Senin, 21 Desember 2015

“Ketika Sastra Menjadi Romantis dan Ilmu Sosial Menjadi Normatif”


Beberapa waktu lalu, saya menghadiri sebuah diskusi yang diadakan oleh SEMAR UI. Diskusi tersebut bertemakan tentang “Kampus, Organisasi Mahasiswa, dan Peristiwa 1965”. Pembicara yang hadir diantaranya, Abdul Wahid (Dosen Sejarah UGM), Tedjabayu Sudjojono (Penyintas 1965), Iwan Meulia Pirous (Puska Antropologi UI), Sri Lestari W (IPT 1965), dan Ausof Ali (Mahasiswa Sejarah UI).

Diskusi Publik tentang “Kampus, Organisasi Mahasiswa, dan Peristiwa 1965” merupakan pembicaraan yang begitu menarik. Dalam diskusi tersebut dibahas bagaimana fenomena hilangnya marxisme yang terjadi di kampus. Dalam diskusi tersebut didapatkan bahwa  fenomena yang terjadi di hadapan kita saat ini ternyata tak terlepas dari kenyataan sejarah yang pernah terjadi di masa lalu. Satu persatu pembicara mengupas bahasan yang mereka kuasai. Audiens pun tampak memperhatikan dengan cukup serius. Ada yang sudah mengetahui apa inti pembahasannya, ada pula yang masih baru menggali.

Saya pun turut mendengarkan, dan pada sesi pembahasan mas Iwan Pirous, saya mendapatkan sebuah kutipan menarik, “ketika sastra menjadi romantis dan ilmu sosial menjadi normatif”. Lalu, apa kaitannya hal ini dengan tema bahasan yang dibicarakan? Ya, untuk memahaminya kita perlu sedikit kembali ke belakang melihat halaman sejarah panjang negeri kita. Orde Baru memang banyak mengubah tatanan masyarakat dari status quo di Orde Lama. Sejarah kelam dalam peristiwa tahun 1965 turut mengubah cara pandang masyarakat tentang gerakan kiri, sosialisme, marxisme, atau komunisme. Propaganda-propaganda anti PKI merontokkan pemikiran progressif, sebab apabila kita menganut pemikiran tersebut maka akan dianggap subversif, pemberontak, tak bertuhan, dll. Pemberantasan PKI juga berimbas pada pemberantasan organisasi-organisasi kerakyatan karena dianggap berafiliasi dengan PKI yang terlibat dalam pemberontakan. Hal itu misalnya, Organisasi-organisasi seperti Gerwani dan Lekra. Tokoh seperti Pramoedya Ananta Toer pun turut menjadi korbannya.

Salah satu aspek penting yang turut menjadi korban peristiwa 65 adalah matinya marxisme dalam lingkungan akademik. Marxisme sebagai cikal bakal lahirnya sosialisme ilmiah sesungguhnya memiliki peran yang begitu besar dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang ada di dunia. Studi sosial bisa dikatakan menjadi kering sebab hanya bertumpu pada teori-teori sistem (struktural-fungsional) yang menjelaskan terjadinya fenomena sebagai fungsi dan bagian dari sistem. Hal tersebut terjadi sebab literatur-literatur yang berlandaskan pemikiran-pemikiran Marx yang progressif diberangus. Sebagai dampak logisnya, mahasiswa sebagai akademisi dan kaum intelektual gagal mengenali fenomena sosial secara historis. Pisau analisis pun menjadi semakin tumpul karena hanya bisa memandang dengan analisis sosial yang menekankan pada relasi-relasi sosial yang singkronik tentang suatu peristiwa layaknya fotografer. Selain itu, Dampaknya mahasiswa semakin jauh dari gerakan-gerakan sosial yang benar-benar mengakar dan sesuai dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Gerakan sosial pun semakin dipandang menjadi sebuah anomali.

