksi Tentang Upaya Perjuangan Penegakan HAM di Indonesia
Oleh : Ali
Zainal Abidin
Administrasi
Niaga UI 2014
Jika kita
berbicara tentang Hak Asasi Manusia(HAM), pastilah takkan pernah ada habisnya.
Saya rasa isu ini akan terus menerus menjadi isu yang relevan di setiap zaman
meskipun setiap zaman memiliki corak kisahnya tersendiri. Hal tersebut tentunya
sangatlah wajar sebab ketika kita membahas tentang HAM maka kita harus pula
memahami secara historis sejarah panjangnya. Di dalam kajian ilmu politik
perkembangan HAM bisa dikategorikan menjadi tiga aspek, yaitu hak-hak sipil dan
politik, hak-hak ekonomi dan sosial-budaya, serta hak-hak pembangunan dan
keamanan. Jika dikaitkan dengan beragam persoalan pelik tentang HAM yang
terjadi saat ini mungkin hal tersebut jika ditinjau dari sudut pandang ilmu
politik bisa dikatakan cukup relevan.
Jika kita
kembali meninjau secara historis, pada abad ke-17 pemikiran mengenai hak asasi
bermunculan dengan ditandai munculnya konsep hukum alam dan hak-hak alam.[1]
Akan tetapi sesungguhnya perjuangan tentang penegakan HAM sendiri sudah ada
sejak tahun 1215 yang ditandai dengan perjanjian Magna Charta yang
dianggap sebagai batu tapal perkembangan demokrasi di barat. Jika berkaca dari
sejarah maka sesungguhnya perjuangan penegakan HAM bukanlah lagi menjadi isu
yang baru. Perjuangan penegakan HAM bisa dikatakan klasik, namun tetap relevan
sebab selalu berkembang sesuai dinamika zaman.
Bahasan
tentang HAM di Indonesia tentunya menjadi bahasan yang sangat unik dan menarik
untuk dibahas. Bangsa Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang dalam hal
penegakan HAM. Anggaplah sekitar tiga setengah abad dijajah sebagai masa yang
sangat panjang dan cukup kelam. Namun secara filosofis alam telah mengajarkan,
semakin pekat malam semakin lekas terbit fajar. Perjuangan itu berbuah
kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Meskipun setelah itu era
baru perjuangan penegakan HAM pun dimulai. Anak bangsa seakan memangsa darah
daging sendiri. Semua dinamika itu sangat dipengaruhi oleh beragam variabel.
Kondisi politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, dan gesekan-gesekan penganut
beragam ideologi pun turut memberi warna dalam terjadinya konflik di negeri
ini. Berbagai macam peristiwa pelanggaran HAM pun semakin mencuat ke permukaan
dan menimbulkan beragam reaksi. Padahal sesungguhnya bahasan tentang ini
disematkan dalam kontitusi Indonesia yaitu UUD 1945 pasal 27-34.
Pelanggaran
HAM yang pernah terjadi di Indonesia mungkin sudah tidak terhitung lagi
jumlahnya. Setidaknya beberapa kisah tentang pelanggaran HAM pernah dibukukan
dalam buku Indonesia X-Files karya dr. Abdul Mun’im Idries, Sp.F yang
jumlahnya hanya segelintir. Rata-rata kasus yang dibahas dalam buku tersebut
pun merupakan kasus-kasus yang sudah mencuat ke permukaan, bukan kasus-kasus
yang belum terlacak sama sekali yang mungkin saja bisa terjadi kapanpun dan
dimanapun. Oleh karena itu bahasan tentang HAM tentunya menjadi bahasan yang
saya rasa selalu relevan dari waktu ke waktu dan sangat layak untuk selalu
diperjuangkan.
Di masa
akhir orde lama kita pernah menemukan terjadinya pelanggaran HAM yang menimpa
Arief Rahman Hakim, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada
tanggal 24 Februari 1965 saat aksi-aksi mahasiswa sedang mengganas sebab
harga-harga yang tinggi melambung, yakni dengan kondisi inflasi yang mencapai
650% terjadi peristiwa berdarah yang menumbalkan Arief Rahman Hakim. Ia adalah
korban pelanggaran HAM yang isunya santer terdengar dilakukan oleh oknum
Pasukan Cakrabirawa. Namun sampai saat ini kasus Arief Rahman Hakim belum
pernah diusut sampai tuntas dan dengan jelas diketahui siapa pelakunya. Nama
Arief Rahman Hakim hanya dikenang sebagai Pahlawan Ampera sesuai dengan
ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 pada tanggal 5 Juli 1966 meskipun tidak
secara tegas disebutkan namanya sebagai Pahlawan Ampera.
