Sewaktu
menghadiri eksplorasi ketua BEM UI di FISIP tempo hari, aku sempat tertarik
dengan salah satu pertanyaan yang diajukan oleh audiens wanita yang hadir.
Wanita tersebut rupanya merupakan seorang alumni FIB UI angkatan 2010. Ia
bertanya kepada pasangan calon, “kalian pernah baca buku sastra?”. Pertanyaan
ini sontak menarik perhatianku setelah kemudian kembali dilanjutkan dengan
pertanyaan-pertanyaan serta argumentasi tentang urgensinya mengapa ia
menanyakan hal tersebut. Mungkin teman-teman di Takor tidak terlalu respek
dengan pertanyaan tersebut, namun aku justru malah berpikir sebaliknya. Ini
pertanyaan mendasar dan bagi mereka yang peka terhadap sastra mungkin akan bisa
mengerti bagaimana kepribadian dan kemampuan pasangan calon tersebut.
Sepulang dari
sana aku kembali memikirkan mengapa wanita tersebut bertanya tentang sastra.
Aku mulai mengumpulkan kepingan-kepingan dugaanku. Dan mungkin saat ini sudah
kutemukan jawabannya. Setelah kutemukan jawabannya kurasa cukup baik jika aku
berbagi dengan kawan-kawan pembaca semua karena kurasa ini adalah hal yang
positif untuk dibagikan.
Sejak SMP dulu
aku sudah memulai ketertarikanku terhadap sastra. Waktu itu di sekolahku
peminat ekskul sastra tidak sebanyak peminat ekskul KIR. Angkatanku memang
mayoritas sangat menyukai IPA sehingga mereka lebih memilih Kelompok Ilmiah
Remaja (KIR) yang notabene praktikal terhadap objek ketimbang sastra yang
notabene “banyak berkhayal”. Meskipun demikian, aku tetap teguh pada jalanku
untuk memilih sastra sebab bagiku sastra memiliki daya tarik tersendiri
dibandingkan dengan KIR tersebut. Bagiku saat itu sastra adalah hiburan dari
kepenatan rangkaian aktivitas akademis ala santri. Rangkaian kepenatan dari
ilmu-ilmu eksak yang cukup membuatku jenuh kala harus selalu berpikir
matematis. Sejak mengikuti ekskul sastra tersebut aku semakin senang untuk
membuat banyak puisi ataupun cerpen. Puisi-pusi tersebut kutulis dalam sebuah
buku yang suatu saat bisa kujadikan antologi. Namun sayangnya buku itu hilang
saat aku ada di IC saat pergantian kamar dan asrama.
Beranjak ke masa
SMA aku semakin berminat untuk menyelami dunia sastra. Meskipun tidak banyak
cipta karya puisi atau cerpen yang kuhasilkan di masa-masa ini, namun aku
justru semakin tertarik untuk menyelami sejarah ataupun aliran kesusastraan itu
sendiri. Hal ini begitu wajar sebab aku merasa guru-guruku di SMA sangatlah
mendukung untuk mengajarkan dan memperkenalkan kepada kami tentang kesusastraan . Mulai dari novel, drama, cerpen, puisi dan musikalisasinya semua
terasa semakin menarik. Selain itu kami juga dikenalkan dengan tokoh-tokoh dan
sejarah kesusastraan. Sebagai pengagum sejarah aku semakin tertarik tatkala
berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dan kisah hidup Soe Hok Gie. Melalui
buku-buku dan filmnya aku semakin kenal dengan sastra. Melalui puisi-puisinya
aku semakin berpikir betapa berharganya kehidupan ini.
Bicara tentang
sastra aku tak mau melupakan tokoh hebat yang mungkin anak muda sekarang kurang
mengenalnya. Dialah Sawung Jabo, seorang musisi legendaries asal Surabaya yang
sudah malang-melintang di dunia permusikan Indonesia melalui kelompoknya,
Sirkus Barock. Ia mencapai puncak karirnya saat sering membuat projek-projek
bersama dengan Iwan Fals, WS Rendra, dan Setiawan Djody dalam Kantata maupun
Swami. Menurutku masalah kedalaman makna dan puitis Sawung Jabo adalah ahlinya.
Ia mampu mengolah kata-kata yang diambil dari kehidupan jalanan yang sederhana
menjadi yang sebuah rangkaian puisi dan lagu yang humanis dan mampu menggugah
hati para pendengarnya. Saya seakan prihatin ketika mendengar lagu-lagu zaman
ini yang haus akan kedalaman makna namun dapat fenomenal dalam sekejap. Sungguh
memalukan dan memilukan!
Sebagai seorang
penggiat dunia sastra saya memiliki beberapa media untuk menuliskan
pemikiran-pemikiran ataupun pengalaman saya. Saya memiliki sebuah buku catatan
harian yang saya tulis sejak kelas 2 SMP. Di sanalah saya banyak menulis
tentang pengalaman-pengalaman hidup ataupun tentang keresahan-keresahan saya. Ketika
manusia tak lagi mampu mendengar sejuta keresahan , maka hanya hanya tinggal
tulisan dan tuhanlah yang mampu mendengarkan setiap keluhan. Selain buku catatan
harian blog ini merupakan lini massa untuk berbagi pemikiranku. Mungkin catatan
harian lebih banyak kutuliskan cerita kehidupan sehari-hari, namun blog ini
memiliki tendensi untuk memuat pemikiran-pemikiran dan pengalaman yang dapat
kubagikan. Semoga aku dapat tetap konsisten untuk memanfaatkan setiap media ini
untuk menciptakan karya-karya yang dapat menginspirasi.
Sekilas
Opiniku Tentang Sastra
Bicara tentang
sastra bicara pula tentang sejarahnya di Indonesia. Aku tertarik pada bahasan
sejarah sastra di masa orde lama saat terjadinya ketegangan dua golongan seniman,
sastawan, dan budayawan. Golongan pertama menyatakan bahwasanya seni ataupun
sastra harus dijadikan alat perjuangan revolusi. Seni ataupun sastra dijadikan
sebagai alat propaganda bagi kepentingan politik demi menuntaskan revolusi.
Golongan ini tergabung dalam organisasi yang berafiliasi dengan PKI, yakni
Lembaga Kebudayaan Rakyat(Lekra). Salah satu tokoh yang selalu diidentikkan
dengan Lekra adalah Pramoedya Ananta Toer yang telah menghasilkan karya-karya
fenomenal meskipun dalam sejarah hidupnya harus termarjinalisasi. Golongan
kedua mencoba untuk membuat sebuah anti tesis. Golongan ini menyatakan
bahwasanya seni dan sastra harus dikembalikan kepada fungsi aslinya, yakni
sebagai hiburan bagi para penikmatnya. Golongan ini digagas oleh Arief Budiman
dkk.
Bagiku sendiri
sastra dan seni bisa difungsikan untuk keduanya. Nilai-nilai yang terdapat di
dalamnya harus mampu membangkitkan sense of belonging terhadap negeri
kita, namun bukan sebagai bentuk doktrin. Akan tetapi sastra dan seni juga
harus hidup di jalan aslinya, sebagai hiburan bagi para penikmatnya. Bagiku
sastra adalah peralihan dunia yang dapat kita ciptakan melalui imaji. Ketika
kita jenuh terhadap dunia yang penuh dengan kepalsuan, terkadang walaupun didominasi oleh fiksi sastra dapat berbicara lebih jujur dengan kearifan yang terkandung dalam
setiap butir kata. Sastra dapat menyampaikan nilai-nilai hidup lebih jujur
ketimbang jurnalisme yang saat ini sudah dikotori oleh khutbah-khutbah
kebohongan sesuai kepentingan pemiliknya. Maka tak salah jika Seno Gumira
Ajidarma pernah berkata, “Ketika Jurnalisme dibungkam, maka sastra harus
bicara.” Jurnalisme saat ini mungkin bisa berbicara bebas, namun
oknum-oknum tertentu seakan-akan bungkam
terhadap kebenaran. Mari lepaskan jurnalisme dari kebungkaman tehadap
kebenaran! Mari memandang sastra sebagai salah satu jalan menuju kebenaran!
Kini saya menemukan jawabannya. Anda adalah cerminan dari apa yang anda baca. Sebagai salah satu jalan menuju kebenaran maka sesekali anda harus melihat sastra sebagai sebuah pelecut dan inspirasi dalam menjalani kehidupan. Terkadang kita terlalu fokus pada hal-hal yang berbau akademis, teoritis, maupun matematis. Sehingga kita lupa bahawasanya di luar sana masih terdapat dunia yang begitu indahnya. Maka temukanlah dunia itu dengan membuka mata dan tak memandang sastra dengan sebelah mata.
(LAKON
HIDUP)
Well said, li! Finally someone (whom I know) said this :" and also nice blog to read at midnight wkwk
BalasHapusWell, thank's for coming Juen!
Hapus