Selasa, 10 Maret 2015

Perjuangan Kita, Mengusap Nurani, Menghantam Tirani!



Sebuah Refleksi Tentang Upaya Perjuangan Penegakan HAM di Indonesia
Oleh : Ali Zainal Abidin
Administrasi Niaga UI 2014
Jika kita berbicara tentang Hak Asasi Manusia(HAM), pastilah takkan pernah ada habisnya. Saya rasa isu ini akan terus menerus menjadi isu yang relevan di setiap zaman meskipun setiap zaman memiliki corak kisahnya tersendiri. Hal tersebut tentunya sangatlah wajar sebab ketika kita membahas tentang HAM maka kita harus pula memahami secara historis sejarah panjangnya. Di dalam kajian ilmu politik perkembangan HAM bisa dikategorikan menjadi tiga aspek, yaitu hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi dan sosial-budaya, serta hak-hak pembangunan dan keamanan. Jika dikaitkan dengan beragam persoalan pelik tentang HAM yang terjadi saat ini mungkin hal tersebut jika ditinjau dari sudut pandang ilmu politik bisa dikatakan cukup relevan.

Jika kita kembali meninjau secara historis, pada abad ke-17 pemikiran mengenai hak asasi bermunculan dengan ditandai munculnya konsep hukum alam dan hak-hak alam.[1] Akan tetapi sesungguhnya perjuangan tentang penegakan HAM sendiri sudah ada sejak tahun 1215 yang ditandai dengan perjanjian Magna Charta yang dianggap sebagai batu tapal perkembangan demokrasi di barat. Jika berkaca dari sejarah maka sesungguhnya perjuangan penegakan HAM bukanlah lagi menjadi isu yang baru. Perjuangan penegakan HAM bisa dikatakan klasik, namun tetap relevan sebab selalu berkembang sesuai dinamika zaman.

Bahasan tentang HAM di Indonesia tentunya menjadi bahasan yang sangat unik dan menarik untuk dibahas. Bangsa Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang dalam hal penegakan HAM. Anggaplah sekitar tiga setengah abad dijajah sebagai masa yang sangat panjang dan cukup kelam. Namun secara filosofis alam telah mengajarkan, semakin pekat malam semakin lekas terbit fajar. Perjuangan itu berbuah kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Meskipun setelah itu era baru perjuangan penegakan HAM pun dimulai. Anak bangsa seakan memangsa darah daging sendiri. Semua dinamika itu sangat dipengaruhi oleh beragam variabel. Kondisi politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, dan gesekan-gesekan penganut beragam ideologi pun turut memberi warna dalam terjadinya konflik di negeri ini. Berbagai macam peristiwa pelanggaran HAM pun semakin mencuat ke permukaan dan menimbulkan beragam reaksi. Padahal sesungguhnya bahasan tentang ini disematkan dalam kontitusi Indonesia yaitu UUD 1945 pasal 27-34.

Pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia mungkin sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Setidaknya beberapa kisah tentang pelanggaran HAM pernah dibukukan dalam buku Indonesia X-Files karya dr. Abdul Mun’im Idries, Sp.F yang jumlahnya hanya segelintir. Rata-rata kasus yang dibahas dalam buku tersebut pun merupakan kasus-kasus yang sudah mencuat ke permukaan, bukan kasus-kasus yang belum terlacak sama sekali yang mungkin saja bisa terjadi kapanpun dan dimanapun. Oleh karena itu bahasan tentang HAM tentunya menjadi bahasan yang saya rasa selalu relevan dari waktu ke waktu dan sangat layak untuk selalu diperjuangkan.

Di masa akhir orde lama kita pernah menemukan terjadinya pelanggaran HAM yang menimpa Arief Rahman Hakim, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada tanggal 24 Februari 1965 saat aksi-aksi mahasiswa sedang mengganas sebab harga-harga yang tinggi melambung, yakni dengan kondisi inflasi yang mencapai 650% terjadi peristiwa berdarah yang menumbalkan Arief Rahman Hakim. Ia adalah korban pelanggaran HAM yang isunya santer terdengar dilakukan oleh oknum Pasukan Cakrabirawa. Namun sampai saat ini kasus Arief Rahman Hakim belum pernah diusut sampai tuntas dan dengan jelas diketahui siapa pelakunya. Nama Arief Rahman Hakim hanya dikenang sebagai Pahlawan Ampera sesuai dengan ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 pada tanggal 5 Juli 1966 meskipun tidak secara tegas disebutkan namanya sebagai Pahlawan Ampera.