Di masa orde
baru isu-isu tentang pelanggaran bisa dikatakan menjadi obrolan sehari-hari.
Mungkin dalam obrolan warung kopi atau cerita-cerita orang tua kita akan muncul
kesan segan dan seram terhadap pemerintahan Orde Baru. Siapapun yang berani
menentang, maka esoknya ia akan hilang. Kesan yang timbul di masyarakat ini
mungkin bisa menekan angka kriminalitas jauh dari apa yang terjadi pada hari
ini. Namun rasa-rasanya untuk menjaga stabilitas keamanan kita juga harus memerhatikan
prinsip-prinsip humanis yang bahkan sudah diabsahkan dalam berbagai macam
instrumen hukum nasional. Salah satu bentuknya dapat kita lihat dalam UU HAM
No. 39 tahun 1999.
Di antara
sekian banyaknya kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi pada masa orde baru,
saya mencoba fokus untuk membahas pelanggaran HAM yang terjadi di masa awal
kekuasaan rezim orde baru, yaitu pembantaian simpatisan PKI. Sejak beberapa
tahun yang lalu saya sudah mulai mengkaji dan mengkritisi tentang
peristiwa-peristiwa pada orde baru khususnya yang berkaitan dengan penganyangan
PKI pasca G. 30 S. Rasa keingintahuan itu membuncah saat saya membaca buku
Catatan Seorang Demonstran dan setelah menyaksikan film GIE. Saya mulai
tertarik untuk mencari tahu lebih jauh, salah satunya dengan membeli buku-buku
yang berkaitan dengan pengganyangan PKI tersebut. Salah satu buku yang cukup
menarik berjudul Pengakuan Para Algojo yang diterbitkan oleh Tempo. Buku
tersebut berisi pengakuan para algojo yang ditugaskan untuk membantai para simpatisan
PKI pasca peristiwa G. 30 S. Yang sangat ironis di sini adalah konsep
pembantaian tersebut tidaklah dilakukan dengan cara-cara manusiawi. Tanpa
proses penangkapan yang sesuai hukum, asalkan menjadi simpatisan atau keluarga
simpatisan PKI maka maut siap menghantui. Padahal banyak di antara mereka yang
tidak terlibat sama sekali dengan peristiwa G. 30 S. Mengkaji lebih jauh
kita bisa juga membandingkan dengan informasi yang terdapat dalam film G 30
S. yang disutradarai oleh Arifin C. Noer. Apabila kita teliti lebih jauh,
maka kita akan menemukan banyak sekali kejanggalan-kejanggalan, distorsi
sejarah dan pembodohan yang bermuatan politis.
Apakah
peristiwa pembantaian simpatisan PKI ini bermuatan politis? Kita memang tidak
pernah bisa menjawab itu dengan lugas dan pasti. Namun sebagai insan yang
dianugerahi kekuatan akal kita bisa sedikit demi sedikit manganalisis rangkaian
peristiwa yang terjadi. Meskipun analisis ini mungkin bisa dikatakan kurang
taktis, namun anggaplah kita sedang berandai-andai dalam sejarah. Dalam
memperkuat kekuasaannya, orde baru tentunya sudah memetakan dengan baik
lawan-lawan politik yang bisa saja menjungkalkannya. Kita tentunya pernah
mengetahui kebijakan-kebijakan pada masa orde baru yang cukup janggal jika
kritisi saat ini, sebut saja fusi parpol dan fraksi ABRI dalam DPR. Dan sebelum
itu semua, penggayangan PKI bisa dikatakan sebagai momentum yang tepat untuk
melemahkan sampai titik darah penghabisan lawan politik yang dirasa paling
kuat. Dalam buku Pengakuan Para Algojo terdapat banyak versi mengenai
jumlah simpatisan PKI yang dibantai. Ada yang mengatakan 70.000, 275.000, dan
bahkan menurut pengakuan pimpinan RPKAD saat itu, Jendral Sarwo Edhie Wibowo
bisa berjumlah satu juta jiwa lebih. Sudah pantaskah kita sebut sebagai pembantaian
yang bersifat politis?