Dalam studi politik, paradigma demokrasi substansial pun beralih menjadi demokrasi prosedural. Pada kondisi ini demokrasi dianggap sudah sempurna, sehingga tak perlu disempurnakan lagi. Kritik terhadap substansi demokrasi semakin terkikis sehingga semakin memperkecil peluang untuk menuju substansi demokrasi yang lebih paripurna. Kritik terhadap demokrasi hanya sampai pada tataran prosedural dimana yang terpenting adalah pelaksanaan dari demokrasi yang sebenarnya masih cacat secara substansi tersebut.

Kondisi ini membuat analisis dan pemikiran progressif semakin gersang. Maka, pengembangan ilmu pengetahuan pun bisa dibilang semakin stagnan. Mengapa bisa dikatakan demikian, sebab ilmu pengetahuan tidak bisa menjelaskan fenomena-fenomena yang perlu lebih dekat dengan realita. Kita dijejali dengan diktat-diktat dan rumus-rumus yang berjibun, namun gagal untuk mendekatkannya dengan kehidupan kita dan gagal untuk diaplikasikan menuju tatanan masyarakat yang ideal. Pada akhirnya ilmu sosial hanya menjadi normatif. Ilmu sosial menjadi hanya mampu menyarankan yang bahkan terkadang tidak tepat sasaran.

Pola pikir para intelektual muda pun semakin bergeser. Sekarang, dalam sebuah pertanyaan sederhana, apakah mayoritas kita bersekolah di kampus-kampus atau perguruan tinggi untuk merubah situasi dan kondisi masyarakat atau mengembangkan ilmu pengetahuan, atau hanya sekedar mencari ijazah yang nantinya berguna untuk cari makan? Mungkin saya tidak berhak untuk menjustifikasi jawabannya. Yang jelas, saya yakin, kita yang sadar dan bisa merefleksikannya pasti malu menjawab pertanyaan  tersebut.

Semakin ke depan, gerakan-gerakan mahasiswa pun semakin tumpul. Mahasiswa semakin terjebak dalam penjara kampus dengan sistem yang diciptakannya. Kemerdekaan berpikir pun direnggut oleh kesadaran semu tentang fenomena yang terjadi selama ini. Semakin hari mahasiswa semakin jauh dari rakyat dan kenyataan tentang dunia yang ada. Sebagai akademisi, mahasiswa semakin terjebak dalam penjara diktat-diktat hasil interpretasi ilmuwan non-progressif yang terus-menerus direproduksi. Pada akhirnya,alam pikir pun berubah menjadi semakin mengarah kepada pencarian hal-hal yang bersifat populer

Rupa-rupanya dampak matinya marxisme dalam dunia akademik belum sampai di situ. Tanpa kita sadari, selain gagalnya ilmu sosial menjelaskan realita yang sesungguhnya dan hanya bisa menyediakan wacana-wacana normatif, rupa-rupanya sastra yang berisik pun semakin sunyi. Sastra menjadi semakin romantis sebab munculnya (yang dalam istilah rendra) penyair-penyair salon yang berbicara tentang anggur dan rembulan. Sastrawan-sastrawan gagal membahasakan kenyataan menjadi pembangkit gairah untuk perubahan. Padahal, sastra memiliki kekuatan yang begitu luar biasa. Jika jurnalisme membutuhkan fakta untuk menyampaikan kebenaran, maka sastra tidak membutuhkan itu untuk menyampaikannya .

Padahal, melihat sejarah kesusastraan kita di masa lalu, melalui angkatan-angkatannya, mereka begitu gigih untuk menceritakan kenyataan-kenyataan dan permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekitar kita. Selalu saja ada isu-isu tentang kemanusiaan, problema, dan kebudayaan yang diangkat dan dijadikan karya. Hal ini kerapkali menjadi pemantik api semangat perjuangan demi keadilan. Semakin bergesernya zaman, semakin berubah selera dan pandangan. Pada akhirnya, sastra tidak lagi dipandang sebagai alat perjuangan, namun kini sastra menjadi begitu romantis. Sastra menjadi semakin melankoli dan jauh dari kenyataan tentang persoalan yang selama ini terjadi.

Ya pada akhirnya di sinilah titik akhirnya. Sebuah bencana peradaban ketika sastra menjadi romantis dan ilmu sosial hanya menjadi normatif.


Ali Zainal Abidin

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© BUKAMATA
Maira Gall