Di masa orde baru isu-isu tentang pelanggaran bisa dikatakan menjadi obrolan sehari-hari. Mungkin dalam obrolan warung kopi atau cerita-cerita orang tua kita akan muncul kesan segan dan seram terhadap pemerintahan Orde Baru. Siapapun yang berani menentang, maka esoknya ia akan hilang. Kesan yang timbul di masyarakat ini mungkin bisa menekan angka kriminalitas jauh dari apa yang terjadi pada hari ini. Namun rasa-rasanya untuk menjaga stabilitas keamanan kita juga harus memerhatikan prinsip-prinsip humanis yang bahkan sudah diabsahkan dalam berbagai macam instrumen hukum nasional. Salah satu bentuknya dapat kita lihat dalam UU HAM No. 39 tahun 1999.

Di antara sekian banyaknya kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi pada masa orde baru, saya mencoba fokus untuk membahas pelanggaran HAM yang terjadi di masa awal kekuasaan rezim orde baru, yaitu pembantaian simpatisan PKI. Sejak beberapa tahun yang lalu saya sudah mulai mengkaji dan mengkritisi tentang peristiwa-peristiwa pada orde baru khususnya yang berkaitan dengan penganyangan PKI pasca G. 30 S. Rasa keingintahuan itu membuncah saat saya membaca buku Catatan Seorang Demonstran dan setelah menyaksikan film GIE. Saya mulai tertarik untuk mencari tahu lebih jauh, salah satunya dengan membeli buku-buku yang berkaitan dengan pengganyangan PKI tersebut. Salah satu buku yang cukup menarik berjudul Pengakuan Para Algojo yang diterbitkan oleh Tempo. Buku tersebut berisi pengakuan para algojo yang ditugaskan untuk membantai para simpatisan PKI pasca peristiwa G. 30 S. Yang sangat ironis di sini adalah konsep pembantaian tersebut tidaklah dilakukan dengan cara-cara manusiawi. Tanpa proses penangkapan yang sesuai hukum, asalkan menjadi simpatisan atau keluarga simpatisan PKI maka maut siap menghantui. Padahal banyak di antara mereka yang tidak terlibat sama sekali dengan peristiwa G. 30 S. Mengkaji lebih jauh kita bisa juga membandingkan dengan informasi yang terdapat dalam film G 30 S. yang disutradarai oleh Arifin C. Noer. Apabila kita teliti lebih jauh, maka kita akan menemukan banyak sekali kejanggalan-kejanggalan, distorsi sejarah dan pembodohan yang bermuatan politis.

Apakah peristiwa pembantaian simpatisan PKI ini bermuatan politis? Kita memang tidak pernah bisa menjawab itu dengan lugas dan pasti. Namun sebagai insan yang dianugerahi kekuatan akal kita bisa sedikit demi sedikit manganalisis rangkaian peristiwa yang terjadi. Meskipun analisis ini mungkin bisa dikatakan kurang taktis, namun anggaplah kita sedang berandai-andai dalam sejarah. Dalam memperkuat kekuasaannya, orde baru tentunya sudah memetakan dengan baik lawan-lawan politik yang bisa saja menjungkalkannya. Kita tentunya pernah mengetahui kebijakan-kebijakan pada masa orde baru yang cukup janggal jika kritisi saat ini, sebut saja fusi parpol dan fraksi ABRI dalam DPR. Dan sebelum itu semua, penggayangan PKI bisa dikatakan sebagai momentum yang tepat untuk melemahkan sampai titik darah penghabisan lawan politik yang dirasa paling kuat. Dalam buku Pengakuan Para Algojo terdapat banyak versi mengenai jumlah simpatisan PKI yang dibantai. Ada yang mengatakan 70.000, 275.000, dan bahkan menurut pengakuan pimpinan RPKAD saat itu, Jendral Sarwo Edhie Wibowo bisa berjumlah satu juta jiwa lebih. Sudah pantaskah kita sebut sebagai pembantaian yang bersifat politis?

Beranjak ke masa-masa runtuhnya rezim orde baru kita juga kembali menemukan kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM.  Sebut saja kasus penghilangan aktivis-aktivis pergerakan saat itu, semisal Widji Tukul. Selain itu kasus-kasus yang terjadi seputar peristiwa gelombang demonstrasi mahasiswa pada tahun 1998 yang melahirkan peristiwa Semanggi dan Trisakti. Apa yang menimpa Arief Rahman Hakim sungguh kembali terjadi pada masa ini. Kembali pisau tirani menikam anak bangsa sendiri.

Pasca reformasi juga tidak terlepas dari isu pelanggaran HAM. Kita ambil saja salah satunya kasus yang menimpa aktivis pejuang HAM, Munir Said Thalib. Kematiannya di pesawat Boeing 747 saat perjalanannya dari Jakarta menuju Amsterdam dalam rangka melanjutkan studi S-2 Bidang Hukum di Universitas Utrecht pada tanggal 7 September 2004 masih menjadi sebuah teka-teki. Bisa dikatakakan kasus ini dipaksakan tuntas sebelum waktunya setelah nama Pollycarpus mencuat ke publik sebagai pelaku pembunuhan tersebut. Nama Pollycarpus mencuat bahkan sebelum Tim Pencari Fakta kematian Munir terbentuk yang didasarkan pada Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Nomor 111/2004 yang ditandatangi pada 23 Desember 2004[2]. Kasus ini seakan mendadak berakhir tidak seru sebab sampai saat ini pengusutan belum tuntas. Otak dari pembunuhan Munir sampai saat ini masih belum diungkap dan bahkan seakan takkan pernah terungkap.

Kasus Munir seakan menjadi kasus yang selalu membangkitkan kita akan kenangan-kenangan perjuangan penegakan HAM di Indonesia. Maka rasanya sangat wajar jika pada bulan September 2014 lalu, mahasiswa Indonesia dari berbagai Universitas turut kembali memperingati kematian Munir dengan beragam aksi. Pada bulan itu tepat sepuluh tahun kepergian Munir yang sampai saat ini masih menjadi misteri. Gelombang aksi membawa jargon “Menolak Lupa” sebagai simbol tuntutan penuntasan kasus ini.

Rangkaian demi rangkaian peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi di negeri ini saya rasa sudah menjadi isu yang tepat untuk selalu kita perjuangkan. Api perjuangan itu harus tetap kita jaga untuk tetap berkobar di hati setiap kita yang sadar akan nilai-nilai kemanusiaan yang utuh. Sesekali juga kita bisa melihat bukan hanya mahasiswa yang berjuang, tetapi seniman pun turut berjuang untuk selalu menuntut keadilan. Sebut saja grup-grup musik seperti Kantata Takwa, Swami, Sirkus Barock, atau seniman-seniman dan sastrawan seperti Iwan Fals dan W.S. Rendra yang sampai sekarang masih tetap vokal dalam menyuarakan keadilan, bahkan W.S. Rendra yang karya-karya masih tetap menohok kita untuk berjuang demi keadilan walaupun kini ia telah tiada.

Sudah sepatutnya kita sebagai kalangan intelektual muda mengambil langkah pasti dalam perjuangan penegakan HAM di negeri ini. Sadarlah bahwasanya dalam perjuangan ini kita tidak sendiri. Perjuangan kita harus diawali dengan mengusap nurani. Menjaganya agar tetap bersih dan murni dari intervensi. Sebab itulah yang akan menjadi sumber kekuatan utama kita dalam menyuarakan kebenaran. Sumber kekuatan utama yang akan menjadi senjata pemugkas kita dalam menghantam tirani. Sebab jika bukan kita, maka siapa lagi? Marilah kita membuka mata. Sadarlah bahwa negeri ini membutuhkan uluran tangan kita. Memadukan suara sumbang mereka menjadi paduan suara kebenaran yang kita tuangkan dalam karya.




[1] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2008), 213
[2] dr. Abdul Mun’im Idries, Sp.F,Indonesia X-Files(Jakarta:Penerbit Noura Books, 2013),83-84


Tidak ada komentar

Posting Komentar

© 2025 BUKAMATA
Maira Gall