Beranjak ke
masa-masa runtuhnya rezim orde baru kita juga kembali menemukan kasus-kasus
yang berkaitan dengan pelanggaran HAM.
Sebut saja kasus penghilangan aktivis-aktivis pergerakan saat itu,
semisal Widji Tukul. Selain itu kasus-kasus yang terjadi seputar peristiwa
gelombang demonstrasi mahasiswa pada tahun 1998 yang melahirkan peristiwa Semanggi
dan Trisakti. Apa yang menimpa Arief Rahman Hakim sungguh kembali terjadi pada
masa ini. Kembali pisau tirani menikam anak bangsa sendiri.
Pasca
reformasi juga tidak terlepas dari isu pelanggaran HAM. Kita ambil saja salah
satunya kasus yang menimpa aktivis pejuang HAM, Munir Said Thalib. Kematiannya
di pesawat Boeing 747 saat perjalanannya dari Jakarta menuju Amsterdam dalam
rangka melanjutkan studi S-2 Bidang Hukum di Universitas Utrecht pada tanggal 7
September 2004 masih menjadi sebuah teka-teki. Bisa dikatakakan kasus ini
dipaksakan tuntas sebelum waktunya setelah nama Pollycarpus mencuat ke publik
sebagai pelaku pembunuhan tersebut. Nama Pollycarpus mencuat bahkan sebelum Tim
Pencari Fakta kematian Munir terbentuk yang didasarkan pada Keputusan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono Nomor 111/2004 yang ditandatangi pada 23 Desember 2004[2].
Kasus ini seakan mendadak berakhir tidak seru sebab sampai saat ini pengusutan
belum tuntas. Otak dari pembunuhan Munir sampai saat ini masih belum diungkap
dan bahkan seakan takkan pernah terungkap.
Kasus Munir
seakan menjadi kasus yang selalu membangkitkan kita akan kenangan-kenangan
perjuangan penegakan HAM di Indonesia. Maka rasanya sangat wajar jika pada
bulan September 2014 lalu, mahasiswa Indonesia dari berbagai Universitas turut
kembali memperingati kematian Munir dengan beragam aksi. Pada bulan itu tepat
sepuluh tahun kepergian Munir yang sampai saat ini masih menjadi misteri.
Gelombang aksi membawa jargon “Menolak Lupa” sebagai simbol tuntutan penuntasan
kasus ini.
Rangkaian
demi rangkaian peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi di negeri ini saya
rasa sudah menjadi isu yang tepat untuk selalu kita perjuangkan. Api perjuangan
itu harus tetap kita jaga untuk tetap berkobar di hati setiap kita yang sadar
akan nilai-nilai kemanusiaan yang utuh. Sesekali juga kita bisa melihat bukan
hanya mahasiswa yang berjuang, tetapi seniman pun turut berjuang untuk selalu
menuntut keadilan. Sebut saja grup-grup musik seperti Kantata Takwa, Swami,
Sirkus Barock, atau seniman-seniman dan sastrawan seperti Iwan Fals dan W.S.
Rendra yang sampai sekarang masih tetap vokal dalam menyuarakan keadilan,
bahkan W.S. Rendra yang karya-karya masih tetap menohok kita untuk berjuang
demi keadilan walaupun kini ia telah tiada.
Sudah
sepatutnya kita sebagai kalangan intelektual muda mengambil langkah pasti dalam
perjuangan penegakan HAM di negeri ini. Sadarlah bahwasanya dalam perjuangan
ini kita tidak sendiri. Perjuangan kita harus diawali dengan mengusap nurani.
Menjaganya agar tetap bersih dan murni dari intervensi. Sebab itulah yang akan
menjadi sumber kekuatan utama kita dalam menyuarakan kebenaran. Sumber kekuatan
utama yang akan menjadi senjata pemugkas kita dalam menghantam tirani. Sebab
jika bukan kita, maka siapa lagi? Marilah kita membuka mata. Sadarlah bahwa
negeri ini membutuhkan uluran tangan kita. Memadukan suara sumbang mereka
menjadi paduan suara kebenaran yang kita tuangkan dalam karya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar