Minggu, 21 Desember 2014

Sekilas Tentang Aku dan Sastra


       Sewaktu menghadiri eksplorasi ketua BEM UI di FISIP tempo hari, aku sempat tertarik dengan salah satu pertanyaan yang diajukan oleh audiens wanita yang hadir. Wanita tersebut rupanya merupakan seorang alumni FIB UI angkatan 2010. Ia bertanya kepada pasangan calon, “kalian pernah baca buku sastra?”. Pertanyaan ini sontak menarik perhatianku setelah kemudian kembali dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan serta argumentasi tentang urgensinya mengapa ia menanyakan hal tersebut. Mungkin teman-teman di Takor tidak terlalu respek dengan pertanyaan tersebut, namun aku justru malah berpikir sebaliknya. Ini pertanyaan mendasar dan bagi mereka yang peka terhadap sastra mungkin akan bisa mengerti bagaimana kepribadian dan kemampuan pasangan calon tersebut.

       Sepulang dari sana aku kembali memikirkan mengapa wanita tersebut bertanya tentang sastra. Aku mulai mengumpulkan kepingan-kepingan dugaanku. Dan mungkin saat ini sudah kutemukan jawabannya. Setelah kutemukan jawabannya kurasa cukup baik jika aku berbagi dengan kawan-kawan pembaca semua karena kurasa ini adalah hal yang positif untuk dibagikan.

       Sejak SMP dulu aku sudah memulai ketertarikanku terhadap sastra. Waktu itu di sekolahku peminat ekskul sastra tidak sebanyak peminat ekskul KIR. Angkatanku memang mayoritas sangat menyukai IPA sehingga mereka lebih memilih Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) yang notabene praktikal terhadap objek ketimbang sastra yang notabene “banyak berkhayal”. Meskipun demikian, aku tetap teguh pada jalanku untuk memilih sastra sebab bagiku sastra memiliki daya tarik tersendiri dibandingkan dengan KIR tersebut. Bagiku saat itu sastra adalah hiburan dari kepenatan rangkaian aktivitas akademis ala santri. Rangkaian kepenatan dari ilmu-ilmu eksak yang cukup membuatku jenuh kala harus selalu berpikir matematis. Sejak mengikuti ekskul sastra tersebut aku semakin senang untuk membuat banyak puisi ataupun cerpen. Puisi-pusi tersebut kutulis dalam sebuah buku yang suatu saat bisa kujadikan antologi. Namun sayangnya buku itu hilang saat aku ada di IC saat pergantian kamar dan asrama.

       Beranjak ke masa SMA aku semakin berminat untuk menyelami dunia sastra. Meskipun tidak banyak cipta karya puisi atau cerpen yang kuhasilkan di masa-masa ini, namun aku justru semakin tertarik untuk menyelami sejarah ataupun aliran kesusastraan itu sendiri. Hal ini begitu wajar sebab aku merasa guru-guruku di SMA sangatlah mendukung untuk mengajarkan dan memperkenalkan kepada kami tentang kesusastraan . Mulai dari novel, drama, cerpen, puisi dan musikalisasinya semua terasa semakin menarik. Selain itu kami juga dikenalkan dengan tokoh-tokoh dan sejarah kesusastraan. Sebagai pengagum sejarah aku semakin tertarik tatkala berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dan kisah hidup Soe Hok Gie. Melalui buku-buku dan filmnya aku semakin kenal dengan sastra. Melalui puisi-puisinya aku semakin berpikir betapa berharganya kehidupan ini.

         Bicara tentang sastra aku tak mau melupakan tokoh hebat yang mungkin anak muda sekarang kurang mengenalnya. Dialah Sawung Jabo, seorang musisi legendaries asal Surabaya yang sudah malang-melintang di dunia permusikan Indonesia melalui kelompoknya, Sirkus Barock. Ia mencapai puncak karirnya saat sering membuat projek-projek bersama dengan Iwan Fals, WS Rendra, dan Setiawan Djody dalam Kantata maupun Swami. Menurutku masalah kedalaman makna dan puitis Sawung Jabo adalah ahlinya. Ia mampu mengolah kata-kata yang diambil dari kehidupan jalanan yang sederhana menjadi yang sebuah rangkaian puisi dan lagu yang humanis dan mampu menggugah hati para pendengarnya. Saya seakan prihatin ketika mendengar lagu-lagu zaman ini yang haus akan kedalaman makna namun dapat fenomenal dalam sekejap. Sungguh memalukan dan memilukan!

       Sebagai seorang penggiat dunia sastra saya memiliki beberapa media untuk menuliskan pemikiran-pemikiran ataupun pengalaman saya. Saya memiliki sebuah buku catatan harian yang saya tulis sejak kelas 2 SMP. Di sanalah saya banyak menulis tentang pengalaman-pengalaman hidup ataupun tentang keresahan-keresahan saya. Ketika manusia tak lagi mampu mendengar sejuta keresahan , maka hanya hanya tinggal tulisan dan tuhanlah yang mampu mendengarkan setiap keluhan. Selain buku catatan harian blog ini merupakan lini massa untuk berbagi pemikiranku. Mungkin catatan harian lebih banyak kutuliskan cerita kehidupan sehari-hari, namun blog ini memiliki tendensi untuk memuat pemikiran-pemikiran dan pengalaman yang dapat kubagikan. Semoga aku dapat tetap konsisten untuk memanfaatkan setiap media ini untuk menciptakan karya-karya yang dapat menginspirasi.

Sekilas Opiniku Tentang Sastra

       Bicara tentang sastra bicara pula tentang sejarahnya di Indonesia. Aku tertarik pada bahasan sejarah sastra di masa orde lama saat terjadinya ketegangan dua golongan seniman, sastawan, dan budayawan. Golongan pertama menyatakan bahwasanya seni ataupun sastra harus dijadikan alat perjuangan revolusi. Seni ataupun sastra dijadikan sebagai alat propaganda bagi kepentingan politik demi menuntaskan revolusi. Golongan ini tergabung dalam organisasi yang berafiliasi dengan PKI, yakni Lembaga Kebudayaan Rakyat(Lekra). Salah satu tokoh yang selalu diidentikkan dengan Lekra adalah Pramoedya Ananta Toer yang telah menghasilkan karya-karya fenomenal meskipun dalam sejarah hidupnya harus termarjinalisasi. Golongan kedua mencoba untuk membuat sebuah anti tesis. Golongan ini menyatakan bahwasanya seni dan sastra harus dikembalikan kepada fungsi aslinya, yakni sebagai hiburan bagi para penikmatnya. Golongan ini digagas oleh Arief Budiman dkk.

       Bagiku sendiri sastra dan seni bisa difungsikan untuk keduanya. Nilai-nilai yang terdapat di dalamnya harus mampu membangkitkan sense of belonging terhadap negeri kita, namun bukan sebagai bentuk doktrin. Akan tetapi sastra dan seni juga harus hidup di jalan aslinya, sebagai hiburan bagi para penikmatnya. Bagiku sastra adalah peralihan dunia yang dapat kita ciptakan melalui imaji. Ketika kita jenuh terhadap dunia yang penuh dengan kepalsuan, terkadang walaupun didominasi oleh fiksi sastra dapat berbicara lebih jujur dengan kearifan yang terkandung dalam setiap butir kata. Sastra dapat menyampaikan nilai-nilai hidup lebih jujur ketimbang jurnalisme yang saat ini sudah dikotori oleh khutbah-khutbah kebohongan sesuai kepentingan pemiliknya. Maka tak salah jika Seno Gumira Ajidarma pernah berkata, “Ketika Jurnalisme dibungkam, maka sastra harus bicara.” Jurnalisme saat ini mungkin bisa berbicara bebas, namun oknum-oknum tertentu seakan-akan bungkam  terhadap kebenaran. Mari lepaskan jurnalisme dari kebungkaman tehadap kebenaran! Mari memandang sastra sebagai salah satu jalan menuju kebenaran!

       Kini saya menemukan jawabannya. Anda adalah cerminan dari apa yang anda baca. Sebagai salah satu jalan menuju kebenaran maka sesekali anda harus melihat sastra sebagai sebuah pelecut dan inspirasi dalam menjalani kehidupan. Terkadang kita terlalu fokus pada hal-hal yang berbau akademis, teoritis, maupun matematis. Sehingga kita lupa bahawasanya di luar sana masih terdapat dunia yang begitu indahnya. Maka temukanlah dunia itu dengan membuka mata dan tak memandang sastra dengan sebelah mata.


(LAKON HIDUP)


2 komentar

  1. Well said, li! Finally someone (whom I know) said this :" and also nice blog to read at midnight wkwk

    BalasHapus

© 2025 BUKAMATA
Maira Gall